Pemilu untuk Menunjukkan Loyalitas Dan Disloyalitas (3)

Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme

Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut

***

Pemilu untuk Menunjukkan Loyalitas dan Disloyalitas

Sebagaimana pemilu itu bermuatan amanah dan kesaksian, ia juga untuk menunjukkan loyalitas dan disloyalitas. Dalam pertarungan pemilu, beragam ideologi dan fanatisme yang berbeda-beda itu bertarung. Setiap pilihan terhadap salah seorang kandidat dalam pertarungan ini, maka itu dianggap sebagai dukungan terhadapnya dalam menghadapi seterunya dan menolongnya untuk berkompetensi dengan seterunya. Itulah loyalitas sejati yang tidak terjadi kecuali di atas fondasi Islam.

Oleh karena Islam menjadi salah satu kekuatan yang para pembelanya terjun dalam kancah pertarungan terkait dengan dasar iman kepada Allah dan Rasul-Nya ini, yaitu pertarungan untuk menerapkan syari‘at Allah dan meruntuhkan berbagai sistem dan madzhab yang bertentangan dengan Islam, maka seluruh umat harus dimobilisasi untuk membela syari‘at Allah, serta mendasarkan loyalitas dan disloyalitasnya terhadap hal tersebut. Umat tidak boleh mendukung selain para pengusung syari‘at, dan tidak memberikan suara kecuali untuk kepentingan Islam, tidak membantu orang yang batil dan sekuler dalam pertarungan ini meskipun dengan separo suara, agar tidak terjadi fitnah dan seluruh kepatuhan hanya diberikan kepada Allah. (Shalah as-Shawi, hlm. 176)

Nash menganggap duduk, makan dan minum bersama dengan ahli maksiat itu sebagai bentuk loyalitas terhadap mereka yang mendatangkan laknat dan murka Allah. Tidak ada jalan bagi maksiat untuk bisa berbarengan dengan iman kepada Allah dan Rasul. Lalu, bagaimana jika yang dilakukan tidak sebatas makan dan minum bersama, tetapi juga menolong dan mendukung mereka dalam pertarungan penentu dimana Islam dan para da’inya berdiri sebagai rival? (Shalah ash-Shawi, 176)

Allah berfirman, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik).

"Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Ma’idah [5]: 78-81)

Bagaimana menurut Anda mengenai laknat yang menimpa suatu kaum hanya karena mereka makan, minum dan duduk bersama dengan para ahli maksiat. Lalu, bagaimana jika yang mereka lakukan lebih dari itu, yaitu menolong mereka, bukan menolong orang-orang mukmin dan mendukung mereka dalam satu sikap yang diharapkan bisa menjadi jalan bagi kemenangan Islam dan umat Islam? Bukankah ini adalah sikap mengabaikan orang-orang mukmin dan tanda akan datangnya perpecahan dan kerugian?

Sesungguhnya para dai Islam itu tidak memiliki kekayaan untuk membeli keinginan para pemilih, dan tidak bisa menjanjikan mereka lebih banyak dari usaha menegakkan agama yang dengannya Allah akan memperbaiki kondisi negara dan rakyat. Selama hakikat loyalitas dan disloyalitas tidak belum tertanam kuat dalam kesadaran umat dengan kadar yang membuat mereka bisa memahami bahwa pembelaan mereka terhadap kebenaran meskipun mereka tidak memperoleh keuntungan materiil itu lebih baik daripada mendukung kebatilan untuk memperoleh sedikit kesenangan dunia yang kenikmatannya segera hilang dan pahitnya abadi, maka perjuangan Islam tidak akan kuat dalam kancah perang ini dan tidak akan bisa berbuat banyak.

Terkadang kandidat presiden bisa menjanjikan kedudukan dan jabatan, tetapi apa yang bisa diberikan dai-dai Islam di masa mendatang? Mereka tidak sanggup melakukan apapun selain berjanji kepada orang yang jujur untuk memperoleh ridha Allah dans urga. Mereka tidak memiliki jabatan dan dana, karena jabatan adalah amanah yang tidak boleh diberikan kecuali kepada yang berhak menerimanya. Ia bukan hasil jarahan para kroni raja dimana mereka bisa membagi-bagikannya sesuka hati mereka tanpa ada kontrol dan pertanggungjawaban. (Shalah ash-Shawi)

Politik Islam adalah Politik Prinsip

Para kandidat dari partai Islam tidak mampu melakukan apapun selain menjanjikan ridha Allah bagi para pemilih dan menegakkan agama yang karenanya Allah memperbaiki keadaan bangsa dan negara. Karena Nabi SAW pernah meminta beberapa kabilah untuk menolong dan melindungi beliau agar beliau bisa menyampaikan risalah Tuhannya. Di antara kabilah yang beliau ajak bicara adalah Bani ‘Amir bin Sha‘sha‘ah.

Salah seorang dari mereka mengatakan, “Apa pendapatmu seandainya kami berbai‘at kepadamu mendukung misimu kemudian Allah memenangkanmu atas orang-orang yang menentangmu, apakah kami akan memegang kekuasaan sesudahmu?” Rasulullah SAW menjawab, “Kekuasaan itu kembali kepada Allah, Dia-lah yang memberikannya pada siapa yang dikehendaki-Nya.” Lalu orang itu berkata kepada Rasulullah SAW, “Apakah kami menyodorkan leher kami kepada orang-orang Arab untuk membelamu, lalu ketika Allah memenangkanmu maka kekuasaan itu jatuh ke orang lain? Kami tidak perlu dengan misimu itu.” Lalu mereka menolak permintaan Rasulullah SAW.” (as-Sirah an-Nabawiyyah, jld. I, hlm. 442)

Nabi SAW menolak menjanjikan sesuatu kepada mereka, karena kewenangan ada di tangan Allah, dan Dia memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Pelimpahan kewenangan itu memiliki syarat, kriteria dan caranya, bukan dengan warisan. Nabi SAW menolak permintaan itu pada waktu beliau sedang amat butuh terhadap perlindungan dan pertolongan. Tetapi, prinsip tidak bisa ditawar. Ia tidak mengenal intrik, dan tidak bisa menerima apapun selain menjalankan syari‘at Allah, kemudian sesudah itu Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (bersambung)