Beda Kelas


Keharmonisan berumah tangga kadang tak ubahnya seperti putaran roda sepeda motor. Putarannya harus selaras dan sepadan. Sedikit saja kempis di salah satu ban, perjalanan jadi tak nyaman.

Kesepadanan suami isteri memang sangat dibutuhkan dalam hidup berumah tangga. Jangan sampai ada ketimpangan dalam hal apa pun. Bisa pendidikan, status sosial, ekonomi, dan mungkin penampilan.

Di situlah mungkin pelajaran berharga dari pernikahan sahabat Rasul yang bernama Zaid dengan Zainab bisa dipetik. Walaupun nama dua hamba Allah yang saleh ini sama-sama diawali Z, ternyata kesepadanan bukan dari situ. Bukan juga dari tingkat kesalehan mereka. Tapi, ada hal lain yang bukan sekadar pernik dan nilai. Antara lain adalah kesepadanan dalam penampilan.

Memang, Islam tidak secara eksplisit mensyaratkan kesepadanan penampilan dalam ukuran harmonis tidaknya sebuah pernikahan. Prinsipnya satu akidah dan adanya kesamaan visi dalam membangun rumah tangga yang Islami. Setelah itu, adaptasilah yang mesti bekerja keras. Dari penyesuaian-penyesuaian itulah lahir keseimbangan dan keharmonisan.

Namun, kadang kenyataan hidup memberikan gambaran lain tentang kesepadanan. Ia memang bukan hal utama. Tidak juga bisa memutus tali pernikahan. Karena cinta memang bukan urusan logika penampilan. Hanya pernik-pernik lain dari sebuah perjalanan pernikahan. Setidaknya, hal itulah yang kini dialami Pak Oji.

Bapak satu anak ini punya kesan sendiri soal kesepadanan. Ia ingat betul ketika tiga tahun lalu proses pernikahannya bergulir. Waktu itu, tak terbayang buat Pak Oji ingin punya isteri cantik. “Yang penting salehah,” tekadnya waktu itu.

Tekad itu bukan menunjukkan rendahnya cita-cita Pak Oji. Bukan itu. Justru, kesalehanlah cita-cita yang paling utama Pak Oji. Kenapa tak perlu cantik? Nah, itu urusan lain yang berhubungan erat dengan kenyataan dirinya.

Kenyataannya, Pak Oji memang bukan tergolong pemuda ganteng. Warna kulitnya agak hitam. Rambutnya kucai alias tak keriting sama sekali. Hidungnya tidak mancung. Bibirnya agak sedikit tebal dari ukuran normal. Badannya kurus dan tingginya tak lebih dari satu setengah meter.

Tapi, Pak Oji sama sekali tidak gelisah. Ia justru sangat bersyukur dengan rupa yang Allah berikan. Tidak sedikit orang yang terlahir cacat. Ada yang buta, tuli, tak bertangan atau berkaki. Ibarat mobil, Pak Oji cuma butuh aksesoris. Karena semua fungsi komponennya berjalan normal. Ia bersyukur dengan anugerah Allah itu. Dan salah satu bentuk syukur itu, Pak Oji tak bermuluk-muluk memilih calon isteri. Sekali lagi, yang penting salehah.

Namun, kenyataan kadang datang di luar dugaan. Dan kenyataan yang diperoleh Pak Oji justru luar biasa. Calon isteri yang siap menikah dengan pemuda lulusan pesantren ini bukan sekadar salehah, tapi juga cantik.

Mengenang itu, Pak Oji selalu mengucap ‘alhamdulillah’. Dan lebih alhamdulillah lagi ketika anak pertamanya lahir. Sama sekali tidak ada kesan kontribusi Pak Oji dalam paras anaknya. Semuanya murni wajah isterinya.

Dalam banyak momen, Pak Oji mesti kuat menjaga syukurnya itu. Pasalnya, banyak orang yang salah paham. Dan semua itu sebagai bentuk lain dari ujian buat Pak Oji.

Pernah suatu kali, ia mengantar isterinya ke majelis taklim dengan sepeda motor. Setelah turun dari motor, seorang ibu menghampiri isterinya. Dengan ramah ibu itu berujar, “Neng, berapa ongkos ojek dari depan ke sini?” Isterinya cuma senyum.

Pernah juga seorang teman lama isterinya berkunjung ke rumah Pak Oji. Wanita itu cuek saja ketika Pak Oji membukakan pintu gerbang halaman. Setelah saling bertemu, teman isterinya itu bicara, “Eh, suamimu mana?”

Yang lebih memprihatinkan ketika Pak Oji berjalan-jalan pagi sambil menggendong anaknya yang masih batita. Sesekali, orang yang berpapasan dengan Pak Oji menatap lekat. Entah apa yang mereka pikirkan. Hingga seorang ibu menyapanya, “Aduh anak cantik, olahraga pagi, ya! Orang tuanya pada kemana, Pak?” Pak Oji cuma senyum miris.

Belum lagi reda suasana miris di hati Pak Oji, segerombol anak-anak usia SD bisik-bisik ketika berpapasan. Di luar dugaan, anak-anak itu tiba-tiba berteriak kompak, “Anaknya cakep, bapaknya jelek! Anaknya cakep, bapaknya jelek! Horeee!” Astaghfirullah.

Di satu sisi, Pak Oji memang patut bersyukur dengan anugerah Allah berupa isteri dan anak yang cantik. Itulah dua sosok yang kerap menjadi target doanya sejak lajang: isteri dan anak yang bisa menjadi penyejuk mata. Tapi di sisi lain, ujiannya lumayan berasa.

Dari semua timbangan, Pak Oji tetap pada posisi untung. Pasalnya, lontaran ketidaksepadanan hanya keluar dari orang luar. Bukan dari isterinya sendiri. Ia tak bisa membayangkan jika keluhan itu dari isteri tercintanya sendiri. “Ah, Allah memang tahu kadar hamba-Nya,” suara Pak Oji dalam hati.

Hidup berumah tangga memang mirip bersepeda motor. Perlu kesepadanan agar laju roda bergulir mulus. Namun, salah satu ban kempis tak berarti sepeda motor berhenti berjalan. Biarlah lambat, yang penting bisa tiba ke tujuan dengan selamat. ([email protected])