Antara Menteri dan Pembantu

Pengumuman Presiden RI SBY atas susunan Kabinet Indonesia Bersatu II dan pelantikannya pada 22 /10/09 merupakan puncak hingar bingar politik praktis di negeri ini.

Hingar bingar politik tersebut sudah terjadi sejak masa kampanye pemeilihan legislatif periode 2009-2014 yang diikuti puluhan partai dan diteruskan dengan pemilu Presiden RI untuk masa jabatan 2009-2014 pada Juli lalu dan berakhir saat SBY melantik anggota kabinet barunya.

Selama itu pulalah hampir semua potensi negeri ini terkuras, khususnya keuangannya di mana triliunan rupiah dihabiskan dalam berbagai aktivitas politik praktis. Dua kegiatan besar yang mereka namakan pesta demokrasi; pemilu legislatif dan pemilu presiden. Di tengah negeri ini sedang menghadapi berbagai krisis, di antaranya krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak pertengahan 1997 lalu.

Maka pengumuman Presiden SBY atas susunan para Menteri yang akan membantu tugas kepresidenannya dan pelantikan mereka, paling tidak untuk tiga tahun ke depan, akan menghentikan hingar bingar politik praktis di negeri ini.

Karena berdasarkan pengalaman, dua tahun sebelum pemilu 2009, baik pemilu legislatif maupun pemilu Presiden, negeri ini sudah dihebohkan oleh berbagai aksi, suara dan program partai-partai politik yang semuanya terfokus pada pemenangan ke dua agenda politik tersebut, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Berarti, dapat diprediksi, hingar bingar poltik ini hanya akan berhenti sampai 2012, artinya dua tahun sebelum pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014, akan terjadi lagi hingar bingar politik tersebut dan mungkin bisa lebih seru dari apa yang kita saksikan dua tahun belakangan ini.

Menarik untuk dicermati, sejak dari awal aktivitas kampanye pemilu legislatif, kampanye pemilu presiden sampai pengumuman para menteri oleh Presiden terpilih yang memakan waktu hampir dua tahun, tema besar dan agenda utama politik di negeri ini terfokus hanya pada pembangunan ekonomi dan masalah-masalah lain yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup di dunia semata, tanpa menyentuh sedikitpun kepentingan kehidupan akhirat. Cara pandang dan paradigma berfikir yang dipakai dan target-target yang ingin dicapaipun tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di negeri-negeri lain yang penduduknya tidak beragama Islam.

Melihat kenyataan tersebut, timbul berbagai pertanyan mendasar : Apa sebenarnya yang diinginkan para pemimpin negeri ini yang mayoritas penduduknya adalah muslim?

Apa visi dan misi hidup mereka di dunia ini? Mau ke mana mereka setelah mati dan meninggalkan dunia ini? Sistem hidup apa yang mereka inginkan untuk diterapkan di atas bumi ciptaan Allah yang bernama Indonesia ini?

Keselamatan, kesejahteraan dan keamanan seperti apa yang mereka inginkan? Ke mana saja partai-partai Islam dan yang mengklaim partai dakwah dengan berbagai program islamisasi politik dan pemeritahannya? Dan banyak lagi pertanyaan lain yang amat mendasar.

Sepertinya, semua insan politik Indonesia, tak terkecuali yang lahir dan tumbuh dalam kultur dan partai Islam sekalipun larut dalam berbagi kue kekuasaan duniawi dan materi yang tidak seberapa dibandingkan dengan janji Allah atas keberkahan hidup di dunia dan kesuksesan akhirat yang tanpa batas, yakni syurga-Nya.

Kondisi tersebut nampak dengan jelas keinginan kuat dan tarik menarik antara partai-partai politik besar dan partai-partai yeng menjadi mitra koalisi SBY dalam pemilu persiden lalu agar para kader mereka menjabat di eksekutif atau kementrian dalam pemerintahan.

Hanya PDIP yang menolak jatah kementriannya kendati tetap menerima jatah ketua MPR yang diserahkan kepada Taufik Kiemas. Konon menjadi rahasia umum bahwa jabatan kementrian dan bahkan juga merembet jabatan direksi BUMN merupakan lahan empuk untuk mengumpulkan dana dalam menghadapi agenda pemilu lima tahun sekali itu.

