Hukum Gadai dalam Syariah.

Assalaamu’alaikum Bapak Ustadz yang dikasihi Allah.
Demi Allah dan Rasulullah kami mohon penjelasan Pak Ustadz berdasarkan hukum syar’i perihal gadai, boleh atau haramkah? Atau adakah ijab tertentu yang bisa menghalalkan atau mengharamkannya sebagai syarat? Mohon penjelasannya. Ustadz, sebab di sekitar kami tak ada orang yang bisa kami minta pemahamannya soal ini, sementara tanpa sepengetahuan kami, keluarga (ibu) menerima gadai berupa sawah yang pada umumnya sawah tersebut bisa dimanfaatkan oleh penerima gadai.

Terimakasih sebelumnya. Jazaakumulloh khoiron katsiro

Wassalamu’alaikum,

ِAssalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dalam istilah fiqih, gadai dikenal dengan istilah rahn. Bentuknya adalah menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh berpiutang (yang meminjamkan). Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.

Dasar transaksi ini adalah firman Allah SWT

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)..”. (QS Al-Baqarah ayat 283)

Selain itu juga ada hadits syarif berikut:

”Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya… Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya.” (HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).

Hukum Gadai Gadai secara hukumnya dibolehkan asalkan tidak terkandung unsur-unsur ribawi. Bahkan beberapa kali tercatat Rasulullah SAW mengadaikan harta bendanya.

Rasulullah pernah ditanya tentang seseorang menggadaikan kambingnya, bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullullah mengizinkan kita mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan. Biaya pemeliharaan itulah yang kemudian dijadikan dasar ijtihad para pakar keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.

Namun pegadaian yang sering kita saksikan di negeri kita ini banyak yang melanggar aturan syariah. Sehingga hukumnya haram. Sebab prakteknya justru sekedar pembungaan uang atau hutang yang nyata-nyata diharamkan di dalam semua agama samawi.

Misalnya seseorang menggadaikan mobilnya dan mendapatkan uang pinjaman sebesar 50 juta. Uang pinjaman ini adalah hutang yang harus dibayarkan pokok dan bunganya. Dan selama pokok pinjaman itu belum dikembalikan, bunganya tetap terus berkembang. Boleh jadi ke depannya jumlah hutangnya sudah membengkak menjadi 100 juta. Beda gadai ini dengan pinjaman uang biasa adalah pada masalah jaminan, di mana dengan digadaikannya mobil itu, pihak yang memberi pinjaman akan lebih mudah mengeluarkan uang pinjaman. Sebab harga mobil itu sudah pasti lebih mahal dari jumlah pinjaman yang diberikan.

Dalam gadai secara syariah, tidak ada pembungaan uang pinjaman, melainkan biaya penitipan barang. Ketika seseorang menggadaikan mobilnya, maka dia berkewajiban untuk membayar biaya penitipan mobil itu. Dan biaya seperti itu wajar terjadi. Bukankah ketika kita memarkir mobil di sebuah mal, kita diwajibkan untuk membayar ongkos parkir untuk tiap jamnya? Maka ketika seseorang menggadaikan mobil, dia pun pada hakikatnya harus membayar biaya penitipan mobil itu. Biaya penitipan itulah yang jadi keuntungan bagi pihak yang memberi pinjaman hutang.

Perbedaan utama antara gadai syariah dengan gadai yang haram adalah dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah bebas dari bunga, yang ada adalah biaya penitipan barang.

Dalam perkembangannya, gadai yang sesuai syariah ternyata memilki potensi pasar yang besar sehingga di negara–negara dengan mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan Malaysia, pegadaian syariah telah berkembang pesat. Bahkan di negeri kita pun sekarang sudah mulai banyak pegadian yang menggunakan sistem syariah, atau dikenal dengan nama Pegadaian Syariah.

Wallahu a’lam bishshawab, Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.