Jihad di Jalan Allah (3)

Pertama: Karena perjanjian itu menjamin kebebasan berdakwah, tidak dihalangi oleh kekuatan politik apa pun, sebab menurut perjanjian itu, semua orang menghormati pemerintahan Islam yang baru muncul di bawah pimpinan Rasulullah SAW.

Perjanjian itu juga menyebutkan bahwa setiap orang dan setiap golongan tidak boleh membuat sebarang perjanjian damai dan tidak boleh pula mengobarkan perang, juga tidak boleh melakukan hubungan luar, melainkan terlebih dahulu mesti mendapat persetujuan Rasulullah SAW.

Ini jelas menunjukkan bahwa pimpinan dan kekuasaan di Madinah sebenarnya terletak di tangan orang Islam dan kesempatan berdakwah adalah terbuka lebar, juga kebebasan asasi umat manusia mengenai masalah ini (akidah), terjamin sepenuhnya.

Kedua: Di peringkat ini Rasulullah SAW bermaksud mencari penyelesaian dengan kaum Quraisy yang terus menerus menentangnya, dan juga merupakan penghalang utama bagi kaum lain masuk Islam. Rasulullah SAW juga ingin melihat penyelesaian antara golongan Quraisy yang kontra dengan golongan yang pro Islam. Untuk itu, beliau telah mengambil tindakan segera mengirim pasukan patroli (saroya jama’ sariyyah), membawa panji-panji Islam.

Patroli pertama yang dikirimnya ialah yang dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Mutalib (paman Rasulullah sendiri) di bulan puasa menjelang bulan ketujuh hijrah.

Pengiriman patroli atau saroyah itu dilakukan pula menjelang bulan kesembilan hijriah, di bulan ketiga belas dan keenam belas hijriah. Kemudian dikirim pula patroli di bawah pimpinan Abdullah bin Jahsy di awal Rajab bulan ketujuh belas hijriah. Ini saroyah pertama yang mengalami pertempuran sengit.

Pertempuran ini terjadi di bulan haram (bulan suci yang dilarang berperang). Pertempuran inilah menjadi sebab turunnya Firman Allah:

“Mereka bertanya kepadamu [wahai Muhammad] tentang hukum berperang di bulan yang dihormati. Katakanlah: Berperang di bulan itu adalah dosa besar; tetapi perbuatan menghalangi [orang Islam dari jalan Allah, kafir kepada Allah menghalangi orang Islam masuk] Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarya; lebih besar [dosanya] di sisi Allah. Dan fitnah itu lebih besar [dosanya] daripada berbunuhan [semasa perang dalam bulan haram]. Mereka tidak berhenti-hentinya memerangi kamu sampai mereka [dapat] mengembalikan kamu dari agama kamu [kepada kekafiran] seandainya mereka sanggup [berbuat demikian].” (Al-Baqarah: 217)

Kemudian peperangan Besar Badar (Badrul-Kubra) terjadi pada bulan Ramadan tahun itu juga dan peperangan itulah yang menjadi sebab turunnya Surah Al-Anfaal.

Kalau hal itu dijadikan dasar dari latar belakang kejadian peperangan ini, maka sama sekali tidak langsung berhubungan dengan alasan “mempertahankan diri” menurut definisinya yang sangat sempit itu, untuk dijadikan dasar bagi gerakan jihad Islam; seperti yang selalu dikatakan oleh orang-orang yang dangkal pikirannya menghadapi realita yang berlaku dan menghadapi putar belit kaum orientalis.

Orang-orang yang sengaja mencari-cari alasan menjalankan gerakan Islam dalam bentuk “mempertahankan diri” saja sebenarnya telah beroleh ilham dan inspirasi dari serangan kaum orientalis. Ketika umat Islam sedang kehilangan kekuasaan seperti sekarang ini, dan bahkan ketika orang-orang Islam sedang kehilangan “Islam” itu sendiri, kecuali orang-orang yang masih dipelihara Allah iman dan semangatnya, yang masih terus melaksanakan proklamasi umum Islam mengenai kebebasan umat MANUSIA di atas BUMI ini dari sebarang kekuasaan yang lain dari kekuasaan Allah SWT, supaya kekuasaan itu menjadi kepunyaan Allah SWT seluruhnya, lalu mereka berusaha dan berjuang terus meniupkan semangat jihad dengan menonjolkan nama dan lambang Islam dengan tujuan untuk memenangkan Islam saja.

