Gadhafi Lebih Memilih Kekuasaan

Kekejaman dan kejahatan Gadhafi hanya bisa disamakan dengan rezim Rwanda, Bosnia, dan Kosovo, yang membantai rakyatnya dengan keji. Tentara menembaki rakyatnya seperti menembaki binatang. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan kota Tripoli. Darah berceceran di mana-mana. Sudah lebih 1000 orang yang tewas, dan ribuan lainnya yang mengalami luka-luka.

Saif al-Islam anak tertua Gadhafi mengatakan, “Akan mempertahankan kekuasaan ayahnya sampai peluru terakhir”. Bahkan, Gadhafi menolak untuk turun dari kekuasaan, dan mengatakan, “Ingin menjadi martyr”.

Menghadapi aksi protes yang dilakukan rakyatnya Gadhafi dengan menggunakan kekuatan militer dan senjata. Tembakan senjata dari para pendukung Gadhafi, seperti guyuran hujan. Pemimpin Libya itu akan mempertahankan kekuasaannya sampai titik darah penghabisan. Tidak ada kompromi dengan para penentangnya.

Pemimpin Libya itu bukan hanya dengan menggunakan pasukan daratnya, tetapi untuk menghancurkan para penentangnya juga menggunakan helikopter dan pesawat tempur. Kerumunan massa yang ada di ibukota Tripoli ditembaki dari udara dengan senjata otomatis, dan rudal dari pesawat udara. Ini benar-benar pembantaian.

Tindakan yang penuh dengan kekejaman dan brutal yang dilakukan Gadhafi itu, karena ia ingin tetap berkuasa, meskipun Gadhafi sudah berkuasa selama 42 tahun. Gadhafi tidak ingin menyerahkan kekuasaannya,dan ingin tetap berkuasa sampai mati. Kekuasaan selalu membuat orang menjadi lupa, dan selalu tak pernah puas dengan kekuasaan itu.

Gadhafi lebih memilih kekuasaannya dibanding memilih rakyatnya. Karena itu ia bertindak sangat kejam dengan tanpa ada lagi hati nurani, memerintahkan membunuhi para penentangnya dengan kekuatan senjata. Tanpa kompromi. Gadhafi tidak peduli dengan desakan dan kecaman dari manapun. Pemimpin Libya menolak setiap desakan dari masyarakat dunia yang menginginkan agar menghentikan kekejaman yang dia lakukan.

Kekuasaan yang telah dia pegang membuat pemimpin Libya itu, nampaknya menjadi bebal dan tidak lagi peka, serta berusaha terus mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk menggunakan kekerasan yang sangat kejam. Rakyatnya bukan hanya dihancurkan dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukannya, tetapi lebih dari itu, Gadhafi dengan menggunakan senjata, membunuhi rakyatnya, yang menuntut perubahan.

Inilah cirri-ciri penguasa diktator yang sudah terlalu lama berkuasa, tidak lagi memiliki kepekaan dan moralitas, dan negara seperti menjadi milik pribadinya. Rakyat tidak diberikan ruang untuk menjadi pemilik atau subjek, dan justru rakyat diperlakukakn dengan cara-cara yang biadab dan tidak manusiawi.

Gadhafi yang menganut ideology sosialis itu, tak pernah mau memahami aspek kehidupan rakyatnya secara jujur.

Pertumpahan darah di Libya akan membawa korban yang lebih banyak lagi. Rakyat menginginkan perubahan dan kehidupan yang lebih baik. Tetapi, Gadhafi tidak mau menerima keiniginan rakyatnya, dan rakyatnya dijadikan musuh.

Rakyatnya diposisikian sebagai musuh. Karena persepsi Gadhafi menganggap rakyat sebagai musuh dan menjadi ancaman, maka Gadhafi mempertahankan kekuasaan dari para musuh-musuhnya dengan segala kekuatan. Termasuk menggunakan senjata.

Dr. Shalahudin Berzaq di Benghazi mengatakan, ini adalah revolusi yang kedua, yang saya alami’, tuturnya. Dulu, ketika Gadfhafi naik tahun 1972, saya mendukung Gadhafi, karena waktu itu dia mengatakan melakukan revolusi untuk kebebasan rakyat, saya mendukungnya. Sekarang saya kembali ke jalan-jalan menuntut Gadhafi mundur dan untuk  meninggalkan kekuasasannya. Ini revolusi  kedua, yang saya lakukan, ujarnya di Benghazi.

Gadhafi lebih memilih kekuasaannya. Pertumpahan darah terjadi dianggapnya sebagai hal yang lumrah dan keniscayaan. Darah di berceceran di jalan-jalan di Tripoli. Ribuan orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka. Begitulah akibat terlalu lama berkuasa. Gadhafi benar-benar orang yang gila kekuasaan. Wallahu’alam.