Hersubeno Arief: Pidato Prabowo Vs Jokowi, Media Indonesia di Mata Pengamat Asing

Coba perhatikan pilihan  #BohongKokPidato yang disuarakan oleh buzzer utama Jokowi.  Hesteg ini  diamplifikasi oleh akun-akun bodong yang baru dibuat.  Ini adalah sebuah framing, melalui sebuah proses labeling. Memberi label kepada kelompok tertentu yang dinilai mempunyai perilaku menyimpang.

Pilihan label “bohong,” dan “hoax” kepada kubu oposisi, terutama kepada Prabowo dan Sandiaga Uno merupakan sebuah operasi terencana, terstruktur dan dilakukan secara massif. Para juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN), para fungsionaris partai pendukung, dan para buzzer kompak menyampaikan paduan suara itu.

Targetnya untuk menimbulkan ketidakpercayaan publik (public distrust)  terhadap apapun yang disampaikan oleh kubu Prabowo-Sandi. Operasi tersebut meningkat tajam bersamaan dengan Pidato Kebangsaan Prabowo.

Melalui proses labeling yang massif dan terus menerus, diharapkan hal itu menancap dalam memori kolektif publik. Sehingga apapun yang disampaikan oleh Prabowo-Sandi tidak dipercaya publik.

Sayangnya medsos berbeda dengan media konvensional. Media arus utama yang dikuasai oleh sekelompok oligarki yang mendukung atau dikooptasi penguasa. Maka terjadilah perang hesteg.

Pegiat dunia maya pendukung Prabowo meluncurkan #PidatoKebangsaanPrabowo. Hesteg ini menang jauh dibandingkan #BohongKokPidato. Walhasil gagal lah operasi di dunia maya itu.

Setelah TV One, Kompas TV, dan CNN Indonesia berhenti menayangkan, pidatonya terus bergema melalui media sosial, dan situs berbagi video youtube. Sejumah relawan merencanakan akan menggelar nonton bareng Pidato Kebangsaan Prabowo yang utuh.

Pidato Kebangsaan Vs Visi Presiden

Pidato Kebangsaan Prabowo jelas sangat berbeda dengan Pidato Jokowi yang dikemas dalam program Visi Presiden.

Pertama, Prabowo berpidato dalam kapasitas sebagai seorang capres. Dia memaparkan visi misinya sehingga publik mendapat gambaran utuh apa yang akan dilakukannya jika terpilih menjadi presiden.

Jokowi memaparkan visinya sebagai presiden. Sebuah pilihan yang aneh, karena dia belum (pasti) terpilih sebagai seorang presiden untuk lima tahun mendatang.

Jokowi bukan menyampaikan visi misi. Dia sedang berkampanye, tepatnya beriklan kepada para pemilih tentang apa yang sudah dia kerjakan.

Kedua, Prabowo konsisten mengikuti aturan KPU  yang mempersilakan para paslon untuk menyampaikan visi misinya secara mandiri. Keputusan itu diambil setelah paslon 01 menolak untuk memaparkan visi misi yang difasilitasi KPU.

Jokowi menolak memaparkan visi misi sebagai capres. Namun dia justru memilih memaparkan visinya sebagai presiden (?).

Ketiga,  Prabowo menyampaikan  gagasannya secara utuh dalam sebuah pidato berdurasi 90 menit. Publik bisa mendapat gambaran lengkap tentang apa saja yang akan dilakukan, dan akan dibawa kemana bangsa Indonesia bila dia terpilih.

Jokowi memilih dalam format talkshow  yang diselang seling dengan pertanyaan dan pemutaran video proyek pembangunannya, serta testimoni dari warga. Paling panjang Jokowi hanya bicara dalam durasi 2-3 menit, itupun naskahnya sudah dipersiapkan.

Strategi ini tampaknya dipilih untuk mengatasi kendala keterbatasan dan kemampuan Jokowi dalam menyampaikan gagasannya secara runtut,  dalam durasi yang panjang. Sudah menjadi rahasia umum, pidato Jokowi tanpa teks, biasanya tidak panjang dan tidak substansial.