Untuk Apa Berkoalisi Kalau Tidak Bisa Melakukan Nahi Munkar?

Hari-hari akhir segera nampak bahwa Presiden SBY akan mengeluarkan diantara anggota gerbong koalisinya. Hanya menunggu hitungan jam, Presiden akan mengumumkan pergantian kabinet.

Alasannya Presiden dan pendukungnya ingin menciptakan soliditas pemerintahan dan stabilitas politik, serta kuatnya  dukungan parlemen.

Secara ‘fatsoen politik’ etika dalam berpolitik, semua partai yang diikat dalam koalisi harus seia-sekata dengan apapun yang menjadi kebijakan pemerintah. Tidak boleh ada yang bersuara ‘dissent’ (sumbang), semua peserta dalam koalisi harus menjadi ‘pak turut’, betapapun kebijakan itu, tak sejalan dengan kehendak rakyat.

Dua momentum penting dalam kehidupan politik di Indonesia, terkait dengan kasus bail out Bank Century dan Mafia Pajak, pemerintah mempunyai sikap yang tidak sejalan dengan partai-partai yang sekarang ini akan digusur dari kabinet.

Persoalannya adakah usaha-usaha untuk mengungkap korupsi itu menjadi sebuah kejahatan di Indonesia? Seperti dibentuknya Pansus Century dan Pajak, yang menjadi sebuah tuntutan publik, karena rakyat ingin melihat kasus itu menjadi sebuah kasus yang  terbuka, dan membuka kasus korupsi menjadi ‘domain’ publik, yang harus di buka selebar-lebarnya.

Tetapi, dua kasus yang menjadi perhatian seluruh publik di negeri ini, yang menginginkan perubahan kearah kehidupan yang lebih baik,bebas dari segala bentuk korupsi, kemudian menjadi sebuah preseden politik, dan kekuatan politik yang mendukung Pansus harus digusur dari pemerintahan.

Apakah bagi kekuatan politik yang sudah tergabung dalam koalisi tidak diberi hak untuk melakukan ‘nahi mungkar’? Apakah kasus bail out Bank Century dan adanya Mafia Pajak, bukan sebuah kemungkaran yang harus diselidiki dan kemudian diambil sebuah tindakan hukum?

Apakah usaha-usaha untuk membongkar setiap kejahatan korupsi, kemudian harus  menjadi sebuah kejahatan bagi kekuatan pollitik yang melakukannya? Ini yang menjadi persoalan yang sangat esensial, yang harus menjadi pertanyaan sekarang ini?

Sejatinya, jikaPresiden SBY dan Partai Demokrat, mempunyai komitmen yang serius untuk membangun pemerintah yang bersih “good governance”, seharusnya pemerintah mendukung setiap kekuatan dan elemen politik manapun, dan tidak menjadikan  mereka musuh.

Apakah dengan membongkar kasus bail out Bank Century dan Mafia Pajak, kemudian akan menjadi ancaman pemerintah SBY?

Rasanya kalau paradigma yang mendasari reshuffle yang akan diambil oleh Presiden SBY hanya karena berlatar belakang dengan tidak sejalannya partai-partai yang ikut dalam Pansus Century dan Pajak, itu menjadi sangat naïf.

Pergantian kabinet dengan latar belakang seperti itu, dan kemudian memasukkan partai-partai baru yang hanya menjadi instrument pemerintah untuk sekadar menjadi “pak turut”, maka ini hanya akan membawa proses pembusukkan pemerintahan SBY. Karena tidak ada lagi kontrol dari  kekuatan politik, dan tidak ada lagi nahi mungkar.

Indonesia akan kembali terjerumus ke era Orde Baru, di mana kekuatan politik hanya bisa menjadi, “pak turut”, sebuah oligarki yang resisten terhadap kehendak rakyat. Tidak lagi memiliki kepekaan terhadap kondisi rakyat yang ada.

Sebuah pengulangan sejarah kehidupan Orde Baru, yang hanya ada satu “suara”, yang sesuai dengan keinginan pemerintah, bukan keinginan rakyat, yang sekarang menuntut akuntabel dan transparansi dalam pengelolaan negara. Inilah sebuah dilemma yang akan dihadapi pemerintahan Presiden SBY.

Seharusnya SBY mendorong partai-artai politik untuk memberikan sumbangan bagi perbaikan negara yang lebih adil dan sejahtera? Sementara itu, korupsi dan nepotisme seharusnya menjadi "common enemy".

Lalu untuk apa sejatinya partai-partai yang ada dalam koalisi kalau tidak dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar?

Apalagi dalam sistem pemerintahan sekuler yang tidak memiliki landasan yang  jelas dalam mengelola negara. Semuanya menjadi relatif, dan kebenaran pun menjadi relatif.

Ikut dalam pemerintahan sekuler yang tanpa paradigma yang pasti hanya akan menemukan kegagalan. Wallahu’alam.