Trauma Anak-Anak Palestina, "Ayah, Israel Telah Membunuh Memo… "

Kekerasan demi kekerasan yang dilakukan rejim Zionis hampir setiap hari di Jalur Ghaza, ternyata mempengaruhi kondisi kejiwaan anak-anak di sana. Banyak orang tua yang mengisahkan perubahan perilaku anak-anak mereka karena terlalu sering mengalami dan menyaksikan pertumpahan darah yang terjadi di depan mata mereka.

Seorang ayah, dengan nada sedih menceritakan bagaimana puteranya yang berusia lima tahun, bernama Bara’, mengoleskan cat mobil warna merah ke mainan beruang kecilnya yang diberi nama Memo. Bara kemudian menunjukkan Memo yang sudah berlumuran cat warna merah kepada sang ayah sambil berkata, "Ayah, orang-orang Israel telah membunuh Memo."

Ayah Bara langsung tersentak melihat apa yang dilakukan puteranya."Saya sangat tercengang, bukan karena ia telah membuang-buang cat mobil saya yang sangat susah didapat dalam kondisi Ghaza sedang dalam pengepungan, tapi karena melihat anak saya kehilangan sifat anak-anaknya dalam usia semuda itu, " ujarnya.

"Hati saya hancur melihat putera saya berpikiran seperti itu, " sambungnya.

Lain lagi yang terjadi pada Asil, anak Palestina lainnya yang masih berusia 8 tahun. Suatu hari, Asil tidur dengan memdekap boneka di satu tangannya dan sebuah pulpen bertinta merah di tangan satunya lagi. Beberapa menit kemudian terdengar suara Asil menjerit. Keluarganya kaget dan langsung berlari ke kamar Asil.

"Bonekaku mati. Dia sedang tidur ketika Israel membunuhnya dengan misil, " kata Asil sambil menunjukkan bonekanya yang kini sudah berwarna merah. Asil rupanya menggunakan pulpen bertinta merah itu untuk mencoret-coret bonekanya, seolah-olah sebagai darah.

Melihat semua itu, sang ibu yang sudah kehilangan kata-kata hanya bilang, "Kita harus segera menguburkannya."

"Cuma itu permainan mereka sejak holocaust di Ghaza, " kata ibu Asil sambil menangis, menceritakan tentang pembantaian keji yang baru-baru ini dilakukan Israel ke Jalur Ghaza, yang menyebabkan 129 warga Ghaza, 40 anak-anak termasuk seorang bayi yang baru lahir dan 13 kaum perempuan, gugur.

Sementara itu, tak jauh dari rumah Asil, tinggalah Sufian, bocah Palestina berusia 12 tahun. Beberapa hari belakangan ini, Sufian merengek minta dibelikan sebotol tinta berwarna merah. Ayah Sufian berpikir, tinta itu dibutuhkan untuk keperluan pelajaran menggambar di sekolah puteranya, sehingga sang ayah pun membelikan sebotol tinta berwarna merah.

Begitu mendapatkan botol tinta itu, Sufian mengumpulkan semua mainannya dan mainan saudara-saudaranya yang lain, dan mengecat mainan-mainan itu dengan sebotol tinta merah yang dimintanya. Lalu Sufian berkata pada ayahnya, "Lihatlah, apa yang telah dilakukan Israel pada mainan-mainan kami. Ini adalah holocaust yang dilakukan Israel."

Trauma

Para pakar mengatakan, apa yang terjadi pada anak-anak di Ghaza merupakan dampak yang alamiah akibat trauma kehidupan yang mereka alami.

"Kita mendapatkannya dari lingkungan sekitar kita, " kata Fadl Abu-Haien, profesor bidang psikologi di Universitas al-Aqsa di Ghaza. Anak-anak itu, kata Abu Haien, tinggal di Ghaza yang kini sedang dikepung dan di tengah pemandangan pertumpahan darah dan agresi yang tak henti dilakukan Israel.

"Banyak di antara mereka, bahkan menyaksikan orang-orang yang mereka cintai meninggal, " tukas Abu Haien.

Menurut Abu Haien, ia menjumpai lebih dari 150 anak yang secara psikologis mengalami ketakutan, menunjukkan gejala depresi dan selalu gelisah, pasca pembantaian Israel kemarin.

Gejala memprihatinkan ini, sudah diamati oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengatakan bahwa "anak-anak Palestina menghadapi bahaya berupa kehancuran psikologis yang sulit dipulihkan."

Tahun 2006, studi yang dilakukan Queen Univesrity, Kanada menyebutkan, mayoritas anak-anak di Palestina pernah merasakan kena gas air mata, menyaksikan rumah-rumah mereka dihancurkan dan menjadi saksi hidup pertempuran serta ledakan-ledakan bom. Hasil studi itu menyimpulkan, kekerasan yang sudah terpola sedemikian rupa, membuat anak-anak Palestina takut untuk hidup.

"Ada lubang hitam yang tumbuh di dalam pikiran dan jiwa mereka, " tambah Profesor Abu Haien. (ln/iol)