Apakah Benar Demokrasi itu Sistem Kufur?

Assalamu’alaikum..

Apakah benar Ustadz, bahwa demokrasi itu distem kufur? Lalu bagaimana sistem pemerintahan yang sesuai dengan Sunnah Rasul SAW? Adakah negara yang menerapkannya sekarang? Jazakumulloh Khoiron Katsiro.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Saat ini umat Islam dihadapkan pada kenyataannya bahwa khilafah Islamiyah yang tadinya besar itu telah dipecah-pecah oleh penjajah menjadi negeri kecil-kecil dengan sistem pemerintahan yang sekuler. Namun mayoritas rakyatnya Islam dan banyak yang masih berpegang teguh pada Islam. Sedangkan para penguasa dan pemegang keputusan ada di tangan kelompok sekuler dan kafir, sehingga syariat Islam tidak bisa berjalan. Karena mereka menerapkan sistem hukum yang bukan Islam dengan format sekuler dengan mengatasnamakan demokrasi.

Meski prinsip demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan trias politikanya, namun tidak selalu semua unsur dalam demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bila kita jujur memilahnya, sebenarnya ada beberapa hal yang masih sesuai dengan Islam. Beberapa di antaranya yang dapat kami sebutkan antara lain adalah:

  • Prinsip syura (musyawarah) yang tetap ada dalam demokrasi meski bila deadlock diadakan voting. Voting atau pengambilan suara itu sendiri bukannya sama sekali tidak ada dalam syariat Islam.
  • Begitu juga dengan sistem pemilihan wakil rakyat yang secara umum memang mirip dengan prinsip ahlus syuro.
  • Memberi suara dalam pemilu sama dengan memberi kesaksian atas kelayakan calon.
  • Termasuk adanya pembatasan masa jabatan penguasa. Sistem pertanggung-jawaban para penguasa itu di hadapan wakil-wakil rakyat.
  • Adanya banyak partai sama kedudukannya dengan banyak mazhab dalam fiqih.

Namun memang ada juga yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, yaitu bila pendapat mayoritas bertentangan dengan hukum Allah. Juga praktek-praktek penipuan, pemalsuan dan penyelewengan para penguasa serta kerjasama mereka dalam kemungkaran bersama-sama dengan wakil rakyat. Dan yang paling penting, tidak adanya ikrar bahwa hukum tertinggi yang digunakan adalah hukum Allah SWT.

Namun sebagaimana yang terjadi selama ini di dalam dunia perpolitikan, masing penguasa akan mengatasnamakan demokrasi atas pemerintahannya meski pelaksanaannya berbeda-beda atau malah bertentangan dengan doktrin dasar demokrasi itu sendiri.

Sebagai contoh, dahulu Soekarno menjalankan pemerintahannya dengan gayanya yang menurut lawan politiknya adalah tiran, namun dengan tenangnya dia mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya dengan demokrasi terpimpin.

Setelah itu ada Soeharto yang oleh lawan politiknya dikatakan sebagai rezim yang otoriter, namun dia tetap saja mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya demokrasi pancasila. Di belahan dunia lain kita mudah menemukan para tiran rejim lainnya yang nyata-nyata berlaku zali dan memubunuh banyak manusia tapi berteriak-teriak sebagai pahlawan demokrasi. Lalu sebenarnya istilah demokrasi itu apa?

Istilah demokrasi pada hari ini tidak lain hanyalah sebuah komoditas yang sedang ngetrend digunakan oleh para penguasa dunia untuk mendapatkan kesan bahwa pemerintahannya itu baik dan legitimate. Padahal kalau mau jujur, pada kenyataannya hampir-hampir tidak ada negara yang benar-benar demokratis sesuai dengan doktrin dasar dari demokrasi itu sendiri.

Lalu apa salahnya di tengah ephoria demokrasi dari masyarakat dunia itu, umat Islam pun mengatakan bahwa pemerintahan mereka pun demokratis, tentu demokrasi yang dimaksud sesuai dengan maunya umat Islam itu sendiri.

Kasusnya sama saja dengan istilah reformasi di Indoensia. Hampir semua orang termasuk mereka yang dulunya bergelimang darah rakyat yang dibunuhnya, sama-sama berteriak reformasi. Bahkan dari sekian lusin partai di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang tidak berteriak reformasi. Jadi reformasi itu tidak lain hanyalah istilah yang laku dipasaran meski -bisa jadi- tak ada satu pun yang menjalankan prinsipnya.

Maka tidak ada salahnya pula bila pada kasus-kasus tertentu, para ulama dan tokoh-tokoh Islam melakukan analisa tentang pemanfaatan dan pengunaan istilah demokrasi yang ada di negara masing-masing. Lalu mereka pun melakukan evaluasi dan pembahasan mendalam tentang kemungkinan memanfaatkan sistem yang ada ini sebagai peluang menyisipkan dan menjalankan syariat Islam.

