Catatan Pengajian di Bumi Sakura: Sensitivitas dalam Berdakwah

Tanpa terasa, selama beberapa tahun tinggal di Jepang ini, entah sudah berapa kelompok belajar agama Islam bersama teman muslim Jepang yang saya ikuti. Diiringi niat untuk menambah pengetahuan agama dan sekaligus menemani suami belajar, saya mengembara dari satu kelompok belajar ke kelompok belajar yang lainnya, lengkap dengan segala pernak-perniknya. Diantara kelompok belajar tersebut, ada yang masih terus sampai sekarang, ada yang antara hidup dan mati, tapi ada juga yang terhenti begitu saja.

Menurut pengalaman dan pengamatan saya selama ini, yang paling menonjol dan patut disyukuri adalah semangat berdakwah yang sangat tinggi dari teman-teman muslim berbagai negara yang kebetulan tinggal dan belajar atau bekerja di Jepang. Penulis sering dibuat terharu dengan ketulusan teman-teman yang rela meluangkan waktunya ditengah kesibukan keluarga dan belajarnya untuk berdakwah. Namun sayang sekali karena semangat dakwah yang tinggi tersebut kadang bagai gayung tak bersambut.

Satu-satu semangat belajar peserta menyurut dan meninggalkan kelompok belajar karena merasa tidak terakomodasi kebutuhannya.

Semangat dalam berdakwah sudah tentu sangat diperlukan untuk kelancaran dakwah. Akan tetapi, semangat saja rasanya belum cukup tanpa diimbangi oleh sensitifitas dan pengetahuan penunjang dibidang-bidang lain yang mungkin sangat erat berkaitan dalam menunjang kelancaran dan efektifitas berdakwah, seperti latar belakang peserta, prioritas materi dakwah, target dakwah maupun sensitifitas terhadap lingkungan dan budaya setempat.

Latar Belakang Peserta: Para mualaf Jepang tersebut masuk Islam ketika sudah dewasa dengan berbagai macam latar belakang.

Kenyataan ini tentu membawa dampak dalam keber-islaman dan cara orang Jepang mengenal & mempelajari Islam termasuk prioritas materi yang ingin dipelajari.

Sebagai contoh kasus adalah orang Jepang yang telah menjadi muslim sejak mereka sekolah dan memperdalam Islam di sekolah; dengan orang Jepang yang mendapat hidayah melalui pintu pernikahan. Kedua kasus ini tentu akan mempengaruhi cara dan bahkan prioritas materi yang harus diajarkan.

Untuk kasus yang pertama, beberapa kajian Islam dasar seperti fikih bersuci, sholat, pembahasan tentang rukun Islam, rukun Iman mungkin bukan menjadi prioritas utama. Tapi untuk kasus kedua (mendapat hidayah masuk Islam melalui pintu pernikahan) dan belum sempat memperdalam pengetahuan Islamnya, pengajaran tentang fikih bersuci (terutama wudhu & mandi janabah) dan belajar menyempurnakan bacaan & gerakan sholat menjadi poin-poin yang sangat penting untuk didahulukan karena terkait dengan ibadah sehari-hari yang harus dikerjakan.

Sepertinya, sudah saatnya untuk mengubah sistem pembelajaran yang “memukul rata” kebutuhan siswa dengan sedikit menggali latar belakang mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Alternatif lainnya adalah dengan menyebarkan angket analisis kebutuhan belajar; ataupun berbincang-bincang secara langsung dan santai tentang poin apa saja yang bisa ditawarkan (dengan mempertimbangkan latar belakang mereka) maupun bertanya tentang apa yang ingin dipelajari. Informasi ini bisa didapat langsung dari teman-teman mualaf ataupun melalui pasangannya (suami/istri).

Prioritas Materi Dakwah dan Kebiasaan Orang Jepang yang Suka Membaca

Pendapat sementara orang bahwa mualaf Jepang adalah mereka yang pengetahuan agamanya masih kurang sepertinya perlu sedikit dikoreksi dan bahkan bila perlu dipertimbangkan kembali; meskipun mungkin hal tersebut ada kalanya benar. Hal ini terkait dengan sifat dan karakter dasar orang Jepang yang gemar membaca.

Dalam beberapa kasus, sebelum masuk Islam, orang-orang Jepang akan membaca terlebih dahulu ilmu pengetahuan dan literature apa saja yang berkaitan dengan Islam sampai mereka merasa mantap dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Saya seringkali dibuat kagum dan terkejut sekaligus terharu saat menemui teman-teman muslim Jepang yang relatif masih “baru” beragama Islam dibanding saya tapi MashaAllah, pengetahuan dan praktek beragamanya sangat bagus.

Sampai-sampai saya sering bertanya ke diri-sendiri “Apa saja yang sudah aku dalami selama ini ya?, rasanya masih belum sebanding benar dengan mereka yang relatif masih baru berislam”.

