Kebencian Barat pada Islam dan Muhammad SAW

Tetapi, gunakanlah logika, kata-kata, dan kasih. Tetapi, orang seperti Peter the Venerable pun, menurut Armstrong juga mengidap mentalitas schizophrenic yang anti-Islam.

Ketika Raja Louis VII dari Peran cis memimpin Perang Salib II tahun 1147, Peter mengirim surat yang meminta Louis membunuh sebanyak mungkin kaum Muslim sebagaimana Moses dan Joshua membunuh kaum Amorit dan Kanaan.

 

Di era modern, rasa dengki dan permusuhan terhadap Nabi Muhammad SAW pun tak pernah pupus. Masih segar dalam ingatan Muslim sedunia, pada edisi 30 September 2005 lalu, koran Jyllands- Posten, Denmark, memuat 12 gambar kartun yang sangat menghina dan melecehkan Nabi Muhammad SAW.

Dalam satu kartu digambarkan Nabi tampil dalam sorban yang bentuknya mirip bom yang dipasang pada bagian kepalanya. Tentu, maksud si pembuat kartun berusaha menggambarkan Nabi terakhir itu sebagai sosok teroris. Pada kartun lain, Nabi SAW digambarkan sedang berteriak kepada sejumlah orang, “Berhenti, kita sudah kehabisan perawan!”

Beberapa waktu sebelumnya, Ratu Denmark, Margrethe II, juga sudah mengumumkan perang terhadap Islam. Kata Sang Ratu: “Selama beberapa tahun terakhir ini, kita terus ditantang Islam, baik secara lokal maupun global. Ini adalah sebuah tantangan yang harus kita tangani dengan serius. Selama ini kita terlalu lama mengambangkan masalah ini karena kita terlalu toleran dan malas …. Kita harus menunjukkan perlawanan kita kepada Islam dan pada saatnya, kita juga harus siap menanggung risiko mendapat sebutan yang tidak mengenakkan, karena kita tidak menunjukkan sikap toleran.” (Biografi Ratu Margrethe II, April 2003, dikutip dari Republika, 7/2/2006).

Konsili Vatikan II, 1962-1965, menjadi tonggak baru bagi Gereja Katolik dalam pendekatan terhadap agama-agama lain, termasuk kepada umat Islam. Doktrin ‘Nostra Aetate’ memuat kata-kata simpatik terhadap umat Islam dan mengajak kaum Muslim melupakan konflik-konflik masa lalu. Tetapi, secara teologis, tokoh Gereja Katolik tetap menegaskan perbedaan mendasar antara Islam dan Kristen.

Paus Benediktus XVI, yang mundur pada 2013, misalnya, dikenal tegas dan lugas pandangannya terhadap Islam. Dalam buku The Rule of Benedict XVI (New York: HarperCollins Publisher, 2006) karya David Gibson, disebutkan bahwa Paus Benediktus, yang ketika itu masih sebagai Kardinal Ratzinger, membuat pernyataan bahwa Turki harus dicegah masuk Uni Eropa karena Turki lebih mewakili kultur Islam ketimbang kultur Kristen; juga karena sejarahnya yang penuh konflik dengan Eropa. Paus Benediktus ini dikenal sebagai sosok yang ingin mengembalikan identitas kekristenan Eropa. (rol)