Konstitusi Ikhwan dan Ahlul Halli wal 'Aqdi

Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.

Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.

***

Konstitusi Ikhwanul Muslimin

Suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa perundang-undangan dan konstitusi sangat berpengaruh pada struktur negara, sistem pemerintahan, hak-hak warga negara, hubungan antara negara dengan rakyat dan tiga lembaga penting dalam negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, di samping juga berpengaruh terhadap wewenang kepala negara, bahkan sistem perekonomian yang mengatur urusan ekonomi dan keuangan. Semua itu akan terlaksana sesuai dengan materi-materi perundang-undangan yang bersifat mengikat semua pihak tanpa terkecuali.

Imam Hasan Al-Banna telah menetapkan 20 kaidah pokok yang mengatur sistem pemerintahan, pelengseran kepala Negara dan kepemimpinannya, kebebasan beribadah, kebebasan berpendapat dan berpikir, dasar-dasar aqidah dan asas-asas hukum yang dipakai oleh sebuah jamaah atau negara. Selain itu, terdapat pula pembahasan mengenai konsep kemungkaran dan metode merubahannya, hukum adat yang bisa dijadikan landasan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan hukum syariat dan penjelasan mengenai hukum adat yang tertolak karena bertentangan dengan prinsip hukum syari’at. Serta pembahasan-pembahasan lain hingga mencapai 20 kaidah pokok. Beliau juga mengukuhkan bahwa amal dan kerja nyata merupakan bagian dan refleksi dari iman.

Imam Hasan Al-Banna menganggap bahwa 20 kaidah pokok tersebut merupakan asas-asas konstitusional yang dianut oleh Ikhwanul Muslimin. Semua asas-asas itu diadopsi dan didasari pemahaman terhadap Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM. Makanya kita sering mendengar teriakan, yel-yel dan seruan-seruan yang berbunyi: “Al-Qur`an Dusturuna” atau Al-Qur`an sebagai konstitusi kita, artinya Al-Qur`an lah yang mengatur urusan aqidah, perundang-undangan dan sistem kehidupan kita. Berdasarkan hal tersebut, semua undang-undang dan hukum ciptaan manusia yang menyalahi Al-Qur`an secara parsial maupun keseluruhan bukan merupakan undang-undang yang diakui dalam konsep politik Imam Hasan Al-Banna -rahimahullah-.

Setelah menjelaskan panjang lebar 20 kaidah pokok tersebut, Imam Hasan Al-Banna berujar: “Jika seorang akh Muslim benar-benar memahami agamanya, niscaya dia akan paham implikasi dari seruan dan teriakan yang sering dikumandangkan yaitu Al-Qur`an Dusturuna dan Ar-Rasul Qudwatuna” . Dan perlu diketahui bahwa Beliau tidak mengatakan bahwa hukum ciptaan manusia yang berlaku di Mesir dan di luar Mesir adalah konstitusi Ikhwanul Muslimin. Namun Imam Hasan Al-Banna malah mengkritik hukum ciptaan manusia yang berlaku di Mesir dan di luar Mesir dari segi formulasi, ketidak jelasan serta akibat negatif yang ditimbulkan sebagaimana Beliau juga mengkritik penerapan hukum-hukum positif di Mesir.

Menanggapi persoalan undang-undang pemilu yang berlaku, Beliau sependapat dengan para pakar hukum dan konstitusi lain bahwa sistem pemilihan umum tidak berhasil merealisasikan tujuan awal dari penyelenggaraan pemilu dan perundang-undangan tersebut gagal dalam mewujudkan keterwakilan rakyat dalam proporsi yang sebenarnya, bahkan tidak sanggup melahirkan semacam institusi dan lembaga yang berjuang murni demi kepentingan rakyat tanpa ada intervensi kepentingan pihak lain.

Beliau sependapat dengan analisa Dr. Sayid Shabri dalam bukunya (Mabadi’ Al-Qanun Ad-Dustury) sekaligus menguatkan asumsi Beliau yang mengatakan: “Sesungguhnya kebijakan-kebijakan parlemen Mesir semenjak beberapa waktu lalu tidak mewakili pendapat rakyat, opini publik, pendapat mayoritas bahkan tidak mewakili pendapat minoritas yang berpengaruh”. Kemudian Imam Hasan Al-Banna berkata: “Lantas bagaimana mungkin setelah ini digembar-gemborkan bahwa kebijakan tersebut merupakan refleksi dari pendapat rakyat banyak serta telah berhasil mewujudkan keterwakilan rakyat banyak .

Setelah mengetengahkan kaidah-kaidah dasar sistem Islam dan aturan parlemen secara bersamaan dalam hal tanggung jawab seorang kepala negara, lantas apa yang mesti kita lakukan buat Mesir? Secara teori maupun praktek kita baru sampai di pertengahan jalan, sehingga seolah hukum dan konstitusional kita terkesan masih kurang detail dan terperinci, padahal sebenarnya itu merupakan point terpenting dalam menentukan gambaran kehidupan parlemen dan kehidupan Islam yang kita perjuangkan.

Kemudian Beliau menutup pembicarannya: “Kita jangan sampai terjebak dalam praduga bahwa semua kaidah dasar yang telah dikemukakan, bisa menyelesaikan semua persoalan secara mutlak. Namun yang terpenting adalah itu merupakan gambaran dari inti permasalahan yang masih perlu dikembangkan dan dijelaskan, karena bila tidak demikian persoalan tak akan pernah terselesaikan.”

Ahlul Halli wal ‘Aqdi

Terminologi ini sering digunakan dalam buku-buku fiqih politik dan buku-buku fiqih umum. Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Legislatif) adalah pihak-pihak yang bertindak sebagai penasehat dan konsultan dalam beragam urusan menyangkut kepentingan rakyat banyak, nasehat-nasehat tersebut mereka putuskan secara mufakat ataupun menurut pandangan mayoritas. Mereka tidak dikenal karena nama, tapi karena kriteria-kriteria. Setelah mendalami banyak referensi-referensi fiqih, Imam Hasan Al-Banna berpendapat bahwa secara lahiriyyah bahwa implikasi dari istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi dalam pandangan-pandangan para pakar fiqih itu tertuju pada tiga pihak berikut:

  1. Para pakar fiqih yang berijtihad, di mana pendapat-pendapat mereka dijadikan sebagai sandaran dalam masalah-masalah perfatwaan dan penetapan hukum fiqih.
  2. Para tenaga ahli dan spesialis dalam urusan-urusan publik.
  3. Mereka yang memiliki semacam kepemimpinan di tengah-tengah umat, seperti ketua-ketua RT dan RW, tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan-pimpinan LSM dan organisasi.

Imam Hasan Al-Banna menganggap bahwa orang-orang seperti di atas bisa dipilih lewat sistem pemilu yang matang serta dengan meletakkan kriteria-kriteria yang sangat ketat. Bagi yang memenuhi syarat berhak untuk dicalonkan, sementara yang tidak memenuhi syarat tidak berhak dicalonkan dan dipilih.