Ada sebuah contoh kasus dimana seorang guru besar dari sebuah negara Islam mengajarkan Alif, Ba secara terus-menerus selama hampir 6 jam atau lebih (3x pertemuan) dan membuat semangat belajar kami menurun drastis padahal sebelumnya kami sangat berharap banyak dari beliau yang kami anggap sangat mumpuni pengetahuan agamanya.

Standar Target Pengucapan Bahasa Arab/ Huruf Hijaiyah

Disadari atau tidak, tiap-tiap kita pasti punya ciri khas kebahasaan yang membuat kita lebih mudah ataupun lebih sulit untuk mempelajari suatu bahasa baru yang bukan bahasa ibu kita ataupun bahasa sehari-hari kita. Meskipun hal tersebut bukan merupakan alasan untuk menjadi tidak mahir berbahasa karena dengan kemauan yang kuat dan latihan yang cukup, InshaAllah kita akan dapat menguasai bahasa asing yang bukan bahasa ibu kita.

Maksud saya mengingatkan kembali akan ciri khas kebahasaan tersebut tak lain adalah bagi siapapun yang kebetulan mendapat amanah mengajar membaca Al-Qur’an ataupun huruf hijaiyah kepada teman-teman Jepang; alangkah bijaksananya bila pengajar tidak terpaku pada pengucapan satu huruf yang memang kebetulan sulit untuk lidah non-arab, dan terus melanjutkan pelajaran sambil sesekali diulang kembali bagian-bagian yang memang sulit untuk beberapa murid yang berbeda pada waktu-waktu yang lainnya.

Sebab bila pelajaran hanya hanya difokuskan pada satu huruf saja, kemungkinan hilangnya minat belajar hanya tinggal menunggu hitungan waktu saja. Pengalaman pribadi dicecar untuk mengucapkan huruf hijaiyah sampai memenuhi standar pengajar yang berdialek Mesir membuatku kehilangan semangat untuk terus belajar dan ternyata dikemudian hari aku juga tahu bahwa teman-teman Jepangku-pun punya perasaan yang sama.

Sensitifitas terhadap Lingkungan dan Budaya Setempat: Menghindari Topik-topik Sensitif

Menurut hemat penulis, berdakwah itu tidak harus lewat majelis perkumpulan resmi saja tapi bisa juga lewat prilaku dan tutur kata kita saat bergaul dengan saudara seiman di Jepang maupun yang tidak seiman. Dalam beberapa kesempatan, penulis seringkali menjumpai teman-teman yang asyik berdiskusi tentang kaum kafir, surga & neraka, atau pusat perjudian yang menjamur di Jepang ini. Dan secara tidak sengaja pembicaraan akan merembet ke kebiasaan/budaya orang Jepang yang tentu saja berbeda dengan mereka padahal disitu hadir juga para muslimah atau muslim Jepang.

Terus terang saja, saya pribadi merasa tidak nyaman bila berada dalam situasi seperti tersebut diatas; karena secara kebetulan saya berkesempatan mengamati raut muka dan ekspresi teman muslim Jepang saat mendengarkan percakapan mereka. Dan sepertinya perubahan ekspresi tersebut luput dari perhatian teman-teman yang sedang asyik berbincang-bincang dan mengkritisi kebiasaan orang Jepang pergi ke pacinko. Ada rasa tidak enak yang menyelimuti hati dan perasaan saya melihat perubahan wajah teman Jepang tersebut. Sekali, dua kali hal itu terjadi begitu saja sampai suatu ketika saya berkesempatan untuk bicara dari hati ke hati disebuah forum yang dihadiri oleh seorang muslimah Jepang yang juga dosen agama Islam di sebuah Universitas di Kyoto.

Dengan hati-hati saya bertanya ke sister tersebut tentang bagaimana tanggapannya bila kebetulan ada orang-orang yang berbicara tentang topik-topik seperti kaum kafir, surga & neraka, atau pusat perjudian di Jepang ini. Jawaban yang kudapat sungguh sangat mengesankanku sampai sekarang.

Sister itu terlebih dulu menarik nafas dalam dan sedikit bergetar saat memulai berbicara karena menahan suatu perasaan yang aku sendiri sulit melukiskannya.

“What do they know about our feeling? Most of our relatives are still non-muslim and we know the consequences for them. I hope that people can be more sensitive about others’ feeling. Never think that just because they are muslim, then they will go directly to heaven without being judged first on what they have done in their whole life!”

Sebuah jawaban yang menyentak alam bawah sadarku dan menembus ulu hatiku. Tiba-tiba aku dapat merasakan kepedihan mendalam yang dirasakannya dalam setiap untaian katanya. Ya Allah ampunilah hamba bila secara tak sengaja pernah berbuat hal serupa (menyakiti hati saudara) atau bahkan orang terdekatku dimasa lalu karena kebodohanku.

Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Semoga catatan singkat tentang hal-hal yang mungkin berkaitan erat dalam menunjang kelancaran berdakwah di Jepang ini bisa memberikan sumbangan bagi kepentingan dakwah, InshaAllah, amin.

==================

Fukuoka, Februari 2009. Umi Shandi; Alumni The University of Melbourne, Australia Master of Education Alamat Tinggal: Fukuoka, Jepang