Hal itu mengingat bahwa untuk langsung mengharapkan terwujudnya khilafah Islamiyah dengan menggunakan istilah-istilah baku dari syariat Islam mungkin masih banyak yang merasa risih. Begitu juga untuk mengatakan bahwa ini adalah negara Islam yang tujuannya untuk membentuk khilafah, bukanlah sesuatu yang dengan mudah terlaksana.

Jadi tidak mengapa kita sementara waktu meminjam istilah-isitlah yang telanjur lebih akrab di telinga masyarakat awam, asal di dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada aturan dan koridor syariat Islam. Bahkan sebagian dari ulama pun tidak ragu-ragu menggunakan istilah demokrasi, seperti Ustaz Abbas Al-`Aqqad yang menulis buku Ad-Dimokratiyah fil Islam. Begitu juga dengan ustaz Khalid Muhammad Khalid yang malah terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi itu tidak lain adalah Islam itu sendiri.

Semua ini tidak lain merupakan bagian dari langkah-langkah kongkrit menuju terbentuknya khilafah Islamiyah. Karena untuk tiba-tiba melahirkan khilafah, tentu bukan perkara mudah. Paling tidak, dibutuhkan sekian banyak proses mulai dari penyiapan konsep, penyadaran umat, pola pergerakan dan yang paling penting adalah munculnya orang-orang yang punya wawasan dan ekspert di bidang ketata-negaraan, sistem pemerintahan dan mengerti dunia perpolitikan.

Dengan menguasai sebuah parlemen di suatu negara yang mayoritas muslim, paling tidak masih ada peluang untuk ‘mengIslamisasi’ wilayah kepemimpinan dan mengambil alihnya dari kelompok anti Islam. Dan kalau untuk itu diperlukan sebuah kendaraan dalam bentuk partai politk, juga tidak masalah, asal partai itu memang tujuannya untuk memperjuangkan hukum Islam dan berbasis masyarakat Islam. Partai harus ini menawarkan konsep hukum dan undang-undang Islam yang selama ini sangat didambakan oleh mayoritas pemeluk Islam. Dan di atas kertas, hampir dapat dipastikan bisa dimenangkan oleh umat Islam karena mereka mayoritas. Dan bila kursi itu bisa diraih, paling tidak, secara peraturan dan asas dasar sistem demokrasi, yang mayoritas adalah yang berhak menentukan hukum dan pemerintahan.

Umat Islam sebenarnya mayoritas dan seharusnya adalah kelompok yang paling berhak untuk berkuasa untuk menentukan hukum yang berlaku dan memilih eksekutif (pemerintahan). Namun sayangnya, kenyataan seperti itu tidak pernah disadari oleh umat Islam sendiri

Tanpa adanya unsur umat Islam dalam parlemen, yang terjadi justru di negeri mayoritas Islam, umat Islammnya tidak bisa hidup dengan baik. Karena selalu dipimpin oleh penguasa zalim anti Islam. Mereka selalu menjadi penguasa dan umat Islam selalu jadi mangsa. Kesalahannya antara lain karena persepsi sebagian muslimin bahwa partai politik dan pemilu itu bid`ah. Sehingga yang terjadi, umat Islam justru ikut memilih dan memberikan suara kepada partai-partai sekuler dan anti Islam.

Karena itu sebelum mengatakan mendirikan partai Islam dan masuk parlemen untuk memperjuangkan hukum Islam itu bid`ah, seharusnya dikeluarkan dulu fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila memberikan suara kepada partai non Islam. Atau sekalian fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila hidup di negeri non-Islam. Partai Islam dan Parlemen adalah peluang Dakwah: Karena itu peluang untuk merebut kursi di parlemen adalah peluang yang penting sebagai salah satu jalan untuk menjadikan hukum Islam diakui dan terlaksana secara resmi dan sah. Dengan itu, umat Islam punya peluang untuk menegakkan syariat Islam di negeri sendiri dan membentuk pemerintahan Islam yang iltizam dengan Al-Quran dan Sunnah.

Tentu saja jalan ke parlemen bukan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam, karena politik yang berkembang saat ini memang penuh tipu daya. Lihatlah yang terjadi di AlJazair, ketika partai Islam FIS memenangkan pemilu, tiba-tiba tentara mengambil alih kekuasaan. Tentu hal ini menyakitkan, tetapi bukan berarti tidak perlu adanya partai politik Islam dan pentingnya menguasai parlemen. Yang perlu adalah melakukan kajian mendalam tentang taktik dan siasat di masa modern ini bagaimana agar kekuasaan itu bisa diisi dengan orang-orang yang shalih dan multazim dengan Islam. Agar hukum yang berlaku adalah hukum Islam.

Selain itu dakwah lewat parlemen harus diimbangi dengan dakwah lewat jalur lainnya, seperti pembinaan masyarakat, pengkaderan para teknokrat dan ahli di bidang masing-masing, membangun SDM serta menyiapkan kekuatan ekonomi. Semua itu adalah jalan dan peluang untuk tegaknya Islam, bukan sekedar berbid`ah ria.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.