Men-shaum-kan Kekuasaan

Eramuslim.com – Gairah menyambut ketibaan bulan puasa, telah menyatu dalam tradisi umat. Ruang keinsyafan seolah menjelma seketika, saat bulan Ramadhan mulai menyapa. Ungkapan permohonan maaf secara pontanitas diucapkan, bahkan ungkapan maaf menjadi obralan yang memenuhi ruang-ruang komuniakasi sesama hamba. Seolah, kata maaf menemukan momentum yang tepat, bahkan menjadi stigma, bahwa waktu penyucian dosa telah tiba.

Ramadhan dengan kewajiban puasanya, dianggap menjadi mesin sin loundering (penyucian dosa), dengan hanya berpedoman pada ungkapan hadits yang masyhur diucapkan “Sesiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan Ihtisab (mengharapkan pahala) maka diampunkan baginya dosa-dosa yang telah lalu”. [HR: Al-Bukhari dan Muslim].”

Berpijak dari dalil ini, secara simplistik muncul kecenderungan untuk menganggap, bahwa segala prilaku dosa masa lalu dan akan datang, secara bim-salabim akan sirna. Dariitu, segala perbuatan dosa begitu mudah dilakukan, dengan asumsi bahwa akan datang bulan Ramadhan yang membasmi segala virus dan karatan dosa.

Pahaman simplistik terhadap hadist di atas, tidak hanya melokalisasi puasa Ramadhan pada ruang yang sempit, tapi juga mengkerdilkan keagungan ibadah mulia itu ke dalam pengertian yang sangat parsial. Penghapusan dosa dari ibadah puasa dalam Ramadhan, bukan menjadi sebagai tujuan akhir.