Sebab itu, santer istilah di kalangan masyarakat seperti, ada lahan basah, yakni kementrian yang berpotensi memperoleh kucuran APBN trliliunan rupiah seperti, Depdiknas, Deptan, Depsos dan sebagainya, dan ada pula lahan kering seperti Mentri Negara Pemuda dan olahraga dan sebagainya.

Kacamata Islam

Sebagai Muslim, fenomena politik yang terjadi dan berkembang di negeri ini harus kita lihat dengan kaca mata Islam. Kalau tidak, kita bisa bingung melihat fenomena-fenomena politik yang paradoks dan seringkali dengan cara akrobatik itu. Kalau kita bingung, berarti pertanda kita sedang menghadapi musibah besar. Atau bisa saja tidak bingung, malah menikmatinya dan meyakini bahwa inilah kondisi yang harus kita nikmati dan kondisi ini amat menjanjikan kemenangan dakwah, Islam dan umat Islam di negeri ini.

Kalau ini yang terjadi, ingatlah, kita sedang menghadapi musibah yang lebih besar lagi. Sebab itu, sekali lagi, kita perlu menggunakan kacamata Islam dalam melihat, menimbang dan memahami apa saja yang terjadi di negeri ini, termasuk peristiwa politiknya, agar kita tidak bingung dan pada waktu yang sama kita memahami dengan benar situasi politik yang berkembang dan kecenderungannya ke depan yang banyak mempengaruhi kehidupan umat Islam sekarang dan di masa yang akan datang.

Sesungguhnya Islam tidak pernah mengajarkan kepada kita makna kekuasaan seperti apa yang dipahami dalam teori politik yang berkembang di negeri ini dan juga di negeri-negeri muslim dan non muslim lainnya. Demikian juga, dalam pandangan Islam, politik tidak identik dengan kekuasaan dan kekuasaan tidak identik dengan politik.

Islam mengajarkan bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah karena secara fakta Dialah yang menciptakan alam semesta ini dan juga manusia yang hidup di atas bumi ciptaan-Nya. (Q.S. 6 : 102, 13 : 16, 35 :3, 38 :71, 39 :62, 40 :62, 35:13, 39:6 dan 64:1). Sebab itu, kekuasaan bukanlah tujuan, akan tetapi hanya sarana ketaatan pada Allah.

Politik dalam Islam hanyalah salah satu aktivitas ibadah (penghambaan) hamba kepada Khaliq (Pencipta)-nya. Sama halnya dengan ibadah shalat, infaq, jihad dan sebagainya. Sebab itu, politik tidaklah segala-galanya. Ia hanya salah satu dari sekian banyak aktivitas ibadah kepada Allah.

Sebab itu, Politik haruslah didasari Iman, ilmu dan akhlak serta tidak boleh menghalalkan segala cara. Semua hal terkait politik, prinsip-prinsipnya, metodenya, strateginya, target/tujuannya dan juga dana aktivitasnya harus tunduk dan taat pada ketentuan Allah dan Rasul-Nya. (Q.S 3 : 32, 4:59, 8:20, 24:54 dan 47:33).

Bila kekuasan dipahami sebagai kekuasaan mutlak (power full) dan memiliki kekuasaan tertinggi (supremacy) dalam menentukan segala urusan negara, pemerintahan, sistem hidup bagi manusia yang ada di dalamnya sehingga mengenyampingkan peran Allah dan Rasul-Nya, maka kekusaan dalam pengertian tersebut adalah awal dan sumber utama malapetaka politik dalam kehidupan umat manusia, karena bertentangan dengan prinsip-prisip keimanan yang yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, (Q.S. 5:44, 45, 47, 49, 50, dan 4 : 65).

Pemahaman kekuasaan seperti itu juga akang mendorong para politisi untuk menjadi penguasa dengan segala cara serta kekuasaan akan menjadi tujuan utama dalam kegiatan politik mereka. Dalam Islam, kekuasaan bukanlah tujuan, akan tetapi alat untuk mewujudkan ketaatan pada Allah dalam berbagai aspek kehidupan yang telah diatur sistemnya oleh Allah dan Rasul-Nya dalam rangka mencapai kebaikan di dunia dan keselamatan akhirat kelak, yakni terhindar dari neraka.

