Penikmat Jalan Tol Itu Cuma Kaum Menengah-Atas

Bhima mencontohkan, saat tol Cipali beroperasi berdasarkan data sebanyak 30 persen truk logistik malah beralih menggunakan jalan arteri atau jalan umum dalam perjalanannya. Ada hal lain selain tarif yang menjadi penyebab kondisi tersebut, yaitu faktor sosial budaya yang luput dari perhatian pemerintah saat membangun jalan tol.

“Kenapa truk dibikinin jalan tol masih lewat jalan arteri? yang pertama kalau soal tarif mahal itu masih rasional. Yang kedua miss di culture, disini supir truk itu mau mampir bentar-bentar di Pantura. Dan sopir truk itu bukan sopirnya Lamborghini atau Ferrari yang butuh kecepatan 100 km per jam atau 200 km per jam, truk itu jalannya 15 sampai 20 km per jam. Jadi buat apa saya masuk jalan bebas hambatan kalau speednya sama dengan jalur arteri,” jelas Bhima.

Kemudian yang terjadi adalah jalan tol yang harusnya mampu menekan logistic cost tidak dapat tercapai. Jalan tol hanya dinikmati oleh kaum menengah ke atas yang melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi.

“Sudah susah payah dipaksakan harus membangun jalan tol, tetapi penikmat yang harusnya diprioritaskan itu angkutan logistik tidak mendapatkan kenikmatan, malah akhirnya kembali kepada jalan arteri. Dan saya masuk pada paham yang lebih radikal, jangan-jangan yang kita butuhkan di Indonesia khususnya menyambungkan Jawa itu bukan jalan tol, justru memperbesar jalur arteri itu multiplier efectnya lebih besar,” paparnya.

Bhima mengungkapkan, ada alternatif solusi mahalnya jalan tol bagi kendaraan logistik yaitu subsidi dari APBD. Sebab pengelola jalan tol tidak mungkin menurunkan tarif karena mereka mengejar waktu balik modal atau break event point secepat-cepatnya.

“Kecuali skemanya adalah APBD subsidi angkutan yang masuk ke jalan tol diskon 50 persen subsidinya masuk ke dalam APBD setiap daerah yang dilintasi jalan tol. Itu salah satu juga bagaimana konsep untuk menurunkan tarif tol,” tutupnya. (mkd)