Penerapan Syari'at Islam

Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme

Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut

***

Aktivitas politik Islam bertunjuan untuk menerapkan syari‘at Islam dalam kehidupan umat Islam dan merealisasikan Islam sebagai agama dan negara dalam kehidupan mereka. Ini adalah masalah penting sekali yang terkait dengan akidah itu sendiri. Betapa mengherankan sikap banyak umat Islam yang lupa akan masalah ini, bahkan kita mendapat banyak dari mereka yang loyal terhadap partai-partai sekuler yang memisahkan agama dari negara, tidak menerapkan syari‘at Islam. Seolah-olah masalah penrapan syari‘at ini tidak ada hubungannya dengan keyakinan seorang muslim. Lalu, apa kata ulama?

Dr. Shalah ash-Shawi dalam bukunya Qadhiyyah Tathbiq asy-Syari‘ah fil-‘Alam al-Islami (23) mengatakan, “Prinsip-prinsip Islam adalah ridha kepada Allah sebagai Tuhan pencipta, Islam sebagai agama, Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul. Prinsi-prinsip tersebut menuntut kita untuk menjadikan hakimiyyah (hak menetapkan hukum) tertinggi dan supremasi absolut di tangan Allah, dan untuk menjadikan kalimat-kalimat Allah semata sebagai hukum tertinggi dan argumen yang telak. Sebagaimana prinsip-prinsip tersebut menuntut pengakuan hal yang dipastikan sebagai bagian dari agama dengan sikap membenarkan dan patuh. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah. Membatasi agama pada dimensi akidah dan ibadah saja merupakan salah satu bentuk kemurtadan dan penyimpangan agama. Sebagaimana prinsip-prinsip tersebut menuntut pengakuan terhadap berita yang shahih dari Nabi SAW dengan sikap membenarkan dan patuh, dan bahwa barangsiapa yang menolak sebagian dari apa yang dibawa Rasulullah SAW (baik penolakannya itu karena ragu atau karena enggan menerima) maka ia seperti orang yang tidak rela terhadap kenabiannya. Karena hakikat rela terhadap kenabiannya adalah membenarkan berita beliau seluruhnya meskipun ia tidak mengetahui hakikatnya, komit terhadap petunjuknya meskipun ia tidak mengetahui hakikatnya. Barangsiapa yang dalam hatinya tidak ada pembenaran dan kepatuhan yang demokrasi itu, maka ia terbilang kafir dan keluar dari Islam.

Segenap orang yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan Pencipta, Islam sebagai agama yang benar dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul! Pengakuan iman Anda tidak akan sah sebelum Anda menolong Rasulullah SAW, membelanya dan menghargainya. Caranya adalah dengan patuh kepada beliau secara sempurna dan tunduk kepadanya secara mutlak, menerima petunjuk dari kalimat-kalimat beliau huruf demi huruf dan tidak menentang keputusan beliau sama sekali. Pengakuan iman akal tidak akan sah sebelum Anda mengetahui bahwa supremasi tertinggi ada pada syari‘at, bukan yang lain; bahwa hak menetapkan aturan yang mutlak itu tidak diberikan Allah kepada seorang pun selain beliau SAW; dan bahwa apa yang diajarkan sekularisme, yaitu menjadikan kehendak rakyat sebagai penentu menggantikan Kitab dan Sunnah, merupakan salah satu bentuk kemurtadan, melepas tali agama dan merebut salah satu karakteristik terpenting dan sifat yang paling komprehensif milik Allah. Pengakuan iman Anda tidak akan sah sebelum Anda mengetahui bahwa Anda tunduk dengan kekuasaan-Nya, dan bahwa Kitab dan Sunnah merupakan argumen yang telak dan hukum tertinggi, dan bahwa keduanya berada di atas undang-undang dan konstitusi, serta berbagai aturan dan sistem yang dibuat manusia.

Tidakkah aneh jika al-Qur’an itu mengalahkan seluruh kitab suci, padahal seluruhnya diturunkan dari sisi Allah, sementara itu al-Qur’an dalam agama Anda tidak hegemoni terhadap konstitusi dan undang-undang yang Anda inginkan, padahal konstitusi dan undang-undang itu buatan tangan Anda, dimana Anda bisa mengubahnya dan menggantinya sesuka hati? Apakah Anda ingin mendahulu Allah dan Rasul-Nya dengan aturan-aturan buatan Perancis dan Inggris, padahal mereka telah memperlakukan Anda, bangsa dan agama Anda sedemikian buruk, baik yang Anda tahu atau yang tidak Anda tahu.
Kebenaran telah terkuat! Pengakuan sebagai seorang muslim tidak bisa berdampingan dengan sikap menolak syari‘at Islam, baik karena mendustakan atau enggan dalam kondisi apapun. Anda harus menentukan pilihan antara menjadi pembela Islam di parlemen dan selainnya, tidak mengingkari hukum Allah dan tidak menolak perintah-Nya, tidak berusaha untuk melemahkan ayat-ayatnya dan tidak berusaha menghalang-halangi penerapan syari‘at Allah, sehingga Anda menjadi muslim dan hamba Allah yang baik; atau Anda terbawa hawa nafsu untuk menjauhi agama dan loyal terhadap musuh-musuh syari‘at, berusaha melemahkan ayat-ayat Allah, tidak menerapkan syari‘at-Nya dan menolak hukum-hukum-Nya, sehingga kalian tidak punya hubungan apapun dengan Allah dan Islam, meskipun kalian shalat, puasa dan mengaku sebagai seorang muslim.” (ash-Shawi)

