Tanpa perlu bersolek, hiasan dunia memang indah, sejuk, serasi. Gunung-gunung menjulang megah. Padang rumput nan hijau menghampar. Air terjun bergemuruh riuh. Hutan lebat menyejukkan. Sungai-sungai pegunungan mengalir jernih seperti mutiara yang berhamburan. Tapi, semua hiasan itu tak mampu menghalahkan indahnya dia. Dialah isteri shalihah, penenang hati penyejuk mata.
Kalau membayangi ungkapan itu, Bu Titi jadi malu sendiri. Apalagi waktu berdandan. Suami Bu Titi seperti tak pernah mau beranjak jauh dari ibu tiga anak ini. Dipandanginya Bu Titi lekat-lekat. Tanpa menimbulkan suara, senyumnya kerap tersungging. Kalau sudah begitu, Bu Titi bukan saja malu. Tapi, juga grogi.
Entah kenapa itu dilakukan suami. Apa karena ingin menemani isterinya berdandan. Atau hanya karena senang menggoda. Semuanya susah ditebak. Kalau ditanya, lagi-lagi suami Bu Titi cuma senyum-senyum. “Ndak. Ndak pa pa, kok,” jawabnya singkat.
Sebenarnya, Bu Titi termasuk wanita yang jarang berdandan. Sejak remaja, Bu Titi kurang akrab dengan yang namanya kosmetik. Ia lebih senang tampil apa adanya. Tapi, tidak berarti menampilkan apa yang ada. Aurat tetap harus ditutup. Tanpa kosmetik, toh ia tetap tampil cantik.
Tahun berganti tahun, dan masa pun terus bergulir. Bu Titi tidak lagi yang dulu. Itu sangat ia sadari. Kulitnya yang dulu halus, kini mulai agak berkerut. Cahaya wajahnya pun mulai agak pudar. Tidak seperti ketika masih gadis. Keringat tubuhnya sering mengucur tidak teratur. Kalau sudah begitu, aroma tubuhnya sudah mulai bervariasi. Kadang tidak berbau, tidak jarang juga sebaliknya.
Namun demikian, berdandan tetap memberatkan Bu Titi. Kecuali, kalau mau berpergian. Itu pun karena nasihat seorang teman. “Bu, muslimah itu mesti tampil baik. Akhlaknya baik, busananya baik. Dan, yang lain-lainnya juga mesti baik,” ucap teman pengajian Bu Titi suatu hari. Tafsiran Bu Titi memang cukup tajam. Yang dimaksud lain-lainnya memang rupa-rupa. Wajahnya minimal tidak berminyak. Atau tidak kering kerontang seperti tanah di Gunung Kidul. Dan yang juga tak kalah penting, aroma tubuh. Kan tak enak, kalau tiba-tiba teman menjauh saat kita akan mendekat.
Bu Titi tetap termenung di meja rias. Pandangannya menyapu alat-alat kosmetik di hadapannya. Ada bedak, kapas, cairan pelembab, deodoran, lipstik, dan lain-lain. Cuma lipstik yang nyaris tak pernah tersentuh. Bu Titi masih alergi dengan alat kosmetik yang satu itu. Itu pun hadiah suami.
Suami. Lagi-lagi, Bu Titi terbayang bagaimana tingkah suaminya saat ia berdandan. Suaminya berdiri di belakang Bu Titi. Lama ia berdiri. Tak beranjak selama Bu Titi berhias. Tatapannya tertuju ke bayangan cermin. Sebentar-sebentar, ia tersenyum. Dan yang bikin grogi Bu Titi, ucapan suaminya yang ringan tapi menghanyutkan. “Kalau berdandan, ibu jadi makin cantik,” ucapnya berseling dengan senyum.
Ada juga ucapan suaminya yang tak kalah merisaukan. Dan ucapan itulah yang kini jadi pikiran Bu Titi. Pernah suaminya berujar ringan, “Pasti ibu mau pergi.” Setelah itu, lagi-lagi sang suami tersenyum. “Hati-hati, ya Bu. Kendaraan umum sekarang sering ngebut,” tambah suami dengan penuh perhatian.
Mau pergi? Apa maksud ucapan suami Bu Titi. Ibu yang mulai sibuk aktif di masyarakat itu jadi bingung sendiri. Ia berusaha menebak-nebak. Apa itu kritik agar dirinya tidak terlalu sering keluar. Atau, sekedar ungkapan perhatian. “Ah, ucapan itu memang sangat bersayap,” sergah Bu Titi dalam hati.
