Ketaatan yang Zhahir dan Batin

DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy

A.1. Zhahir dan Batin, Diyanah dan Qadha

Para Ulama sepakat, bahwa secara global perintah dalam syariat Islam itu terbagi menjadi dua. Pertama, perintah yang berkaitan dengan segala ucapan dan perbuatan dhahir yang terlihat oleh panca indra, seperti shalat, puasa, amr maruf nahy munkar dan aktifitas keIslaman lainnya. Kedua, Segala perintah yang berkaitan dengan hati dan jiwa, seperti ikhlash, rendah hati, cinta dan benci karena Allah, takut kepada ancaman Allah dan berharap akan pahala dan ridha-Nya.

Dan Ulama juga sepakat, larangan dalam syariat Islam terbagi menjadi dua. Pertama, larangan yang berkaitan dengan segala ucapan maupun perbuatan yang terlihat, seperti larangan membunuh dengan tidak hak, mencuri, zina, ghibah, namimah dll. Kedua, larangan yang berkaitan dengan hati dan jiwa, seperti larangan dengki, takabbur, riya, dendam dan terikat oleh hiasan dunia dan hawa nafsu.

Dan Ulama juga sepakat, bahwa setiap ketaatan lahir seorang muslim baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, itu tidak akan sempurna dan tidak akan diterima disisi Allah, jika tidak dilandasi oleh ketaatan batin.

Sebaik dan sebanyak apapun amal ketaatan lahir kita, jika tidak dilandasi oleh keikhlasan, maka buah kedekatan kepada Allah tidak akan tercapai.

Sebaik apapun penampilan ketaatan lahir kita dalam pandangan manusia, jika hati tidak dibalut oleh akhlaq yang mulia, maka penampilan itu tidak ada artinya.

Jika hati kita didominasi oleh perasaan takabbur, dendam dan dengki, maka hati itu itu akan lemah untuk melambari seluruh ketaatan dan ibadah lahir dengan ungkapan ubudiyyah kepada Allah. Apabila telah terputus, tali penyambung ubudiyyah antara hati dan ketaatan lahir seorang muslim, maka hilanglah daya untuk mendekat kepada Allah swt. Dan terkoyaklah jaring pengaman dari fitnah dunia, godaan syaithan dan hawa nafsu, ibaratnya seperti buah mati karena menempel pada dahan yang kering tak bernyawa, tidak ada yang diharap kecuali kehampaan dan kekosongan.

Pembagian hukum Islam dalam dua hal ini telah dinyatakan secara jelas oleh Al Quran, dengan redaksi yang beragam. Allah swt berfirman :

وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ

“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka Telah kerjakan.” (QS. Al Anam : 120)

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.” (QS. Al Anam : 151)

Dalam ayat lain Allah memberikan peringatan kepada manusia, agar membersihkan ibadah kepada-Nya dari unsur syirik. Allah swt berfirman :

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi : 110)

Integrasinya hukum Islam dengan kebersihan hati dan kesucian jiwa dari dosa-dosa batin telah begitu nyata, Allah swt berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams : 9-10)

Rasulullah saw bersabda :

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ (متفق عليه)

“Ingatlah, sungguh dalam jasa manusia ada segumpal daging, apabila dia baik, maka baiklah seluruh tubuh, apabila ia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Muttafaqun Alaih)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda :

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ (رواه مسلم)

“Sesunggunya Allah tidak melihat rupa dan bukan pula tubuh kalian, tapi Allah melihat pada hati-hati kalian.” (HR. Muslim)

Apabila telah jelas hakikat ini dalam pandangan kita, bahasa kita boleh berbeda dalam mengungkapkan hakikat ini, namun maksud kita selalu sama.

Sebagian kita mengungkapkan dengan kata dhahir dan batin, sebagian yang lain dengan kata diyanah dan qadha, sebagian yang lain dengan kata syariat dan hakikat.

Semua ungkapan itu sama, selama makna kebenaran menjiwainya. Sebagai contoh, seseorang yang menjalankan kewajiban shalat dengan memenuhi syarat dan rukunnya, maka kita katakan, dari sisi dhahir, qadha dan syariah orang tersebut telah menjalankan kewajiban dengan benar. Namun apabila shalatnya dibarengi dengan riya’, ujub atau aqidah kufur, maka dari sisi batin, diyanah dan hakikat orang tersebut tidak menunaikan kewajiban dengan baik.

Jadi semua amal ketaatan kita lihat dari dua sisi, sisi dhahir dan batin, sisi qadha dan diyanah atau sisi syariah dan hakikat.

Bisa jadi kedua sisi terpenuhi dalam suatu amal ketaatan, ketika ketaatan itu memenuhi syarat dan rukun dhahir, qadha maupun syariat, begitu juga syarat dan rukun batin, diyanah maupun hakikat yang berada dalam penilaian Allah swt. Tuhan alam semesta, maka ketaatan tersebut diterima oleh Allah swt.

Dan bisa jadi kedua sisi tersebut tidak terpenuhi dalam suatu amal ketaatan, maka ketaatan tersebut tertolak sekaligus, baik dari sisi dhahir batinnya, qaha diyanahnya dan syariat hakikatnya.

Atau bisa jadi dari satu sisi terpenuhi, tapi dari sisi yang lain tidak, ketika syarat dan rukun terpenuhi hanya dari sisi dhahir, qadha dan syariah, tapi dari sisi batin, diyanah dan hakikat tidak terpenuhi, atau sebaliknya, maka amalan tersebut tertolak secara otomatis, sebaik dan seindah apapun penampilan amal ketaatan tersebut dalam pandangan kita. Allah swt berfirman :

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al Furqan : 23)

Dari yang kami paparkan menjadi jelas, bahwa dhahir dan batin adalah dua hal yang berkaitan, berjalin berkelindan, tidak benar batin tanpa dhahir, atau dhahir tanpa batin.

