Setelah Fatah-Hamas Damai, Tim Kuartet Tetap Tuntut Palestina Akui Israel

Mediator perundingan damai Israel-Palestina yang dikenal dengan Tim Kuartet, terdiri dari AS, Rusia, PBB dan Uni Eropa dalam pernyataan resminya, tetap memaksa pemerintahan Palestina yang baru nanti mengakui eksistensi Israel.

Tim Kuartet mengeluarkan pernyataan itu, Sabtu (10/2) setelah pemimpin senior Hamas, Nizar Rayyan mengatakan, " Tidak ada Israel, baik dalam kenyataan maupun dalam khayalan. " Sebelumnya, Jumat (9/2), seorang juru bicara Hamas juga mengatakan bahwa Hamas tidak akan pernah mengakui Israel.

Seperti diberitakan, dalam perundingan yang dimediasi dan digagas oleh Raja Arab Saudi, Raja Abdullah bin Abdulaziz, Fatah yang diwakili Presiden Mahmud Abbas dan Hamas yang diwakili Perdana Menteri Ismail Haniyah dan biro politiknya, Khalid Meshaal, menyatakan sepakat untuk menghentikan pertikaian yang telah banyak memakan korban jiwa dari kedua belah pihak.

Dalam perundingan itu, Hamas menyatakan akan menghormati kesepakatan damai dengan Israel yang telah dibuat dimasa lalu dan akan berbagi kekuasaan dengan Fatah.

Tapi Israel menyikapinya hasil perundingan itu dengan sinis. Kepala hubungan luar negeri di parlemen Israel, Tzachi Hanegbi pada radio Israel mengatakan bahwa Abu Mazen (Presiden Mahmud Abbas) gagal total dan telah memberikan kemenangan yang besar pada Hamas.

"Akibatnya, peluang untuk inisiatif yang lebih maju dan lebih efektif serta kesepakatan antara Israel dan Palestina, mengalami kemunduran, " ujarnya.

Sementara itu Tim Kuartet minta tuntutannya agar pemerintahan bersatu Palestina nanti mengakui eksistensi Israel, harus sudah dipenuhi sebelum dunia intenasional mengakhiri blokade hubungan dan finansial terhadap Palestina. Dan untuk melanjutkan pembahasan dengan mempertimbangkan perkembangan yang terjadi saat ini, Tim Kuartet akan menggelar pertemuan di Berlin, tanggal 21 Februari mendatang. Dalam pertemuan itu, mereka akan mengkaji kembali formasi dan implementasi kesepakatan pada pemerintah Palestina.

Pejabat senior Fatah, Sufian Abu Zaida mengungkapkan, tujuan pembentukan pemerintahan nasional bersatu adalah untuk mengakhiri pertikaian antara Hamas dan Fatah yang terjadi belakangan ini, dan bukan untuk memenuhi tiga persyaratan yang ditetapkan oleh Tim Kuartet untuk mengakhiri blokade ekonomi. Itulah sebabnya, perundingan Makkah tidak melibatkan Tim Kuartet, Israel atau Bush dan Condoleezza Rice.

"Mereka tidak memikirkan Condoleeza Rice, Bush, Israel, Amerika, Kuartet… Yang utama mereka pikirkan adalah bagaimana mengakhiri pertumpahan darah, " ujar Abu Zaida pada radio Israel. (ln/aljz)