Demokrat Menuai Hasilnya

Ada pepatah yang sudah lama, dan sering diucapkan. "Siapa yang menanam, pasti akan memetik hasilnya". Kalau menanam jagung, maka akan memetik buah jagung. Kalau menanam buah kecapi, maka akan memetik kecapi. Tidak mungkin menanam jagung, memetik kecapi. Ini sudah menjadi aksiomatik.

Siapa berbuat kebaikan sebiji sawi pun, pasti akan memetik buah kebaikan yang ditanamnya. Siapa yang menanam keburukkan sebiji sawipun, keburukan itu akan kembali kepada dirinya.

Setiap tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok, sebanding lurus dengan menerima hasil dari pilihan tindakannya. Karena, itu ada hukum yang sifatnya tetap, yang disebut dengan : "reward dan punishment" (ganjaran dan hukuman).

Sekarang bangsa Indonesia mendapatkan sebuah fakta, yang terang benderang dari dua kasus, terkait dengan suap, yaitu Nunun Nurbaeti dan Nazaruddin.

Nunun Nurbaeti dikaitkan dengan dugaan suap pemilihan DGS (Dewan Gubernur Senior) Bank Indonesia (BI) Miranda Gultom, sementara itu, Nazaruddin dikaitkan dengan suap pembangunan Komplek Atlet di Palembang, yang melibatkan Sesmenpora. Tetapi, keduanya menghilang di luar negeri, dan keduanya tidak hadir memenuhi panggilan KPK.

"Walaupun para petinggi Demokrat mengatakan kasus ini tidak melibatkan partai ataupun keuangan partai, masyarakat tak yakin dengan ucapan ini," kata Denny J.A., pendiri lembaga survei itu, ketika memaparkan hasil jajak pendapatnya kemarin.

Dibagian lain, suara Partai Demokrat yang memenangkan pemilu 2009, melorot akibat tindakan Nazaruddin. Namun, kenyataannya Nazaruddin sebelum meninggalkan Indonesia telah membuka tabir, yang selama ini menyelimuti kehidupan politik di Indonesia. Di mana Nazarudidn menyebutkan sejumlah nama, yang menurut Nazarudidn terlibat dalam kasus pembangunan perumahan atlet di Palembang.

Sebuah lembaga survei yang mengumumkan hasil survei yang dilakukan terhadap 1.200 responden dengan sistem multirandom sampling pada 1-7 Juni lalu. Hasilnya, elektabilitas Demokrat turun 5 persen dari 20,5 persen berdasarkan hasil survei pada Januari lalu. Menunjukkan dukungan terhadap Demokrat menjadi  15,5 persen, ini  merupakan titik terendah Demokrat sejak 2009.

Adapun partai pesaingnya, yaitu Golkar, mengalami peningkatan elektabilitas dari 13,5 persen menjadi 17,9 persen. Hasil ini menempatkan Partai Beringin untuk sementara mengungguli Demokrat.

Sementara itu, Denny menganggap pembentukan tim penjemput Nazaruddin ke Singapura hanya sebagai upaya melokalisasi kasus. Demokrat tetap dinilai tak tegas karena Nazaruddin memegang banyak rahasia partai. "Dia pegang kotak pandora yang jika dibuka akan menghancurkan Partai Demokrat," kata Denny.

 Saan Mustofa mengakui  tingkat elektabilitas Partai Demokrat memang mengalami penurunan. Namun, Demokrat masih memimpin dengan 18,9 persen, sedangkan urutan kedua ditempati PDI Perjuangan dengan pemilih 16,7 persen, diikuti Partai Golkar 12,5 persen, Partai Kebangkitan Bangsa 4,5 persen, Partai Keadilan Sejahtera 4,1 persen, dan Partai Persatuan Pembangunan 4 persen.

Walaupun tingkat validitasnya  masih menjadi "question" hasil survei itu, tetapi  menggambarkan betapa partai-partai politik, khususnya Demokrat yang menjadi "the rulers party" partai berkuasa, dengan adanya kasus korupsi yang membelit Nazaruddin, maka Demokrat  telah kehilangan kredibelitasnya.

Sampai sekarang Bendahara umum Demokrat itu, tidak berani menunjukkan batang  hidungnya di depan KPK. Kasus ini  menggambarkan, bukan hanya Nazaruddin, tetapi Partai Demokrat dan para pemimpinnya diragukan kredibelitasnya.

Demokrat tidak serius dan sungguh-sungguh melakukan pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum. Publik mempunyai kesimpulan bahwa partai politik yang ada sekarang ini benar-benar  menjadi "bunker’ para koruptor. Karena yang terlibat korupsi para kader dan pengurus partai. Sehingga, mementahkan upaya penegakkan hukum yang dilakukan penegak hukum seperti KPK.

Sulit rasanya mengharapkan akan terwujud terciptanya penegakkan hukum di Indonesia, karena  yang terlibat dalam KKN itu para kader dan para pemimpin partai. Sehingga, upaya-upaya penegakkan hukum, seperti membenturkan kepala kepada tembok baja.

Sikap para pemimpin Partai Demokrat dan Presiden SBY, yang "setengah hati" terhadap Nazaruddin, membuktikkan bahwa Partai Demokrat, tidak memiliki komitmen yang serius memberantas korupsi di Indonesia.

Termasuk membiarkan Nazaruddin tidak memenuhi panggilan KPK, yang sebenarnya dibutuhkan dalam rangka melakukan penegakkan hukum. Ini akan berakibat sangat buruk bagi masa depan Indonesia. Wallahu’alam.