Sholat Jum'at di Negara Mayoritas Penduduknya Bukan Muslim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya mau bertanya mengenai sholat Jum’at di negara yang penduduknya mayoritas bukan muslim. Saya bekerja di perusahaan Jepang, saat ini ada promosi training ke Jepang untuk belajar Reseach And Development selama 2 tahun. Saya sudah minta informasi kepada rekan yang sudah training di sana mengenai keadaan dan kondisi di sana. Adapun kondisi di sana (Hamamatsu City) tidak ada masjid, adapun masjid ada di Tokyo, Dari Hamamatsu ke Tokyo naik kereta cepat memakan waktu 3 jam. Jadi tidak mungkin terkerjar untuk sholat Jum’at.
Yang jadi pertanyaan saya:

  1. Bagaiman solusi untuk saya apabila tidak sholat Jum’at berjamaah di masjid?
  2. Bolehkah sholat Jum’at dilaksanakan oleh dua orang atau lebih, bukan di masjid dan apakah harus ada khutbah?
  3. Apabila saya tidak mendapati teman untuk berjamaah Jum’at, bolehkah diganti dengan sholat zuhur?

Mohon jawabanya ustadz. Jazakaulloh khoiron katsiro

Wassalamulaikum Wr.Wb

Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya kewajiban shalat Jumat itu sendiri baru ada kalau ada sejumlah syarat tertentu. Bila salah satu syarat itu tidak terpenuhi, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan shalat Jumat. Misalnya berkaitan dengan apa yang ada pada diri seseorang, bisa saja membuatnya tidak wajib menjalankan shalat Jumat, misalnya wanita, anak-anak yang belum baligh, orang sakit dan juga orang yang dalam perjalanan (safar).

Sedangkan yang terkait dengan kondisi lainnya, salah satunya adalah adanya jumlah tertentu untuk bisa dilakukan shalat Jumat. Khusus dalam masalah jumlah jamaah, memang para fuqaha berbeda pendapat. Ada yang mengatakan minimal jumlahnya 40 orang, namun ada juga yang mengatakan tidak harus sejumlah itu. Al-Hafiz Ibnu Hajar mencatat paling tidak ada sekitar 15 pendapat yang berbeda dalam ketentuan masalah batas minimal jamaah Jumat. Termasuk pendapat yang mengatakan bahwa boleh dilakukan walau hanya berdua saja, karena shalat jamaah itu minimal dilakukan oleh 2 orang

Sehingga bila menggunakan salah satu dari pendapat itu, Anda berdua atau bertiga tetap bisa mendirikan shalat Jumat di tempat perantauan Anda.

Tentang tempat dilakukannya shalat Jumat, memang ada yang mengatakan harus di dalam masjid. Namun sebenarnya shalat Jumat tetap syah dan bisa dilakukan di mana pun di dalam suatu gedung.

Namun bila Anda cenderung untuk berpendapat bahwa minimal harus ada 40 orang yang hadir agar bisa dilaksanakan shalat Jumat, maka Anda tidak termasuk yang wajib menjalankan shalat Jumat. Dengan catatan bahwa di wilayah tersebut memang tidak ada lagi orang-orang muslim, atau sama sekali Anda tidak mengetahui adanya masjid di mana di situ dilaksanakan shalat Jumat.

Masing-masing pendapat itu tentu punya latar belakang dan dasar yang kuat sehingga pendapat-pendapat itu berjalan abadi sepanjang masa.

1. Pendapat Kalangan Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah minimal untuk syahnya shalat Jumat adalah tiga orang selain imam. Nampaknya kalangan ini berangkat dengan pengertian lughawi (bahasa) tentang sebuah jamaah. Yaitu bahwa yang bisa dikatakan jamaah itu adalah minimal tiga orang.

Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta shalat Jumat itu harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang penting jumlahnya tiga orang selain imam/ khatib.

Selain itu mereka juga berpendapat bahwa tidak ada nash dalam Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan jumlah tertentu kecuali perintah itu dalam bentuk jama`. Dan dalam kaidah bahasa arab, jumlah minimal untuk bisa disebut jama? adalah tiga orang.

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Kata ‘kalian’ menurut mereka tidak menunjukkan 12 atau 40 orang, tetapi tiga orang pun sudah mencukupi makna jama’.

2. Pendapat kalangan Al-Malikiyah
Al-Malikiyah menyaratkan bahwa sebuah shalat Jumat itu baru syah bila dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan khutbah.

Jumlah ini didapat dari peristiwa yang disebutkan dalam surat Al-Jumu’ah yaitu peristiwa bubarnya sebagian peserta shalat Jumat karena datangnya rombongan kafilah dagang yang baru pulang berniaga. Serta merta mereka meninggalkan Rasulullah SAW yang saat itu sedang berkhutbah sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang saja.

Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri. Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki. (QS. Al-Jumu?ah: 11)

Oleh kalangan Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang yang masih tetap berada dalam shaf shalat Jum’at itu itu dianggap sebagai syarat minimal jumlah peserta shalat Jumat. Dan menurut mereka, Rasulullah SAW saat itu tetap meneruskan shalat Jumat dan tidak menggantinya menjadi shalat zhuhur.

3. Pendapat kalangan Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyaratkan bahwa sebuah shalat Jumat itu tidak sah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang yang ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya. Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu berdasarkan hadits Rasulullah SAW:

Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwa Rasulullah SAW shalat Jum’at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang. (HR. Al-Baihaqi).

Inil adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang menjelaskan berapa jumlah peserta shalat Jumat di masa Rasulullah SAW. Menurut kalangan Asy-Syafi’iyah, tidak pernah didapat dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40 orang. Tidak pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya Rasulullah SAW dahulu pernah shalat Jumat hanya bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka ketika terjadi peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah SAW dan sisa jamaah meneruskan shalat itu dengan shalat Jumat.

Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi’iyah meyakini bahwa satu-satu keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat Rasulullah SAW ketika shalat Jumat adalah yang menyebutkan bahwa jumlah mereka 40 orang.

Bahkan mereka menambahkan syarat-syarat lainnya, yaitu bahwa keberadaan ke-40 orang peserta shalat Jumat ini harus sejak awal hingga akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat Jumat yang keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah Jumat itu. Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah bagian dari rukun shalat Jumat dalam pandangan mereka.

Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka shalat itu harus dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu dilakukan karena tidak tercukupinya syarat syah shalat Jumat.

Selain itu ada syarat lainnya seperti:

  1. Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang yang tinggal di tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat Jumat, sehingga keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi hitungan minimal peserta shalat Jumat.
  2. Ke-40 orang itu pun harus laki-laki semua, sedangkan kehadiran jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap mencukupi jumlah minimal.
  3. Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak tidak bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat Jumat.
  4. Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil baligh, sehingga kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat Jumat tidak berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.

Silahkan pilih pendapat yang menurut Anda paling sesuai dengan kondisi Anda dan paling sesuai dengan jiwa Anda sendiri. Pada dasarnya Islam itu agama yang mudah dan bisa tetap dilaksanakan di mana pun dan kapanpun.

Wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.