Pemahaman seperti itu juga menuntut para politisi Muslim memahami dan meyakini bahwa politik itu salah satu sarana ibadah kepada Allah dan tidak bertujuan untuk mencapai kepentingan duniawi dalam bentuk apapun, sama halnya dengan ibadah-ibadah lain seperti shalat, infaq, shaum, jihad dan sebagainya. Kalau tidak, sebesar apapun pencapaian politiknya, seperti menguasai mayoritas kursi parlemen dan menjadi presiden sekalipun tidak akan berguna di mata Allah dan hanya akan menyebabkan kerugian di dunia dan sengsara di akhirat kelak. (Q.S. 9: 31, 98:5 dan 39 :65-67).

Kepala Negara

Salah satu mathlab (tuntutan) ibadah politik dalam Islam ialah agar terpilihnya seorang kepala negara. Dalam politik Islam bahwa keberadaan seorang kepala atau peminpin negara bagi umat Islam, apakah namanya Imam A’zham, Khalifah atau sebutan lain yang masih dalam koridor debatable para ulama, merupakan suatu kewajiban.

Kepemimpinan bukan sesuatu hal yang boleh ada dan boleh tidak. Artinya, kalau tidak ada pemimpin maka semua umat Islam berdosa, seperti yang dijelaskan Imam Al-Mawardi dalam buku politiknya yang fenomenal “al-Ahkam as-Shulthaniyyah” : Imamah (kepemimpinan tertinggi umat Islam) diangkat untuk menggantikan kepemimpinan Nabi yang bertugas memelihara agama Islam dan mengatur atau memenej urusan dunia. Mengangkat orang yang mampu menjalankan tugas kepemimpinan tersebut dari kalangan umat Islam hukumnya adalah wajib secara ijma’ (aklamasi), kendati orang yang tuli tdiak sepakat dengannya”. (al-Ahkam as-Shulthaniyyah, hal. 3)

Jika pemilihan dan pengangkatan pemimpin atau kepala Negara itu wajib, maka timbul berbagai pertanyaan berikut : Pemimpin seperti apa yang dimaksudkan wajib itu? Bagaimana cara pemilihannya? Apa saja kriterianya? Kedudukan kepemimpinannya apakah mutlak (power full) dalam menentukan sistem hidup bagi manusia, khususnya bagi kaum Muslimin?

Atau hanya pelaksana bagi sistem hidup yang telah Allah tentukan dan Rasul Saw contohkan bagi umat manusia? Atau dengan kata lain, apakah pemimpin negara dan segala lembaga tinggi Negara berhak menentukan dan menyusun sistem hidup bagi kaum Muslimin? Atau mereka hanya sebagai pelanjut kepemimpinan dan sistem Islam yang telah diterapkan Rasul Saw dan umat Islam sekitar 13 abad lamanya?

Masalah lain adalah, apakah kepemimpinan tertinggi bagi umat Islam seperti itu berlaku untuk semua kaum Muslimin di seluruh penjuru negeri Islam? Atau cukup hanya terbatas pada kepemimpinan lokal bagi setiap komunitas atau negara-negara kecil kaum Muslimin sebagai hasil pengkaplingan yang dilakukan oleh para penjajah Barat seperti yang kita lihat sekitar satu abad belakangan?

Sebab, sejak kepemimpinan Rasul Muhammad Saw dan sampai sebelum tahun 1924 dengan segala pasang surutnya, yakni saat masih tegaknya sistem pemerintahan Islam dunia dan sampai Khilafah Usmaniyah yang berpusat di Turki, umat Islam di seluruh penjuru dunia hanya mengenal satu pemimpin tertinggi yang mereka namakan dengan Khalifah.

Selama itu pulalah sistem kepemimpinan umat Islam tidak mengenal sistem nasionalisme sempit seperti yang kita lihat saat ini sebagai hasil indoktrinasi sesat yang dilakukan oleh para penjajah Barat atas umat Islam selama mereka dijajah. Indonesia tercatat dalam sejarah yang paling lama dijajah Barat yakni Belanda sekitar 3.5 abad dan kemudian oleh Jepang 3.5 tahun.