Ijma‘ tentang Kufurnya Orang yang Enggan Berhukum Kitab dan Sunnah

1. Al-Hafizh Ibnu Katsir.

Saat menafsirkan firman Allah, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Ma’idah [5]: 50), Ibnu Katsir berkomentar, “Allah menghujat orang yang keluar dari hukum Allah dan beralih kepada pendapat, ego dan istilah yang dibuat manusia, sebagaimana kesesatan dan kebodohan yang dijadikan bangsa jahiliyah dalam menetapkan hukum, sebagaimana politik kerajaan bangsa Tartar yang diambil dari raja mereka, Jengis Khan yang membuat Yasiq, yaitu undang-undang yang dikumpulkan dari berbagai sumber hukum dan pandangannya sendiri, lalu ia menjadi aturan yang diikuti bagi bangsa Tartar. Barangsiapa yang mengikuti hukum tersebut, maka ia kafir dan wajib diperangi sampai ia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.

Dalam kitab al-Bidayah wan-Nihayah (13/119), Ibnu Katsir juga mengatakan, “Barangsiapa meninggalkan syari‘at yang muhkam (tegas dan tidak mengandung takwil) yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah Penutup para Nabi SAW, lalu mengikuti hukum syari‘at yang telah dihapus, maka ia telah kufur. Lalu, bagaimana dengan orang yang mengikuti hukum Yasiq dan lebih mengutakannya daripada hukum Allah? Barangsiapa yang berbuat demokrasi, maka ia telah kufur berdasarkan ijma’ umat Islam.”

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Fatawa (3/267) mengatakan, “Ketika seseorang menghalalkan sesuatu yang disepakati haram, atau mengharamkan sesuatu yang disepakati halal, mengganti syari‘at yang telah disepakati, maka ia kafir dan murtad menurut kesepakatan para ulama fikih.”

3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Mantan Mufti Saudi.

Dalam risalah Tahkim al-Qawanin Syaikh Muhammad berkata, “Di antara bentuk kufur yang paling besar adalah menempatkan undang-undang yang terlaknat menggantikan apa yang diturunkan malaikat Jibril pada hari Muhammad SAW untuk dijadikan hukum yang berlaku di antara manusia. Hal itu sesuai firman Allah, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’ [4]: 59)

4. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz.

Ia berkata, “Seruan nasionalisme Arab dan persatuan di bawah panjinya mengakibatkan masyarakat menolak hukum al-Qur’an, karena orang-orang nasionalis non-muslim tidak akan rela mengikuti hukum al-Qur’an, sehingga hal itu mengharuskan para pemimpin nasionalisme untuk mengambil hukum positif yang bertentangan dengan hukum al-Qur’an, agar semua masyarakat memiliku kedudukan yang sama di hadapan hukum-hukum tersebut. Banyak dari mereka yang meneriakkan hal ini sebagaimana telah dijelaskan. Ini merupakan kerusakan besar, kekafiran yang nyata dan kemurtadan yang jelas, sebagaimana firman Allah, “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah [5]: 44) Setiap orang yang tidak memutuskan menurut syari‘at Allah dan tidak tunduk terhadap hukum Allah, maka dia orang yang jahil, kafir, zhalim lagi fasiq berdasarkan nash ayat-ayat yang muhkam ini.”

Abdul ‘Aziz bin Baz juga mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang menyerukan sosialisme atau sosialisme atau paham-paham destruktif lain yang kontradiksi dengan hukum Islam itu kafir dan sesat, lebih kafir daripada Yahudi dan Nasrani. Mereka itu adalah orang-orang atheis yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Tidak satu pun di antara mereka yang boleh menjadi khathib atau imam di suatu masjid milik umat Islam, dan tidak sah shalat di belakang mereka. Setiap orang yang membantu kesesatan mereka, menganggap baik apa yang mereka dakwakan, serta mencaci dan mencemooh pada dai yang menyerukan Islam itu juga kafir lagi sesat. Kedudukannya sama seperti kedudukan kelompok yang sesat dimana ia berjalan dalam paradenya dan membantu mereka. Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang membantu orang-orang kafir untuk memusuhi umat Islam dengan cara apapun, maka ia kufur sepeti mereka.”

5. Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi.

