Dan Mbah Maridjan pun Meninggal

‘Tiap-tiap yang yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu kembali’ (Surah Al-Ankabut: 57)

Sudah sunatullah, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, apapun dan siapapun termasuk mbah Maridjan, orang yang dikenal publik sebagai juru kunci gunung Merapi. Inna lilahi wa inna ilaihi roji’uun.

“ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu”.( QS. Ali Imran : 185 )

Mbah Maridjan, sosok yang fenomenal karena ‘dianggap’ berhasil menunda letusan gunung Merapi beberapa tahun yang lalu ditemukan sudah tak bernyawa di dalam rumahnya ( kabarnya ) dalam keadaan bersujud. Wallohualam.

Beberapa hari setelah meninggalnya tokoh yang identik dengan gunung Merapi – hingga saat menyebut gunung Merapi maka yang teringat selanjutnya adalah nama mbah Maridjan, begitupun sebaliknya – muncul berbagai komentar di masyarakat, termasuk komentar teman-teman kerja yang sempat saya dengar langsung. Bagi yang simpatik dengan mbah Maridjan berpendapat bahwa meninggalnya mbah Maridjan di tempat kediamannya dalam keadaan bersujud merupakan sesuatu yang membanggakan, pengabdian yang sempurna. Tapi berbeda dengan pandangan beberapa orang lainnya yang menganggap tindakan mbah Maridjan dan beberapa tetangga serta pengikut setianya merupakan sebuah tindakan ‘konyol’ bahkan mengarah pada perbuatan bunuh diri. Wallohualam, Allah lah Yang Maha Tahu segalanya.

Terlepas dari berbagai komentar dan pandangan tentang meninggalnya mbah Maridjan dan musibah yang terjadi di Indonesia saat ini, saya lebih memilih untuk tidak memberikan penilaian berlebih. Saya tidak ingin memberikan sebuah penilaian yang seperti menghakimi, padahal tidak ada pengetahuan akan hal itu. Saya lebih melihat semua kejadian termasuk musibah yang melanda negeri ini terjadi atas izin dan kehendak Allah, dengan tujuan tertentu.

Banjir di Wasior, gempa bumi dan tsunami di Mentawai, meletusnya gunung Merapi serta beberapa musibah yang terus melanda negeri ini, tidak bisa dikatakan seluruhnya sebagai sebuah hukuman, meskipun ada keraguan jika ini masih kita anggap sebagai ujian atau teguran. Segala sesuatu terjadi atas izin dan kehendak Allah, dengan maksud dan tujuan tertentu.

Dan orang yang beruntung adalah yang bisa mengambil hikmah serta pelajaran dari setiap kejadian untuk kemudian memperbaiki diri. Andaikan ini bermakna ujian, jalani ini dengan sabar dan ikhlas. Ambil hikmah dan jadikan ini sebagai pelajaran agar tak terulang kesalahan yang sama jika ini bermakna teguran. Dan benahi diri, perbanyak istighfar serta lakukan tauabatan nasuha jika ini bermakna hukuman.

Kembali ke masalah meninggalnya mbah Maridjan yang bagi sebagian orang masih asyik dijadikan perbincangan dibanding mengambilnya sebagai pelajaran. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati, itu pasti. Siapapun orangnya, apapun pangkat, jabatan serta kedudukannya dalam masyarakat tetap akan bertemu dengan kematian.

Entah kapan, dimana dan dengan cara apa kematian akan menjemput kita, tak ada yang tahu pasti. Yang pasti terjadi adalah kita akan mati. Mati itu bukan sesuatu yang harus ditakuti, tapi dipersiapkan. Takut atau tidak, kematian akan datang dan rasa itu tidak akan mempengaruhi ‘nasib’ kita selanjutnya di akhirat kelak. Jika takut akan kehidupan setelah mati, semestinya kita mempersiapkan diri dengan bekal sebaik mungkin, sehingga kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan apapun kita siap dijemput maut. Ingat, siap tidak siap, kematian akan tetap datang, selanjutnya tergantung pada amal dan perbuatan pribadi masing-masing.

Mbah Maridjan, juga korban bencana alam lainnya, sudah ditetapkan takdirnya semenjak masih dalam kandungan. Kapan akan meninggal, dimana dan karena atau dalam keadaan bagaimana sudah ditetapkan, tak ada yang bisa merubah, menggeser atau menunda, kecuali atas kehendak Allah sendiri.

Sayang, jika ada sebagian orang yang menanggapi kematian dengan masih menyalahkan pihak-pihak tertentu, atau malah berangan-angan seandainya si fulan begini begitu pasti tidak mati sekarang, seandainya..seandainya… Astaghfirulloh, pemikiran seperti ini jelas tidak benar dan tidak akan membawa perubahaan, yang mati tetap mati bahkan yang masih hiduppun akan mati.

Mari, kita sama-sama belajar dari setiap kejadian. Kita baca pesan dan pelajaran yang Allah berikan dalam setiap kejadian – termasuk musibah. Semua terjadi atas izin dan kehendak Allah dengan sebuah maksud dan tujuan. Kalaupun musibah itu terjadi sebagai balasan atas perbuatan beberapa orang, yakinlah bahwa Allah yang mengizinkan dan berkehendak.

Dan meski yang dirasakan sama, sesungguhnya maknanya berbeda. Apakah musibah ini sebuah ujian, teguran atau hukuman, mari kita bertanya pada diri sendiri, dan jawab dengan hati.

[email protected]

http://abisabila.blogspot.com