Para Ahli Kesehatan Dunia Ragukan Vaksin Covid-19 Buatan China, Khawatir Bisa Tingkatkan Penularan HIV

Eramuslim.com – Para ahli kesehatan di dunia meragukan efektivitas dari vaksin Covid-19 buatan Rusia dan China. Pasalnya, kedua vaksin tersebut didasarkan pada modifikasi virus flu biasa di mana sudah banyak orang yang memiliki kekebalannya.

Vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh perusahaan China, CanSino Biologics saat ini telah mendapatkan persetujuan untuk digunakan pada militer meski belum merampungkan uji klinis tahap 3.

Sementara itu, vaksin Covid-19 buatan Gamaleya Research Institute dan Kementerian Pertahanan Rusia bernama Sputnik V saat ini sudah mendapatkan lisensi walaupun masih dalam proses uji klinis tahap 3.

Mengutip Wall Street Journal pada Senin (31/8), para ahli di Universitas Johns Hopkins mengaku meragukan dua vaksin tersebut.

Pasalnya, keduanya dikembangkan dengan memodifikasi adenovirus tipe 5 atau Ad5 yang merupakan virus flu yang dikembangkan.

“Ad5 mengkhawatirkan saya hanya karena banyak orang memiliki kekebalan,” ujar peneliti vaksin di Universitas Johns Hopkins, Anna Durbin.

“Saya tidak yakin apa strategi mereka, mungkin tidak akan memiliki kemanjuran 70 persen. Mungkin memiliki kemanjuran 40 persen, dan itu lebih baik daripada tidak sama sekali, sampai sesuatu yang lain muncul,” sambungnya.

Selama beberapa dekade, para peneliti telah bereksperimen dengan vaksin berbasis Ad5 untuk melawan berbagai infeksi, namun tidak ada yang digunakan secara luas.

Mereka menggunakan virus yang tidak berbahaya sebagai “vektor” untuk membawa gen dari virus target, dalam hal ini virus corona baru, ke dalam sel manusia, mendorong respons kekebalan untuk melawan virus yang sebenarnya.

Namun saat ini sudah ada banyak orang yang memiliki antibodi terhadap Ad5, yang dapat menyebabkan sistem kekebalan menyerang vektor alih-alih merespons virus corona, membuat vaksin ini kurang efektif.

Sejauh ini, belum ada tanggapan baik dari CanSino maupun Gamaleya terkait dengan keraguan para ahli.

Beberapa peneliti, seperti Universitas Oxford dan AstraZeneca sendiri menghindari penggunaan Ad5 untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Bahkan, Johnson&Johnson juga menggunakan Ad26 yang relatif langka.