Dalam kitab al-Islam wal-‘Ilmaniyyah (73) mengatakan, “Seorang sekuler yang menolak penerapan syari‘at dari awal itu tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam kecuali nama saja. Ia telah murtad dari Islam secara pasti, dan wajib diminta untuk bertaubat, dijauhkan dari syubhat dan diajukan argumen kepadanya. Kalau di atidak bertaubat, maka mahkamah memutuskannya murtad dan melepas statusnya sebagai muslim, dipisahkan dari istri dan anak-anaknya, dan berlaku padanya hukum orang-orang murtad, baik semasa hidup atau sesudah mati.”

Sebagian sarjana, atau orang yang telah menjual agama mereka dengan duniawi, mengklaim bahwa memutuskan perkara tidak berdasarkan wahyu Allah asalkan tidak menghalalkan sesuatu yang haram itu termasuk dosa dan maksiat yang tidak mengeluarkannya dari Islam. Jawaban atas pernyataan ini akan kami ambil dari buku Dr. Abdurrahman bin Shalih al-Mahmud, guru besar fakultas Ushuluddin, Riyadh, yang berjudul al-Hukmu bi Ghairi ma Anzalallah. Ia menulis, “Para ulama menyepakati kekafiran orang yang memutuskan perkara tidak dengan apa yang diturunkan Allah meskipun ia tidak menghalalkannya, sebagaimana yang dikemukakan banyak ulama. Di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Ibnu Qayyim. Umat Islam tidak mengenal adanya perubahan atas syari‘at dan keputusan berdasarkan hukum positif sebelum kedatangan Tartar dengan membawa hukum mereka yang bernam Yasiq. Kemudian datanglah era modern ketika bangsa Nasrani dan selainnya menyerang umat Islam. Di antara peninggalkan mereka yang paling besar adalah hukum positif ini.

6. Ibnul Qayyim.

Disebutkan dalam al-Qur’an dan ijma’ yang shahih bahwa agama Islam menghapus setiap agama sebelumnya, dan bahwa barangsiapa yang mengikuti ajaran Taurat dan Injil dan tidak mengikuti al-Qur’an maka hukumnya kafir.” (Ahkam Ahlidz-Dzimmah, 1/259) Jika demikian, maka apalagi dengan mengikuti hukum positif.

7. Ibnu Katsir.

“Barangsiapa meninggalkan syari‘at yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah Penutup para Nabi, lalu ia bermahkamah kepada syari‘at lain yang telah dihapus, maka ia telah kufur. Lalu, bagaimana dengan orang yang mengikuti hukum Yasa dan lebih mengedepankannya daripada al-Qur’an?” (al-Bidayah wan-Nihayah, 13-119)

Inilah kesepakatan yang dituturkan ulama mengenai kufurnya orang yang mengikuti hukum selain syari‘at Islam. Undang-undang kontemporer itu bukan syari‘at yang dihapus al-Qur’an, melainkan lebih menyerupai Yasiq milik bangsa Tartar yang terhimpun dari syari‘at-syari‘at yang ada dalam agama Yahudi, Nasrani dan Islam.

Muhammad bin Hamid al-Hasani dalam bukunya ath-Thariq ilal-Khilafah (56) menjelaskan syarat-syarat untuk tidak menghukumi kafir orang yang memutuskan perkara tidak menurut wahyu Allah. Ia mengatakan,

1. Ia komit dan menerima secara lahir dan batin setiap hal yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
2. Ia mengakui bahwa dengan tidak memutuskan perkara sesuai dengan wahyu Allah dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya itu berarti ia berdosa, dan bahwa keputusannya tersebut keliru, dan keputusan Allah saja-lah yang benar. Apabila ia berkata dengan bahasa verbal atau bahasa kondisi bahwa keputusannya lebih baik daripada keputusan Allah dan Rasul-Nya, atau bahwa keputusannya sama dengan keputusan Allah dan Rasul-Nya, bahwa keputusan Allah dan Rasul-Nya itu lebih sesuai untuk masa lalu, bahwa apa yang diputuskannya itu lebih tepat dan lebih baik untuk masa kini, bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu lebih tepat dan lebih sesuai untuk setiap tempat dan waktu tetapi ia boleh memutuskan dengan apa yang dilihatkannya sesuai meskipun bertentangan dengan hukum Allah, seandainya ia mengatakan ini semua atau sebagiannya, maka ia telah menjadi kafir murtad.

3. Keputusan yang tidak menurut wahyu Allah itu berkaitan dengan kasus-kasus khusus dan tertentu, bukan dalam perkara-perkara universal dan umum. Seperti seorang pencuri dihadapkan kepada hakim yang merupakan kerabat pencuri. Sebenarnya hakim tersebut mengakui bahwa hukuman pencuri adalah potong tangan, tetapi ia membela kerabatnya dan menjatuhinya hukuman selain potong tangan. Lalu hakim tersebut ketika dihadapkan kasus pencurian lain dimana pelakunya bukan kerabatnya, maka ia akan menjatuhkan hukuman potong tangan. Hakim dengan perbuatannya seperti ini disebut kafir di bawah kafir, dengan syarat ia mengakui kekeliruan dan dosanya. Maksudnya, ia melakukan perbuatan kufur amali—bukan i‘tiqadi—yang tidak mengeluarkannya dari agama.