Presiden Tanpa Pengalaman

Kredit internasionalnya akan menambah, memperluas privelege konstitusi dan politik dalam negeri. Ia akan jadi orang superistimewa. Tidak akan ada satupun rakyat yang dapat menyamai keistimewaannya. Presiden menjadi orang paling utama dan pertama dalam sebuah negara, karena privelege konstitusi dan politik.

Anda bisa bayangkan hampir semua manusia dalam sebuah negara, kalau tidak takut, ya pasti tak berani bertingkah tak pantas dihadapan aparatur hukum, militer, menteri dan pejabat besar lainnya. Padahal dihadapan presiden, orang-orang ini – para menteri, petinggi militer, polisi dan jaksa – harus bersikap sempurna, tunduk dan hormat pada presiden. Apa tidak hebat presiden itu? Hebat kan.

Presiden cerdas yang berada dalam situasi tertentu, ambil misalnya seperti Abraham Lincoln, presiden Amerika yang memukau dunia dengan demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat, memperluas kekuasaannya dengan dekrit demi dekrit. Keadaan yang dihadapi – perang saudara – ditransformasi menjadi dasar perluasan kekuasaannya. Hebat kan. Gegara itu seorang ahli politik konstitusi Amerika menyebut kepresidenannya sebagai imperial presidency.

Lincoln, anda tahu kalau tidak salah, dua kali mencalonkan diri jadi presiden. Pada pencalonan kedua kalinya barulah ia sukses menempati kursi kepresidenan. Lincoln berbeda dengan presiden pertama mereka, George Washington. Pria ini hanya sekali mencalonkan diri dan sukses jadi presiden. Dua periode, ya 8 tahun berada di jabatan itu. Ia membiarkan peluang yang tersedia untuk menjabat ketiga kalinya, berlalu.

George Washington adalah seorang, sebut saja militer, yang memimpin pasukan dalam perang kemerdekaan mereka. Usai perang kemerdekaan, George malah kembali ke kampung halamannya mengurus kebunnya. Ia masuk ke politik karena diajak, bahkan dibujuk oleh James Madison, untuk ikut dan memuluskan constitutional convention. Dari situlah ia jadi presiden. Sebelum secara hukum dan nyata jadi presiden, George dan Lincoln tak punya pengalaman menjadi presdien.