Pakar: Solusi Jokowi Tidak Sistematis Hadapi Covid-19

Namun, dari keempat regulasi tersebut, tidak ada satupun yang mengatur secara rinci mengenai pola kerja sistematis yang bersifat teknis, dengan berorientasi ke penyelesaian masalah untuk masyarakat.

Begitulah kritik begawan ekonomi politik dari Universitas Airlangga Ichsanudin Noorsy, saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (2/4).

“Jadi tidak ada kebijakan yang sistematis struktural dan massif. Itu mengakibatkan masyarakat makin panik,” demikian pria yang akrab disapa Ichan ini menegaskan.

Secara regulasi, Jokowi tidak mesti mengeluarkan Keppres 11/2020 dan Perppu 1/2020. Sebab menurut Ichsanudin Noorsy, terdapat pasal 12 UUD 1945 yang bisa dijadikan dasar bagi Jokowi menetapkan keadaan darurat.

“Walaupun masih belum sebanding dengan kematian orang-orang di peristiwa pilpres yang jumlahnya 700 orang itu. Tapi karena ini mengancam dan hampir seluruh dunia panik menghadapinya, maka penggunaan pasal 12 UUD bisa dipakai,” terang Ichsanudin Noorsy.

Penggunaan pasal 12 UUD 1945 itu, lanjut Ichsanudin Noorsy, bisa direlasikan dengan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

“Ketika sampai UU Kekarantinaan Kesehatan, yang diperlukan adalah PP (Peraturan Pemerintah),” sebutnya.

Namun sayangnya, PP 21/2020 tentang PSBB tidak mengatur detail pengkalsifikasian daerah terwabah corona. Seharusnya, menurut Ichsanudin Noorsy, PP itu menyebut klasifikasi daerah yang terwabah berat, terwabah sedang, terwabah ringan dan daerah tidak terwabah.

“Itu berarti ketika kita mampu mengklasifikasi daerah-daearah terdampak, itu mengacu kepada persoalan biaya. Biaya mana yang tinggi, biaya mana yang sedang dan biaya mana yang rendah. Ini kan sama sekali enggak ada,” ucap Ichsanudin Noorsy.

Karena tidak ada aturan tersebut, maka mantan anggota DPR RI tahun 1997-1999 ini pun berkesimpulan, pemerintah tidak memiliki cara penyelesaian yang jitu dalam menangani wabah corona ini.

Selain pertimbangan hukum di atas, Ichsanudin Noorsy menyebutkan pertimbangan lain. Yakni pertama, tidak sigapnya pemerintah mengantisipasi kehadiran pandemi corona sejak Januari silam. Kedua, kerja sama dan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah lemah. Ketiga, faktor pembiyaaan penanganan corona yang belum jelas.

Di corona ini terdapat tumpukan masalah makin keliahatan di sini, karena tidak terealisasikan secara struktural, karena memang tidak ada kebijakan yang sifatnya sistematis, yang berorientasi ke penyelesain masalah,” ujar Ichsanudin Noorsy.

“Nah biayanya, karena memang asal muasalnya adalah penggunaan pasal 12 UUD 1945, maka biayanya lebih besar ditanggulangi oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah sifatnya mendukung pembiyaan itu. Itu tanggung jawab pemerintah pusat. Nah repotnya sekarang ini kita miskin negarawan nih,” pungkasnya.(rmol)