Belajar dari Adik Kecil

Malu, udah gede baru mau punya ade’ lagi, itulah dulu perasaanku ketikaku SMA harus mempunyai lagi seorang adik. Ribet, rese, pengganggu itulah bayangan tentang seorang adik kecil yang akan hadir. Tapi sekarang, ku sangat bersyukur dikaruniai adik di usia sebesar ini, banyak hal yang bisa aku pelajari darinya.

Sebelum adikku lahir, aku cukup bandel terhadap mamaku. Yaa walaupun aku tahu surga ada di bawah telapak kaki mama, yaa walaupun aku tahu mama begitu berat ketika mengandungku 9 bulan dan melahirkanku, yaa walaupun aku tahu kasih mama sepanjang masa. Tapi kata selanjutnya dari “aku tahu”adalah “terus kenapa?”. Sepertinya “rasa tahu” itu yaa sekedar tahu, tanpa ada penghayatan atau implementasinya.

Subhanallah, hadirnya adikku ketika dikandungan mama memberikan bukti nyata kepadaku bahwa begitu besar perjuangan seorang ibu. Belum lagi ketika masa lahir tiba, aku diperlihatkan betapa hidup dan mati diperjuangkan oleh mama demi hadirnya sang buah hati. Ketika rasa sakit begitu dahsyat, ketika masa kritis terlewati, ketika badan masih tak berdaya, kalimat pertama yang diucapkannya adalah “dok bagaimana anak saya?”. Subhanallah, tak terasa air mata ini berderai, serasa tersambar petir, apa yang telah kuperbuat selama ini kepada manusia mulia yang telah melahirkanku ini. Pelajaran pertama dari adik kecil pada saat hari pertamanya di bumi Allah ini.

Adikku pun tumbuh semakin besar menjadi sikecil yang menggemaskan dan terkadang menyebalkan. Gimana tidak menyebalkan, ketika aku sedang asyik nonton acara tv kesukaanku, dia sok menemani dan selalu melontarkan pertanyaan yang mengganggu kenikmatanku menonton (hehe, dasar). “kakak kakak, kenapa bla bla bla,” terus aku jawab “yaa bla bla bla.” Tidak puas dengan jawabanku, diapun terus bertanya dan bertanya, hingga suatu saat aku sudah mulai sangat terganggu dan mmmhhh.. rasanya mau kutelan saja nih anak! (ups-bercanda, hehe), akhirnyaku cuma bisa bilang “aaah gak tahu ah gak tahu.” Terus si kecil menjawab “gak boleh gak tahu dong, kakak kan udah sekolah.” Hah! aku terkejut mendengar jawaban seorang anak berusia 2,5 tahun dan cuma bisa memandang wajah lugunya sambil narik nafas pppfffh…. Subhanallah betapa kritisnya adik kecilku ini, sampai membuatku kewalahan.

Pernah dia memberikan pertanyaan “kak, kenapa sih dede bayi bisa ada di perut mamanya?” (Hah! Ya Rabbi, gimana neranginnya coba? masa harusku jawab karena ada pertemuan ovum sama sperma sehingga terjadi pembuahan!). Belum lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, misalnya “kak kalau malam, capung tidurnya di mana kak?” (wealah meneketehe). Aku jadi teringat kalimat bijak yang berkata “Telah banyak apel yang berjatuhan dari pohonnya, tapi hanya Albert Einsten yang berkata MENGAPA?” Haaah…. pernahkah kita sekritis ini dalam hidup, pernahkah kita pantang menyerah untuk terus bertanya hal-hal yang tidak kita pahami. Terkadang kita terlalu meremehkan suatu permasalahan yang sebenarnya kita sendiri tidak paham. Sebuah pelajaran lagi dari si kecil.

Ada yang bilang perilaku anak kecil adalah seperti kaca, kita dapat melihat baik dan buruknya kita dari perilaku anak. Entah apa yang pernah ku ucapkan didepan adikku, sepertinya aku telah menginvestasi keburukan di dalam dirinya. Suatu saat aku pernah bertanya kepada adikku, kemudian dia menjawab dengan cara yang menurutku tidak menyenangkan. Lalu aku pun menegurnya “kok ade jawabnya kayak gitu,” terus adik kecilku menjawab “kakak juga pernah begitu, waktu aku tanya.” Uups! Oo Ow. Yaa begitulah kita, terlalu sibuk mengomentari sikap orang yang tidak menyenangkan padahal kita sendiri tanpa sadar melakukan hal tersebut pada orang lain. Yups! Pelajaran lagi dari si kecil.

