Ragu Diundang Makan di Rumah Non Muslim

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz, saya memiliki kawan non -muslim, kami mengadakan pertemuan setiap 2 bulan sekali semacam reuni, di mana dalam acara tersebut kami mengadakan acara makan-makan yang biasanya diadakan di rumah teman saya yang non muslim tersebut. Saya pernah bertanya pada khadimatnya bahwa di rumah itu sering dimasak daging babi sebagai menu masakannya. Saya menjadi ragu setiap makan di acara tersebut, karena pasti tuan rumah memasak menggunakan alat memasak yang pernah dipakai untuk memasak daging babi. Daging babi itu haram dan termasuk najis besar kalau saya tidak salah, sehingga untuk membersihkannya bukankah harus dilakukan pencucian sebanyak tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan tanah seperti membasuh sesuatu yang terjilat anjing? Saya mohon kesediaan ustadz untuk menjawab pertanyaan saya agar saya tidak selalu ragu untuk makan makanan pada acara tersebut. Atas perhatian ustadz saya ucapkan terima kasih.

wasalamu’alaikum wr wb

wy

Assalamu ‘alaikum warahamatullahi wabarakatuh,

Kalau mau diikuti logika fiqihnya memang demikian. Maka solusinya sederhana saja sebenarnya. Yaitu anda perlu sedikit terbuka dengan kawan anda yang bukan muslim itu. Sampaikan saja dengan baik-baik dan sopan bahwa sebagai muslim, anda tidak boleh makan babi. Namun meski teman anda itu tidak menghidangkan babi, namun dalam kepercayaan anda tetap saja alat masak yang pernah digunakan untuk memasak babi perlu disucikan secara benar.

Sebenarnya kalau kita melihat secara aturan umum, setiap muslim tidak diwajibkan sampai menanyakan sejauh itu, apalagi sampai bertanya kepada pembantunya. Seharusnya kita cukup berhusnudzdzan dengan apa yang dihidangkan, tanpa dibebani dengan kewajiban untuk bertanya terlalu jauh.

Paling tidak sebagian ulama berpandangan demikian, terutama bila dikaitkan dengan masalah hukum. Sebab kita mengenal ungkapan: Nahnu nahkumu bizh-zhawahir wallahu watawallas-sarair. Kita menetapkan hukum berdasarkan apa yang nampak, sedangkan yang tidak nampak menjadi urusan Allah. Sehingga kalau mengikuti kaidah itu, kita tidak dibebani untuk terlalu mendalami asal usul makanan yang dihidangkan.

Namun kita pun mengakui adanya kecenderungan sikap hati-hati (wara‘) dari sebagian muslim. Yaitu mereka yang berupaya secara maksimal untuk menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan Allah SWT, meski sudah melampaui batas-batas yang tersembunyi sekalipun dan di luar kelaziman.

Sikap hati-hati seperti ini memang baik bahkan perlu dipupuk, asalkan diiringi juga dengan mentalitas yang kuat. Paling tidak, dia harus kuat menahan diri untuk tidak makan di suatu jamuan makan, di mana dia merasa kurang sreg dengan kehalalannya. Atau dia harus kuat mental untuk tidak malu menanyakan status kehalalan makanan kepada tuan rumah, sebagaimana saran kami di atas.

Sikap mental ini penting untuk dipelihara dan dipupuk. Tidak ada alasan kurang etis atau kurang sopan. Sebab ini masalah halal dan haram, tidak boleh asal-asalan. Terutama bila seseorang cenderung untuk berhati-hati dalam kehalalan makanan. Sikap kehati-hatian itu harus diiringi dengan resiko siap mental.

Namun bila tidak siap mental, sebaiknya kembali saja kepada dasar yang sudah baku, yaitu kita melihat lahiriyah saja, tidak perlu terlalu merepotkan diri dengan hal-hal yang di luar jangkauan.

Wallahu a’lam bishshawab, Wassalamu ‘alaikum warahamatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.