Sayang Mertua

sumber: sepocikopi.com

Tak semua keluarga hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Karena sebab tertentu, keluarga bisa tambah satu bagian. Dan bagian itu disebut mertua.

Dalam kehidupan keluarga Islami, tak ada perbedaan perlakuan antara orang tua dan mertua. Karena mertua adalah juga sebagai orang tua. Penghormatan kepada mertua persis sama seperti kepada orang tua.

Pemahaman itu mungkin bukan lagi sebagai barang baru. Hormat kepada mertua sudah menjadi hal lumrah. Masalahnya akan terasa lain ketika terjadi interaksi yang juga lain dari yang lain. Dan interaksi itu bisa disebut dengan luapan kasih sayang yang agak berlebihan. Karena sayangnya pada anak, seorang ibu bisa mendominasi warna keluarga anaknya. Setidaknya, itulah yang kini dialami Bu Nuni.

Ibu dua anak ini memang kerap bingung dengan ibu mertuanya. Sayang yang berlebihan pada si bungsu, suami Bu Nuni, membuat keluarga Bu Nuni jadi warna-warni. Kadang persoalan wibawa, jadwal keluarga, disiplin anak, dan belanja rutin dapur. Pada semua persoalan itu seperti menunjukkan bahwa keluarga Bu Nuni mirip dengan perusahaan. Ada direktur, ada komisaris.

Di satu sisi, memang ada keuntungan buat Bu Nuni. Paling tidak, ibu yang masih tinggal di rumah mertua indah ini nggak perlu repot-repot mikirin uang belanja. Semua sudah diambil alih ibu mertuanya. Begitu pun soal makanan. Mulai dari menu makan pagi, siang, sore, sampai takaran pedas tidaknya sambal. Semua diurus para pembantu atas komando ibu mertua Bu Nuni.

Enak kan? Nggak perlu capek belanja, nggak usah berpanas-panas di depan kompor. Tinggal nunggu bel makan, hidangan bisa langsung disantap. Persis kayak di restoran. Bedanya, Bu Nuni tidak bisa pesan menu. Dan tentu saja, nggak usah bayar.

Cuma masalahnya, Bu Nuni jadi nggak pernah latihan masak. Padahal ia ingin sekali bisa masak enak buat suami dan anak-anak. Pernah diam-diam, ia bikin bistik. Olahan itu merupakan kenangan bersama ibu sebelum menikah. Ia membayangkan enaknya bistik buatan ibunya dulu. Tapi, belum lagi kompor menyala, tiba-tiba ibu mertuanya sudah ada di dapur. “Aduh, aduh. Menantuku sayang. Jangan masak. Biar saja Mbok Minah yang urus. Sudah, istirahat sana. Baru pulang kok masak. Capek!” suara sang mertua lembut. Sesaat kemudian, kompor pun dimatikan.

Lebih rumit lagi urusan anak-anak. Mestinya, di rumah besar yang cuma ditinggali Bu Nuni, suami, dua anak, ibu mertua, dan dua pembantu; urusan televisi bisa dijadwal ketat. Apalagi ada televisi sendiri buat para pembantu di kamar mereka. Tentu, kemungkinan pengaturan nonton tivi bisa lebih mudah. Nggak bisa dibayangkan gimana perkembangan moral anak kalau dibiarkan bebas bergaul sama tivi.

Memang, ada satu cara efektif yang biasa dilakukan Bu Nuni supaya tivi bisa terkendali: cabut saklar penghubung antara tivi dengan aliran listrik. Kalau sudah begitu, anak-anak pasti tidak berdaya.

Itu teori Bu Nuni. Kenyataannya, setiap Bu Nuni tiba di rumah, anak-anak lagi asyik di depan tivi. Ada keheranan Bu Nuni ketika itu. Gimana mungkin anak-anak sudah berani mencolok saklar. Lagi pula, colokan saklarnya lumayan tinggi. Sulit dijangkau anak-anak. Lalu, gimana mungkin tivi bisa menyala?

“Ibu yang nyalakan, Ni,” suara ibu mertua Bu Nuni tenang. Tiba-tiba, ibu mertua muncul dari balik pintu. Ia membawa nampan berisi tiga gelas air jeruk dingin yang langsung direbut anak-anak Bu Nuni. “Kasihan mereka, Ni. Anak-anak kan juga butuh hiburan. Apa salahnya kalau nonton tivi?” ucap sang mertua lebih argumentatif.

“Tapi, Bu?” sergah Bu Nuni tiba-tiba. “Sudahlah, Nak. Nggak usah khawatir. Biar ibu yang sensor. Percaya deh!” tambah ibu mertua Bu Nuni penuh percaya diri. Sesaat kemudian, ibu mertua duduk di antara cucu-cucunya. Sementara tangannya membelai lembut rambut mereka. Kalau sudah begitu, Bu Nuni patah semangat. Ia bingung mesti gimana.

Masih sederet ungkapan kasih sayang ibu mertua Bu Nuni yang akhirnya nggak cocok dengan kebijakan suami dan Bu Nuni sendiri. Dan ketika Bu Nuni ingin meluruskan, selalu saja ada bayang-bayang ungkapan kasih sayang seorang ibu kepada anak dan cucu-cucunya. Ungkapan itu begitu tulus.

Mungkin ada perasaan lain dari seorang wanita tua yang telah ditinggal suami buat selamanya. Belum lagi dengan kepergian dua kakak ipar Bu Nuni keluar negeri. Ada subyek dan obyek cinta yang hilang. Ada kesepian di penghujung usia.

Kalau itu masalahnya, pindah rumah bukan pilihan tepat. Walaupun itu bukan masalah dari segi biaya. Karena rumah kakak ipar Bu Nuni bisa ditempati tanpa harus repot-repot beli. Tapi sekali lagi, itu bukan pilihan tepat.

Mau konfrontasi kebijakan juga belum tentu bagus. Karena kebijakan ibu mertua Bu Nuni bukan didasari dari kebencian. Bukan juga dari obsesi ingin menguasai. Tapi lebih karena ingin mengungkapkan kasih sayang dari wanita tua yang tak lagi punya siapa-siapa kecuali anak, menantu, dan cucu-cucu. Dan itu adalah keluarga Bu Nuni. Bagaimana mungkin melawan sebuah ungkapan kasih sayang dengan ketegasan. Akan ada masalah baru yang akan muncul. Dan boleh jadi, masalah baru jauh lebih berat dari yang sudah ada.

Bayangkan kalau ibu mertua Bu Nuni salah paham. Sebuah keluarga yang sudah ia anggap sebagai permata terakhir yang ia miliki akan hilang begitu saja. Pasti, ia akan kecewa, murung, patah semangat, dan akhirnya sakit parah.

Lagi pula, apa bijak mempercayakan seorang ibu tua kepada pembantu. Dan kebutuhan utama untuk ibu seusia itu adalah stabilitas emosi dan kesegaran cinta. Apa mungkin itu bisa diraih dari para pembantu.

Mungkin, ada satu hal yang bisa dilakukan Bu Nuni. Dan itu memang terlupakan Bu Nuni selama ini. Kenapa tak ada sentuhan ruhani buat ibu selama ini. Dan upaya itu bisa dengan mengundang seorang ustadzah. Boleh jadi, dari situlah perubahan bisa diraih. Dan satu lagi, itulah hadiah termahal dari seorang anak yang dapat surplus kasih sayang. ([email protected])