Pilpres 2019, Diamnya Sikap Muhammadiyah dan Kisah AR Fachruddin

Apakah Muhammadiyah tidak paham politik? Jawabannya jelas tidak. Di sana banyak doktor politik yang paham akan soal siyasah (politik) dalam Islam dan juga paham yang ada di luarnya. Jumlah massanya sangat signifikan. Muhammadiyah adalah ormas Islam dengan jumlah massa kedua terbesar setelah NU. Bahkan, mereka relatif lebih solid dibandingkan ormas keagamaan lainnya. Semua terjalin rapi, termanajemen yang bagus, dengan sebaran di seluruh pelosok Indonesia.

Namun, Muhammadiyah memilih diam dalam soal poitik kekuasaan. Bahkan, dalam banyak perbincangan pemimpin, Muhammadiyah dari dahulu siap menanggung konsekuensi bila politik kekuasaan melupakannya. ”Tidak dibantu oleh yang berkuasa juga tak apa-apa. Sebab, bantuan pemguasa tak boleh malah merepotkan kami,’’ begitu pernyataan yang sering terdengar di banyak kesempatan. Dari sebelum merdeka hingga kini seratus tahun setelah kemerdekaannya, Muhammadiyah memang mandiri. Baik secara sikap, bahkan hingga soal keuangan yang kadang bagi ormas dianggap sebuah hal yang musykil.

Selain itu, Muhammadiyah di masa lalu pun telah cukup kenyang dengan soal politik. Pelajaran pada masa Orde Lama, Orde Baru, bahkan Orde Reformasi telah mengajarkan bahwa pilihan untuk tegak lurus pada soal sosial kemasyarakatan adalah hal terbaik. Politik bukan hal yang begitu mutlak serta harga mati.

Salah satu pelajaran berharga diajarkan oleh sosok pendahulu dari KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusimo, hingga AR Fachruddin. Bahkan, Amien Rais sangat perlu dihargai jasanya dengan memilih berhenti menjadi ketua PP Muhammadiyah saat mendirikan partai politik. Salah konsepnya kala itu yang terkenal adalah politik garam (high politic).