Kalau dihubung-hubungkan dengan kesibukannya akhir-akhir ini, sepertinya nggak juga. Suaminya sangat mendukung, kok. “Aktif di masyarakat itu sangat bagus. Silakan ibu berkiprah. Tapi, kontrol keluarga tak boleh diremehkan,” nasihat suaminya suatu hari.
Jadi, apa ya? Kalau cuma sekadar ungkapan perhatian, tidak juga. Masalahnya, suaminya tergolong “makhluk halus”. Apa-apa serba isyarat. Hampir tidak pernah Bu Titi mendengar ucapan kasar keluar dari mulut suaminya. Kalau mau dibuatkan kopi, suaminya tidak secara langsung minta kopi. Biasanya dengan bahasa bersayap. “Bu, kayaknya di hari kayak gini, enak kali ya minum kopi.” Atau kalau mau makan sehabis pulang kantor, “Bu, apa siang tadi sempat masak makanan?” Atau, kalau si suami ingin berakrab-akrab dengan Bu Titi di waktu malam, “Bu, sudah shalat Isya belum?” Semua kalimat bersayap itu, sudah sangat dipahami Bu Titi.
“Apa mungkin itu?” ucap Bu Titi spontan. Kepalanya mengangguk-angguk pelan. Sekali lagi, pandangannya menyapu alat-alat hias yang tersusun rapi di meja rias. Suamiku…? Benarkah itu? Bu Titi menarik nafas dalam. Ia seperti menangkap makna sesuatu. Sesaat kemudian, ia pun berisghfar. “Astaghfirullah!”
Bu Titi tersadar, kalau selama ini ia bersikap kurang pas. Itu mungkin, kenapa selama ini suaminya senyum-senyum kalau ia sedang berdandan. Masalahnya, ia baru tersadar kalau ia berdandan hanya saat hendak berpergian. Selebihnya, ia adalah Bu Titi yang asli. Tanpa busana rapi, tanpa pengharum badan, tanpa pelembab, tanpa bedak. Bahkan, tak jarang ia lupa bersisir.
Aih…aih, teganya dikau, Titi. Buat orang lain repot berdandan, kepada suami tampil biasa tanpa beban. Suara itu tiba-tiba mengusik nurani kewanitaannya. Kalau orang lain ingin melihat kita tampil cerah dan bergairah, begitu juga sang suami tercinta. Kalau orang lain tidak mau diganggu bau, terlebih lagi suami yang tak mau menjauh. Bunga-bunga kemesraan rumah tangga kenapa harus terusik dengan duri-duri kecil tangkai pesona. Bukankah hiasan rasa terlahir dari kesan pandangan mata.
Dengan begitu, teka-teki senyum-senyum suami Bu Titi terjawab sudah. Semua itu merupakan ungkapan cemburu yang dibungkus secara rapi dengan sindiran. Kalau saja itu diucapkan sang suami apa adanya, bisa jadi, Bu Titi akan salah paham. “Ah, Bapak ini. Kok nggak suka sih kalau isterinya tampil meyakinkan di depan masyarakat. Kan buat citra misi kita juga, Pak,” begitulah kira-kira sanggahan yang akan terucapkan Bu Titi ke suami.
Selain itu, seorang suami yang baik teramat risih mengungkapkan kecemburuannya secara terang-terangan. Ia khawatir, isterinya akan tersinggung. Kecewa, dan akhirnya marah. Ia juga tidak mau menempatkan dirinya di atas segala perhatian isterinya. Ia takut jadi egois.
Bu terduduk lemas di depan meja rias. Ia merasa bersalah bercampur malu. Malu dengan suami. Dan terlebih lagi, malu pada Allah dan Rasul-Nya. Masih terngiang dalam benaknya ketika seorang ustadz membacakan sebuah hadits. “Dunia itu perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan, adalah wanita shalihah.”
Dunia memang tak perlu bersolek untuk menampilkan keindahannya. Tapi, semua yang di dunia ini tak ada yang langgeng. Kalau tak dirawat, keindahannya akan pudar. Begitu pun dengan isteri shalihah. Kalau hati dan penampilannya tak lagi terawat, keindahannya akan buyar. Merawat hati dengan dzikir. Dan merawat penampilan, dengan berhias. Khususnya, buat suami tercinta. ([email protected])