Persoalan-persoalan lain yang tak kalah pentingnya dan telah diterapkan dengan begitu baik dan indah sepanjang sejarah umat Islam sejak kepemimpinan Nabi Muhammad Saw sampai Khilafah Usmaniyah runtuh pada tahun 1924 ialah pola hubungan antara kaum Muslimin mayoritas dan non Muslim yang minoritas yang sama-sama tinggal dalam pemerintahan Islam. Kemudian bagaimana pula pola hubungan antara pemerintahan Islam dengan pemerintahan non Islam di penjuru dunia ini, atau apa yang disebut dengan sistem politik internasional pemerintahan Islam.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas dan sejenisnya akan terjawab dengan tuntas dalam khazanah politik Islam yang luar biasa yang bernama Siyasah Syar’iyyah. Khazanah politik Islam tersebut tercatat dengan baik dan rinci dalam puluhan buku, dan mungkin juga ratusan buku politik yang ditulis oleh para ulama Islam sepanjang masa, dari Salaf sampai Khalaf dan dari masa Sahabat sampai masa moderen sekarang ini.

Dari catatan pengalaman politik umat Islam sekitar 13 abad itu, tampak dengan jelas keistimewaan sistem politk Islam di antara sistem-sistem politik lainnya. Di antaranya, seperti yang dijelaskakan Imam Al-Mawardi di atas bahwa pengangkatan pemimpin negara bertujuan memelihara kebenaran nilai ajaran Islam dan penerapannya dalam semua aspek kehidupan dan pada waktu yang sama harus pula concern dan mampu memenej urusan dunia, baik ekonomi, teknologi dan sebagainya. Dengan kata lain, baru dinamakan pemimpin umat Islam jika semua aktivitas politik yang dilakukannya sesuai dengan ajaran Islam dan bertujuan untuk keselamatan dunia dan akhirat.

Jika tidak, ketahuilah pemimpin tersebut hanya pemimpin politik pragmatis kapitalis yang akan menguntungkan para elit politik tertentu dan tidak akan membawa kepada keselamatan umat di dunia dan akhirat, kendati dibalut dengan baju Islam dan didukung oleh semua partai Islam. Apatah lagi jika baju Islam itu hanya sebatas merek dan dukungan partai-partai Islam itu hanya bertujuan mencari keselamatan diri dan keuntungan jangka pendek lainnya.

Antara Menteri dan Pembantu

Jika pemimpin Negara dalam politik Islam begitu mulia dan strategis, maka bagaimana pula dengan para menterinya? Imam Abul Hasan Al-Mawardi menjelaskan bahwa menteri (wazarah) itu terbagi dua, yakni wazarah tafwidh dan wazarah tanfidz. Wazarah tafwidh ialah seorang Imam atau pemimpin Negara menyerahkan kepada seseorang untuk mengatur berbagai urusan berdasarkani pendapat dan ijtihadnya, secara independen.

Wazarah atau kementerian seperti itu tidak terlarang sebagaimana yang Allah ceritakan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam : jadikanlah bagiku seorang menteri/wazir dari keluargaku, yakni Harun, saudaraku, kuatkanlah dengannya urusana/kekuatanku, dan ikutkanlah dia dalam (memutus) urusanku. (Q.S. 20 : 29 – 32).

Imam Al-Mawardi meneruskan : “ jika dalam kenabian saja dibolehkan, maka dalam imamah (kepemimpinan) tentu lebih dibolehkan lagi, karena manajemen umat yang dibebankan kepada sang Imam atau Pemimpin tidak mungkin mampu dia handle semuanya kecuali dengan adanya pendelegasian tugas kepada wazir atau menteri yang menyertainya dalam mengatur semua urusan Negara, demikian juga dengan bantuan sang menteri dalam implementasinya tentu lebih baik (maksimal) ketimbang (kepala negara) itu sendiri saja. Maka syarat-syaratnya mirip dengan syarat seorang Imam (pemimpin)”. Barangkali, wizarah tafwidh yang dijelaskan Imam Al-Mawardi ini mirip dengan apa yang kita kenal dengan sebutan Perdana Menteri dalam sistem politik parlementer.
.
Adapun wazarah tanfizh ialah : “ maka status kekuasaannya lebih lemah dan syarat-tnya lebih sedkit (ketimbang wazarah tafwidh), karena pendapatnya terbatas pada pendapat Imam dan pengaturannya. Menteri seperti ini juga berfungsi sebagai penyelia antara Imam dengan rakyat dan para pemimpin wilayah (gubernur). Ia melaksanakan apa yang diperintahkan dan merealisasikan apa yang diingatkan serta apa yang diputuskan oleh sang Imam.

