DPR Bukan Wakil Rakyat?

DPR adalah perpanjangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tetapi, masihkah  DPR dapat disebut sebagai wakil rakyat? Karena setiap kali keputusan yang diambil DPR, sepertinya tidak mempunyai korelasi dengan aspirasi rakyat. Jika DPR menjadi wakil rakyat, segala keputusan yang diambil, pasti akan selalu berkolerasi dengan aspirasi rakyat.

Dalam rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi dan Badan Urusan Rumah Tangga DPR, kemarin (7/4) di Jakarta memutuskan melanjutkan pembangunan gedung baru, yang akan menelan biaya senilai Rp 1,123 triliun. Dari seluruh fraksi yang ada, hanya dua yang menolak yaitu Partai PAN dan Partai Gerindra. Sedangkan Partai Demokrat, Partai PKS, Partai PPP, Partai PDIP, Partai Golkar , Partai PKB, Parta Hanura, mereka semuanya menyetujui pembangunan gedung baru DPR.

Pembangunan gedung baru ini pasti akan menguras dana  anggaran (APBN) yang sudah defisit, dan sekarang harus dibebani dengan anggaran untuk membiayai pembangunan gedung baru DPR, yang nilainya RP 1,123 triliun. Ini hanya menggambarkan betapa DPR sudah tidak lagi mewakili aspirasi rakyat. Rakyat yang sebagian besar memandang tidak ada urgensinya membangun  gedung baru, yang hanya akan menghabiskan anggaran negara yang sekarang ini "kembang-kempis".

Sementara itu, kepercayaan rakyat terhadap DPR semakin rendah. Karena, dalam beberapa tahun terakhir ini, DPR yang mempunyai fungsi kontrol, anggaran, dan legislasi semaunya belum menunjukkan prestasi yang dapat diapresiasi oleh rakyat. Terutama masalah kasus-kasus besar, seperti BLBI, Lapindo, kenaikan BBM, masalah impor beras dan daging, dan sejumlah kasus lainnya.

Apalagi, secara objektif, rencana DPR yang akan membahas dan mengesahkan 70 rancanan udang-undang (RUU) itu, hanya 8 RUU yang berhasil disyahkan oleh DPR selama periode tahun 2010.

Obsesi DPR yang akan membangun gedung 36 lantai, yang akan menjadi tempat kerja anggota DPR yang akan dilengkapi berbagai sarana yang sangat "wah", hanyalah semakin menjadikan lembaga itu, bukan lagi tempat yang menjadi kebanggaan rakyat, tetapi sebagai tempat para oligarki partai, yang masing-masing dengan kepentingn sendiri-sendiri, dan merasa imune dengan aspirasi rakyat.

Anggaran besar yang dikeluarkan lewat APBN itu, hanyalah menjadi sia-sia belaka, karena tidak memiliki efek langsung kepada kehidupan rakyat. Sikap para anggota DPR yang sudah tidak mau lagi mendengarkan suara rakyat itu, dan akhirnya hanya menjadikan DPR sebagai "menara gading", dan mempunyai relasi apapun dengan rakyat, yang mereka wakili. Inilah realitas politik Indonesia, yang semuanya itu menggambarkan betapa absurdnya kenyataan politik yang ditampilkan para wakil rakyat. Wallahlu’alam.