Al Izz bin Abdus salam rahimahullah berkata : “Hakikat itu tidak akan pernah lepas dari syariah, bahkan syariah akan selalu bertumpu pada kebaikan hati, marifat, hal, azm, niat dan amalan-amalan hati lainnya. Memahami hukum dhahir adalah memahami syariah secara utuh dan memahami hukum batin adalah saripati dari memahami inti syariah, tidak ada yang menolak hakikat ini kecuali orang kafir atau seorang pendosa.”

Adapun pendapat yang mengatakan, bahwa batin atau hakikat adalah syariat yang didapatkan karena melakukan olah batin tertentu atau melakukan ritual yang dibuat-buat, kemudian menafikan dan menghapus syariat dhahir, syariat batin menduduki posisi syariat dhahir, maka itu adalah aqidah ahli zindiq, penganut aliran permisifisme yang merajalela.

pendapat ini tidak lain adalah pendapat ahli zindiq yang menyelusup ke dalam Islam, dengan berpura-pura menjadi muslim yang diterima oleh semua kalangan, ketika ia masuk dalam kelompok syiah ia memakai seragam kaum syiah, ketika bertemu para sufi ia pun memakai baju sufi, padahal mereka tidak masuk dalam golongan yang satu ataupun yang lainnya, tetapi mereka hanyalah perusak Islam dan umatnya, yang mencari kesempatan dalam kesempitan.

Syaikh Mushthofa Al Aruusiy menukil ucapan Imam Ghazali rahimahullah dalam catatan pinggirnya terhadap kitab Ar Risalah al Qusyairiyyah : “Kalau ada orang yang mengklaim dirinya memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah, kemudian gugur atasnya hukum syariat, seperti boleh meninggalkan shalat, halal minum khamr, diijinkan menjarah kekayaan raja, sebagaimana yang dikatakan oleh para tokoh sufi yang tak berilmu, maka orang tersebut wajib dibunuh, bahkan membunuh orang seperti ini lebih baik dari pada membunuh seratus orang kafir, karena bahaya latennya.”

Imam Junaid ra. pernah ditanya tentang hukum orang-orang tersebut, Beliau mengatakan : “Posisi ahli mashiyat yang mencuri dan berzina lebih baik dari pada mereka.”

Imam Al Izz bin Abdussalam rahimahullah berkata : “Orang-orang zindiq ini ingin menyerupai suatu kaum namun mereka tak serupa sama sekali, mendekatipun tidak, mereka lebih buruk dari para permapok, karena mereka memotong jalan orang yang hendak datang menuju Allah swt, mereka lontarkan kata-kata yang tidak benar dengan mengatasnamakan Allah, mereka tidak memiliki adab yang baik terhadap Nabi dan Rasul pun juga para pengikutnya, yakni para ulama yang bertaqwa. Mereka melarang umat duduk bersama para fuqaha yang luas ilmu syariahnya, karena mereka tahu para fuqaha melarang umat bergaul dengan para zindiq ini.”

Ketika sebagian orang berpegang dengan pendapat yang salah tentang dhahir batin, qadha diyanah dan syariah hakikat, tidak berusaha mencari pendapat yang benar, maka mereka akan jatuh pada penolakan mutlak, mereka akan menafikan pembagian sisi dhahir dan batin dalam agama ini, qadha dan diayanah maupun syariah dan hakikat. Mereka merasa asing dengan pembagian ini, bahkan menolak mentah-mentah pembagian ini, karena mereka kekeuh dengan pendapat salah yang dilontarkan oleh para zindiq dan penganut permissifisme dengan kedok tashawwuf, karamah dan kemuliaan dari Allah.

Aliran pemikiran seperti ini dengan pendapat-pendapatnya yang bathil, dengan idiom-idiom yang menyeleweng dari hakikatnya, tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi orang yang iman kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.

Namun yang harus diketahui oleh umat Islam adalah, aturan syariat yang bersifat dhahir, yang berupa ucapan maupun amal ragawi, tidak akan diterima disisi Allah swt, tidak menarik pahala, tidak menghapus dosa, selama tidak dibarengi dengan kebaikan amalan hati yang konstan. Dan sesungguhnya sucinya jiwa dan jernihnya hati adalah landasan bagi baiknya amal dan buahnya.

Ringkas kata, hakikat Islam yang sesungguhnya dalam ibadah adalah, ketika hati dan sikap dhahir atau aktifitas amal saling bersesuaian, berjalan seiring diatas konsep ilahy yang sudah digariskan oleh Al Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Apabila salah satu ditinggalkan maka hasilnya bukan mencerminkan hakikat Islam.

Niscayanya kebersamaan dhahir dan batin ini, melahirkan perbedaan yang tegas antara mukmin dan munafik dalam alam realitas.

Niscayanya kesesuaian antara dhahir dan batin ini, menjadikan jihad dan pengorbanan memiliki makna strategis dalam amal Islami.

Niscayanya kesamaan dhahir dan batin ini, menjadikan umat Islam akan hidup bersatu, kuat dan memiliki izzah, masjid-masjid makmur dengan beragam aktifitas, mimbar-mimbarnya bersinar dengan petunjuk, lisan tak berhenti berdakwah dan ilmu yang tertuang dalam hati maupun kitab menjadi tangga kesuksesannya.

Namun sayang seribu sayang, hati kita sendirilah yang jauh dari kebersamaan ini. Bukanlah sebuah kebersamaan, ketika dhahir kita penuh dengan tipuan, dan batin kita menipu Allah swt. Padahal kita tidak menipu Allah, justru kita telah menipu diri kita sendiri.