Gerakan dakwah Islam tidak memerlukan sebarang pedoman dan fakta sandaran yang lebih tepat daripada panduan wahyu Ilahi ini:

“Oleh kerana itu, maka hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat [yaitu orang mukmin yang mengutamakan kebahagiaan hidup akhirat atas hidup dunia ini] berperang di jalan Allah. [karena] Barangsiapa yang berperang di jalan Allah lalu terbunuh [syahid] atau beroleh kemenangan, maka kelak Kami akan berikan kepadanya pahala yang besar. Dan mengapakah kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita dan anak-anak yang selalu berdoa dengan berkata “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini [Mekah] yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau”. Orang-orang yang beriman itu berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir pula berperang di jalan taghut [setan] sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (An – Nisaa’: 74-76)

“Katakanlah [wahai Muhammad] kepada orang-orang kafir itu: Jika mereka berhenti [dari kekafirannya] Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu. Dan jika mereka kembali lagi [kembali menjadi kafir semula dan memerangi Nabi] maka sesungguhnya akan berlaku [kepada mereka] sunnah [Allah terhadap] orang-orang dahulu”. Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah [gangguan terhadap agama Islam] dan supaya agama itu bagi Allah semata-mata [supaya orang Islam bebas melaksanakan ajaran agamanya].

”Jika mereka berhenti [dari kekafiran dan gangguan] maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka berpaling [enggan beriman dan tidak berhenti menceroboh] ketahuilah bahawasanya Allah Pelindungmu dan sebaik-baik penolong.” (Al Anfaal: 38-40)

Dan firman Allah:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak [pula] kepada hari akhirat dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah], yaitu orang-orang [Yahudi dan Kristen] yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan keadaan taat dan merendahkan diri. Dan berkata orang-orang Yahudi: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu, dilaknat Allahlah mereka. Bagaimana mereka dapat berpaling [dari kebenaran]? Mereka jadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan] Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Suci dari apa yang mereka persekutukan.” (At Taubah: 29-31)

Inilah fakta-fakta sandaran yang mengesakan ketuhanan Allah di “bumi” ini, dan melaksanakan panduan-Nya di dunia ini, serta menghalau setan dan kelompoknya, juga menghancurkan kekuasaan manusia yang menindas dan menekan sesama umat manusia sedangkan semua manusia adalah hamba Allah Yang Maha Berkuasa. Manusia tidak boleh saling menguasai dan saling mengabdi oleh dan kepada sesiapa pun dari kalangan sesama hamba Allah dengan mengatasnamakan diri mereka sendiri atau dengan undang-undang yang bersumber dari hawa nafsu dan pendapat mereka sendiri.

Pada fase ini, mulailah berlaku kalimat “tiada paksaan dalam beragama”, iaitu tiada paksaan untuk menganut agama Islam dan akidah apa pun, setelah seluruh umat manusia terbebas dari pengabdian oleh sesama manusia dan setelah diakui tegaknya suatu dasar bahwa kekuasaan seluruhnya adalah kepunyaan Allah.

Bila mereka ditanya mengenai motif yang mendorong mereka berjuang, mereka tidak akan pernah menjawab, “Kami berjuang untuk mempertahankan negeri kami yang sedang terancam.” Atau, “kami berperang untuk meredam kemaraan musuh dari Parsi dan Romawi yang merongrong kedaulatan negara kami.” Atau, “kami berjuang untuk memperluas kawasan negara kami dan mengumpul harta rampasan.”

Tidak karena semua itu. Namun, mereka akan menjawab seperti jawaban Sayidina Rab’a bin ‘Amir, Huzaifah bin Muhsan dan Al-Mughirah bin Syu’bah, kepada Rustam Panglima Angkatan Perang Parsi di Medan Perang Qadisiah yang telah bertanya kepada mereka seorang demi seorang dalam tempo tiga hari berturut-turut sebelum terjadinya pertempuran hebat antara tentara Parsi yang cukup lengkap dengan persenjataan tentara Islam yang kecil jumlah dan sedikit sekali persenjataannya.

Rustam bertanya kepada mereka, “Apakah yang mendorong kamu ke mari untuk berperang dengan kami?”

Jawaban mereka adalah bersamaan antara satu dengan yang lain, tidak berubah dan tidak berbeda. Jawaban mereka berbunyi, “Bahwa Allah telah mengutus kami untuk mengajak dan menyeru tuan-tuan dan semua orang yang memperlihatkan taat setianya kepada sesama manusia untuk bersama-sama dengan kami menyembah dan menuju pengabdian kepada Allah Yang Maha Esa.

Mereka juga mengajak Romawi dan Parsi untuk keluar dari kesempitan hidup dunia kepada ruang hidup yang lebih luas, di dunia dan akhirat, dari keganasan dan kekejaman agama-agama kepada keadilan Islam lalu diutus-Nya utusan-Nya kepada seluruh umat manusia. Siapa saja menerima Islam, maka kami sambut mereka dan kami akan meninggalkan negeri mereka. Kami persilakan mereka terus berkuasa di negeri mereka sendiri.

Sebaliknya, siapa saja yang angkuh dan enggan menerima Islam maka kami akan memerangi mereka sehingga kami mendapat kurnia surga Allah atau kami beroleh kemenangan.”