Dia harsus melaporkan pengangkatan para pemimpin wilayah, persiapan pasukan (perang). Ia juga harus mengajukan hal-hal yang dilihatnya urgent dan perkembangan-perkembangan baru secara komprehensif, agar dia dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Imam atasnya. Sebab itu, posisinya adalah pembantu dalam pelaksanaan urusan-urusan, bukan sebagai yang memiliki urusan dan tidak pula sebagai pemangku urusan.”

Lalu, apa saja syarat wazarah tanfidz tersebut? Al-Mawardi menjelaskan tujuh kriteria yang harus terpenuhi :

  1. Amanah agar ia tidak berkhianat terhadap amanah yang diberikan padanya dan tidak memanipulasi hal-hal yang dimintai pendapatnya.
  2. Jujur tutur katanya agar dia dapat dipercaya atas laporannya dan melaksanakan apa yang katakannya.
  3. Tidak tamak atas dunia agar dia terhindar dari korupsi dan risywah (sogok-menyogok) serta tidak mudah tertipu sehingga memudah-mudahkan urusan dan tanggung jawabnya.
  4. Terhindar dari konflik kebencian dan permusuhan antara dia dengan masyarakat karena kebencian dan permusuhan itu menghambat hubungan harmonis dan saling mencintai.
  5. Laki-laki, karena ia menjalankan tugas yang diembankan pemimpin padanya dan tugas dirinya sendiri dan akan menanggung konsekuensi baik dan buruk atas perbuatannya.
  6. Cerdas dan cakap sehingga mampu membaca perkara pelik sekalipun agar terhindar dari kerancuan masalah/berfikir.
  7. Tidak boleh dari kalangan yang memperturutkan hawa nafsu, karena hawa nafsu akan memalingkannnya dari kebenaran (al-haq) kepada kebatilan (al-bathil) dan samar baginya mana yang menegakkan kebenaran dan mana yang menegakkan kebatilan. Hawa nafsu juga akan menipu akalnya dan memalingkannya dari profesionalisme. (al-Ahkam as-Shulthaniyyah)

Nah, berdasarkan apa yang dijelaskan Imam Al-Mawardi di atas, timbul pertanyaan mendasar berikut : Apa perbedaan menteri dalam politik Islam dengan menteri yang diumumkan Presiden SBY dan dilantiknya Kamis 22/10/2009? Banyak sekali perbedaannya.

Namun yang paling sensitif dan krusial yang harus direnungkan dalam-dalam oleh para meneteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, khususnya yang dari kalangan partai-partai Islam ialah bahwa menteri dalam politik Islam baik wazarah tafwidh maupun wazarah tanfizh adalah menjalankan amanah kepemimpinan Islam dan menjadi perpanjangan kepemimpinan Rasul Saw yang semua sistem hukum dalam kehidupan bersumberkan keputusan wahyu yang Allah turunkan dan ridhai dalam mencapai kesuksesan hidup dunia dan sekaligus akhirat.

Dalam sistem politik yang sedang berlaku di Indonesia saat ini apakah terpenuni hal tersebut dan apakah ada jaminan keselamatan dunia dan akhirat?

Sebab itu, kedudukan menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II yang baru saja dilantik, persis seperti yang sering dikatakan para pakar politik, yakni murni sebagai pembantu Presiden terpilih melalui sebuah pemilu dan memiliki kekuasaan absolute yang dibalut dengan istilah ‘hak perogratif presiden’.

Sudah dapat dipastikan, kebanyakan keputusan dan kebijakannya, kalau tidak bisa dikatakan semuanya, tidak akan berdasarkan kehendak dan keridhaan Allah.

Di era Orde Baru, terkenal istilah ‘asal Bapak senang’. Lalu, sesungguhnya apa fungsi para menteri dari kalangan partai-partai Islam? Allahul musta’an…..