Cara Mengobati Krisis Akhlak (2)

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

***

Kedua. Komitmen dengan agenda dzikir, mulai dari tilawah Al Quran, tasbih, istighfar dan dzikir secara umum.

Adapun tilawah Al Quran, maka kami tidak perlu memaparkan dalil-dalil tentang keutamaan tilawah dan mentadabburinya, karena semua ulama sepakat bahwa tilawah dan mentadabburinya merupakan sarana yang paling utama dalam taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt.

Betapa banyak hati yang keras membatu, kemudian melunak karena tilawah Al Quran. Betapa banyak para pendosa yang lalai kemudian sadar dan bertaubat, karena merenungi kandungan kitab Allah. Betapa banyak mata yang kering tak pernah meneteskan air mata karena takut kepada Allah, kemudian meleleh dan menganak sungai karena melihat kalam Allah.

Para sahabat dahulu, memiliki agenda wirid harian dengan tilawah Al Quran. Satu hari mereka tidak melaksanakan agenda wirid hariannya, maka akan mereka qadha (rapel) di hari berikutnya, dengan penuh rasa sakit dan penyesalan hati yang berkepanjangan. Hal ini pernah dialami oleh Khalifah kedua, Umar bin khatthab ra.

Adapun dzikir, tasbih dan istighfar adalah obat yang telah diajarkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Bahkan pelajaran dan perintah ini diulang-ulang oleh Allah dalam Al Quran berkali-kali :

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آَنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى

“ Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.” (QS. Thaha : 130)

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ

“ Dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” (QS. Ghafir : 55)

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“ Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf : 205)

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

“ Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, Maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan : 25-26)

Semua ulama sepakat, bahwa setiap muslim harus memiliki wirid dzikir, mulai tasbih, istighfar sampaii tilawah Al Quran. Waktu yang afdhal untuk dzikir ini adalah wakt pagi dan sore.

Ketika ada suatu kesibukan yang menghalangi dzikir pada waktu yang sudah dibiasakan, maka sebaiknya dzikir yang ditinggalkan bisa dilakukan pada waktu setelahnya, baik itu siang atau malam hari. Sehingga kesibukan yang menghalangi dikir itu tidak menjadi sebab meremehkan dan menganggap dzikir tidak penting.

Umar bin Khatthab ra berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa yang tertidur dari satu hizb atau sedikit dari bacaan Al Quran, kemudian dia baca di waktu antara shalat shubuh dan shalat dhuhur, maka orang tersebut sama saja telah membacanya di malam hari.” (HR.Muslim)

Adalah sebuah kesalahann besar, ketika ada orang yang mengatakan bahwa dzikir adalah ibadah muthlaq, menentukan waktu khusus untuk dzikir adalah bidah yang diharamkan. Ini adalah pendapat yang hendak menjauhkan kita dari dzikir kepada Allah dengan cara yang paling buruk. Karena orang yang memiliki pendapat seperti ini tidak akan melaksanakan ibadah agung ini selama hidupnya, gara-gara menghindari bidah yang dia haramkan.

Suatu saat kita akan melihat orang seperti ini, pada waktu-waktu yang mulia di pagi dan siang hari, terlelap dalam dengkurannya yang panjang, atau sibuk dengan hiburan, permainan dan gossip murahan. Orang tersebut tanpa sadar telah jatuh dalam bahaya dosa dan kesesatan yang diperingtkan oleh Allah, dengan bahasa tegas dan jelas. Atau dia mendapat syafaat dari pendapatnya untuk tidak menghabiskan waktunya dengan bidah dzikir pada waktu yang ditentukan.

Dzikir yang kita lakukan, mulai dari tilawah dan dzikir yang lain, memiliki pengaruh yang besar dalam mengobati segala gangguan dan penyakit hati. Dengan dzikir yang terus menerus, hati akan merasakan pengawasan melekat dari Allah. Begitu kita hendak melakukan hal yang diharamkan, atau hanya berniat saja untuk melakukannya, maka perasaan diawasi Allah akan serta merta mengkoreksi dan meluruskannya secara otomatis.

Inilah yang kita sebut dengan Al Hirasah al Ilahiyyah (Penjagaan Allah) yang melekat dalam kehidupan setiap muslim. Inilah amalan ihsan yang dipaparkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya : “Engkau beribadah kepada Allah sekan-akan engkau melihat-Nya, Jika engkau tidak melihatnya secara nyata, maka yakinlah sesungghunya Allah melihatmu.”

Penjagaan ilahi ini tidak akan kita miliki, jika kita tidak memiliki keterikatan yang kuat dengan Al Quran, tidak banyak dzikir dan hati kita tidak merasakan pengawasan Allah yang melekat. Ini adalah obat penawar terbaik bagi tazkiyatun nafs (pencucian jiwa), yang mana sebagian dari kita ada yang gagal dalam menghilangkan penyakit sombong, dengki, iri, gila dunia, tertawan oleh popularitas, gelar dan kedudukan duniawi yang fana.

Dzikir yang kami maksud di sini bukanlah sekedar gerakan lidah dan mulut, bukan pula putaran tasbih di tangan dan bukan pula ketukan dan irama para munsyid. Namun yang kami maksud dzikir di sini adalah seperti yang dikehendaki oleh Allah dalam kitab-Nya ketika Rasulullah saw menerima arahan dari-Nya. Persis seperti yang dikatakan oleh orang yang faham bahasa arab : “Saya dzikir (teringat) seseorang sepanjang hari ini.”

Dzikir yang menghimpun hati, gerakan fikir dan kesadaran sanubari.

Dzikr dengan gerakan lidah memiliki fungsi penting, untuk menggugah hati, menarik kesadaran dan menjaga jangan sampai lidah itu sibuk dari pembicaraan-pembicaraan yang melalaikan ketika kita telah lelah dari dzikrullah.

Apabila ada pembatas antara lidah dan hati seseorang dalam berdzikir, yaitu ketika lisan kita sibuk dengan dzikir, doa dan tasbih tapi hati kita tenggelam dalam gemuruh nafsu dan impian-impian duniawi yang diharamkan, maka orang seperti ini bukanlah orang yang berdzikir atau beribadah, melainkan itu hanyalah tampilan luarnya saja. Sikap dzikir seperti ini tidak memiliki makna sama sekali bagi dirinya, kecuali hanya sebutan ahli dzikir dari orang banyak, tidak lebih dari itu.

*) Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy lahir pada tahun 1929 di sebuah daerah yang bernama Buthan, bagian dari wilayah Turki yang terletak di perbatasan antara Turki dengan Irak bagian utara.

Pada usia empat tahun, beliau ikut ayahnya, Mullah Ramadhan untuk pindah ke Damaskus, Syria. Setelah menamatkan sekolah Islam di Damaskus, Al-Buthy kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir. Beliau mendapatkan gelar doktor dalam bidang hukum Islam di Universitas Al-Azhar pada tahun 1965.

Pada tahun yang sama, beliau kembali ke Damaskus dan diangkat sebagai salah satu pimpinan di Universitas Damaskus, sekaligus aktif sebagai dosen di sana. Selain itu, ia juga menjabat anggota dewan tinggi di universitas Oxford, Inggris.

Selain sebagai dosen, Al-Buthy juga aktif di berbagai konfrensi dan simposium dunia. Beliau fasih berbahasa Arab, Turki, dan Ingris. Tidak kurang dari 40 buku telah beliau tulis. Hampir setiap hari, beliau mengisi taklim di masjid Damaskus, dan berbagai masjid di Syria. Ribuan orang selalu hadir dalam setiap taklim yang beliau pimpin.