Sebenarnya ada tenaga pendorong di dalam tabiat agama ini dalam proklamasi umum dan juga dalam programnya yang berpijak dalam realita untuk umat manusia, yang sesuai dengan bentuk hidup umat manusia yang beragam. Tenaga pendorong utama itu senantiasa hidup tegak, walaupun tiada sebarang bentuk permusuhan atas negeri Islam dan juga terhadap kedaulatan orang-orang Islam di dalam negeri itu, krena ia adalah tenaga pendorong yang sejati dan asli di dalam program dan realitanya, bukan sekadar bertumpu pada mempertahankan diri saja, yang sangat sementara bentuknya.

Seorang muslim itu cukup mampu untuk keluar berjuang mempertaruhkan jiwa raga dan harta bendanya di “jalan Allah” saja, di jalan dasar dan nilai Allah saja, tiada sebarang keuntungan materi untuk diri dan golongannya, tiada pula sebarang impian kebendaan yang mendorongnya.

Sebelum setiap orang muslim keluar berjuang dan berperang di medan jihad, pada hakikatnya dia telah berhasil mengarungi medan jihad yang amat besar di dalam dirinya sendiri, melawan godaan setan dalam hatinya, menentang nafsu dan syahwat keinginan yang beraneka bentuk, menentang rasa tamak, menentang rasa cinta diri, cinta kaum kerabat dan anak bangsa sendiri, dan bahkan menentang sebarang simbol yang bukan simbol Islam, menentang sebarang dorongan untuk menyembah dan mematuhi sebarang kekuasaan selain Allah dan sebarang halangan dari terlaksananya kekuasaan dan pemerintah Allah di muka bumi ini serta menghancurkan kekuasaan “TAGHUT” dan setan-setan kekuasaan yang merampas kekuasaan Allah.

Orang-orang yang sengaja mencari-cari jalan untuk mendapatkan sebarang fakta sandaran ke arah perjuangan dan jihad Islam dengan tujuan mempertahankan “Negara Islam” saja, orang yang seperti itu adalah orang yang suka merendahkan dasar dan program agama dan memandangnya lebih murah nilainya daripada “negeri”.

Ini bukan konsep Islam yang benar, bahkan ia merupakan suatu teori dan pendapat yang sumbang dan usang sama sekali dari selera Islam; sebab akidah dan program yang mengatur perjalanannya dan masyarakat yang hendak dikuasai oleh akidah dan program itu adalah suatu simpulan kata yang sama dan satu dalam selera Islam.

Adapun “tanah” dan “bumi” saja maka tiada apa nilai dan harga pun, kerana setiap nilai dan harga bagi “tanah” dan “bumi” dalam pandangan Islam adalah berujung pada berkuasanya program dan ajaran Allah di atas “tanah” dan “bumi” itu. Karena itulah maka “bumi” itu menjadi tapak semaian akidah dan juga program itu di dalam bentuk “Negeri Islam”, dan juga merupakan titik permulaan bagi perjalanan ke arah kebebasan umat manusia.

Memang benar bahwa menjaga “Negeri Islam” itu berarti menjaga akidah, program dan masyarakat yang di dalamnya akidah dan program itu berkuasa dan berdaulat. Tapi mesti diingat, ini bukan tujuan terakhir. Bukan tugas menjaga keselamatan menjadi tujuan terakhir bagi gerakan jihad Islam. Kerena mengawal keselamatannya adalah merupakan satu jalan saja bagi tegak dan terlaksananya perintah Allah di dalamnya, juga dijadikan garis permulaan bertolak, sebab umat manusia adalah merupakan alat dan bahan bagi gerakan agama ini manakala bumi dan tanah pula merupakan tempat ia berpijak dan tumbuh mekar.

Kita telah mengatakan bahwa perjalanan membawa dan memikul ajaran agama ini akan dihadang oleh berbagai bentuk halangan, baik yang berbentuk kekuasaan negara, sistem sosial dan politik dan juga berbentuk realita yang menguasai keadaan, sedangkan semuanya adalah hal-hal yang hendak dihancurkan oleh Islam dengan menggunakan kekuatan, supaya seluruh umat manusia dapat hidup bebas berhadapan dengannya, bebas berbicara dan mengetuk pintu hati dan fikirannya, setelah seluruh umat manusia itu dibebaskan dari belenggu, dan setelah mereka beroleh kebebasan penuh.

Kita mestinya tidak mudah terpedaya dengan tipu muslihat kaum orientalis terhadap dasar “jihad” dan kita sekali-kali jangan rela menanggung beban yang ditimbulkan oleh realita dalam kekalutan dunia zaman sekarang, lalu kita mencari-cari motif lain untuk jihad Islam di luar tabiat asal agama ini sendiri, supaya dapat bertahan untuk sementara. Jihad akan terus berjalan, dengan disertai atau tanpa motif itu.

Di samping itu kita membongkar realiti sejarah, kita tidak boleh lupa pokok dan inti tabiat agama ini, dan jangan sekali-kali kita cuba mencampur-adukkan inti itu dengan realiti yang berbentuk pertahanan yang bersifat sementara itu.