Presiden Buruh: Jokowi Jauh Lebih Kejam Dibanding SBY

buruh phkEramuslim.com – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan buruh akan terus menggelar aksi besar-besaran di seluruh Indonesia dan akan melakukan mogok nasional serempak di 25 provinsi dan 200 kabupaten/kota dengan 5 juta orang buruh.

“5 juta orang buruh akan ikut mogok nasional pada 18-20 November 2015,” ujar Said Iqbal dalam keterangan di Jakarta, Minggu (1/11).

Mogok nasional akan dilakukan dengan menghentikan proses produksi di seluruh kawasan industri dan di Bursa Efek Indonesia bahkan buruh pelabuhan, bandara, dan jalan tol akan bergabung dalam aksi masif ini. Menurutnya, kebrutalan dan kekerasan polisi terhadap buruh dalam aksi 30 Oktober.

lalu di depan Istana Negara Jakarta makin memperkuat solidaritas buruh dan tidak akan takut terhadap kekerasan polisi yang selalu mengatasnamakan negara dan hukum.

“Apakah menghancurkan mobil-mobil milik buruh dibenarkan? Bahkan menganiaya buruh seperti binatang apakah dibenarkan atas nama negara hukum (rechstat) ini? Atau sesungguhnya pemerintahan Jokowi-JK sedang memainkan peran arogansi kekuasaan atas nama negara (machstat) yang tidak boleh dikritik dan membungkam suara buruh dan rakyat yang tidak sejalan dengan kebijakan ekonomi kapitalis seperti subsidi BBM dicabut yang mengakibatkan daya beli menurun 30 persen, harga barang naik dan negara tidak berdaya terhadap pasar, pekerja asing masif masuk, harga gas dan listrik yang mahal, ongkos transportasi yang mahal, buruh tidak lagi mempunyai kemampuan beli rumah tipe 21 bahkan program 1 juta rumah hanya retorika dan pencitraan,” kata Said Iqbal memaparkan.

Belum lagi, lanjut dia, kini orang miskin makin bertambah, angka pengangguran meningkat, PHK dimana-mana, jaminan pensiun yang basa-basi hanya dapat Rp 300 ribu/bulan, petani makin miskin dan kehilangan tanahnya meningkat, kebakaran asap yang berlarut-larut tanpa dinyatakan bencana nasional hanya karena takut investasi asing perkebunan sawit akan kabur padahal puluhan ribu orang terkena dampaknya yaitu menurunnya pendapatan buruh kebun dan banyak buruh tidak masuk kerja karena pabrik meliburkan akibat bencana asap.

“Apakah ini yang disebut pemerintahan pro rakyat? Menurut buruh, Jokowi-JK adalah penganut kapitalisme dan liberalis (terakhir ikut TPT) yang berkedok pro-rakyat dengan retorika revolusi mental dan nawacita serta blusukan yang penuh pencitraan. Hal ini makin diperparah dengan APBN 2016 yang tidak pro rakyat dengan memberi subsidi PMN ke BUMN dan RUU Pengampunan Pajak bagi pengusaha (anehnya buruh malah dikasih upah murah?),” terang Said Iqbal.

Puncak dari liberalisasi kebijakan Jokowi-JK adalah negara mengendalikan kenaikan upah tanpa melibatkan negosiasi dengan serikat buruh atas nama penyelamatan ekonomi dan pernyataan bohong Sofyan Wanandi dan Apindo yang menyebut 300-600 ribu buruh ter-PHK (yang benar 40 ribuan dan yang potensi PHK sudah bekerja kembali sebelum adanya PP nomor 78/2015).

Padahal, sambung Said Iqbal, rupiah juga mulai membaik dan ada 16 perusahaan tekstil dan padat karya akan beroperasi dengan menyerap 121 ribu pekerja baru (sebelum ada PP No. 78/2015) dan walaupun dibilang ekonomi melambat tapi masih tumbuh 4,6 persen berarti masih ada penyerapan lapangan kerja baru 1 juta orang, jadi kenapa harus buruh yang dikorbankan dengan kembali ke rezim upah murah. Pemerintahan Jokowi-JK jauh lebih kejam dan lebih buruk dibanding orde baru dan pemerintahan SBY.

Jelas dia, buruh akan terus aksi besar-besaran dengan menuntut: dicabutnya PP No 78/2015 tentang Pengupahan; menolak formula kenaikan upah minimum yakni inflasi+PDB; menuntut kenaikan upah minimum 2016 berkisar Rp 500 ribuan (kenaikan 25 persen); dan berlakukan upah minimum sektoral di seluruh kabupaten/kota dan provinsi dengan besaran kenaikan sebesar 10-25 persen dari UMP/UMK 2016. Karena yang dibutuhkan bukan hanya kepastian kenaikan upah tapi kesejahteraan upah layak dengan negosiasi tripartit di dewan pengupahan, sesuai dengan UU No. 3/2003.

‎”Buruh tidak takut dan akan terus melanjutkan aksinya walaupun menghadapi kebrutalan dan kekerasan polisi, sampai Presiden Jokowi mencabut PP No. 78/2015 dan duduk bersama tripartit merumuskan kembali kebijakan upah. Apakah harus menunggu dulu ada buruh yang meninggal akibat kekerasan polisi atau dipenjara baru Presiden Jokowi mencabut PP tersebut? Semoga Presiden Jokowi lebih bijak mau mendengar ratusan juta suara buruh dan keluarganya yang juga rakyatnya bukan seperti musuhnya yang dipukul dan dipenjara,” demikian Said Iqbal.(ts/RMOL)