Kini si kecil sudah masuk sekolah TKIT, sangat merepotkan karena kita semua harus turut menghapal pelajarannya. Yang lucu kalau setiap mau makan, bila tertangkap kita makan tanpa membaca do’a, pasti langsung di bilang “ayo gak baca do’a, nanti makanannya gak jadi daging,” yaa walhasil kita pun harus membaca do’a dengan mengikuti gayanya, suara keras, membaca do’a plus arti dan kata-kata dari gurunya, tidak ada yang boleh kurang sedikitpun. “AYO DIMAKAN JANGAN ADA YANG SISA”. Begitu juga kalau mau mandi, tidur, belajar, dan keluar rumah. Awalnya merepotkan, tapi pembiasaan yang bagus, kalau enggak dibeginiin kayaknya aku bakal sering lupa untuk berdo’a di setiap memulai dan mengakhiri aktivitasku. Terus, pelajaran menghapal Al-Qur’an membuat kita serumah termotivasi (sebenernya karena malu sih) untuk ikutan menghapal. Waktu itu aku sedang nonton tv (nonton melulu yak), tiba-tiba adikku muroja’ah hapalannya dan gak tanggung-tanggung ayat yang keluar dari mulutnya adalah “amma yatasaaa aluun”. Hah!! An-Naba, anak TK aja hapalannya udah An-Naba?! jleb, jlep, jess, sedangkan aku Mahasiswa Farmasi UI, Oo Ow panik, panik.

Kini adikku sudah masuk SDIT, wow lebih merepotkan lagi nih. Sekolahnya menggunakan 3 bahasa, Melayu, Arab, Inggris. Bahasa Melayu, Inggris yaaa lewatlah kecil (sombong nian, hehe) tapi Arab! (cuma tahu syukron ama afwan, udah sholeh banget kayaknya, hehe). Pernah adikku bertanya “kak kalau mau ke kamar mandi bilangnya apa?” aku jawab “maaf pak, permisi mau ke kamar kecil,” terus dia balas “aaah itu mah enggak Islami, bilangnya gini, ustadz ana attadzim illal hammam (klo aku gak salah ya, hehe),” aku langsung jawab “hah, repot amat entar keburu pipis!” (dasar, kakak yang aneh, hehe).

Setiap habis pelajaran bahasa Arab, dia selalu ngetes aku, berhubung aku agak dodol, dia fotokopiin catatannya, haduw kepalaku pusing rasanya. Tapi kalau tidak begini, kayaknya aku gak bakal pernah berniat belajar bahasa Arab, hehe parah. Pas mau ujian, semua orang dirumah kalang kabut ikut-ikutan belajar dan menghapal bahasa Arab, karena adikku minta dites, yaa walhasil yang mau ngeteskan juga harus hapal bahasa Arab. Haduw, baru kelas 1 saja sudah mau pecah rasanya kepalaku, apalagi nanti kelas 2, 3, 4, 5, dan 6 wuuaaah! Tapi Alhamdulillah, sekarang di rumah sedikit-sedikit ngomong bahasa Arab-lah (gaya banget, hehe), ya walaupun cuma bilang, na’am, ishbir, laa, halas, syukron, tafadhol, akhina, ukhtun.

Subhanallah banyak hal yang berubah dari kehadiran si Kecil yang hobi banget ama nangis. Teringat kalimat bijak dari Dorothy Law Nolte:

Kalau seorang anak hidup dengan kritik, ia akan belajar menghukum Kalau seorang anak hidup dengan permusuhan, ia akan belajar kekerasan Kalau seorang anak hidup dengan ketentraman, ia akan belajar tentang iman Kalau seorang anak hidup dengan persahabatan, ia belajar untuk mencintai dunia.

Kupersembahkan untuk adikku cayank Muhammad Faris Farhan (I May Not Tell I Care About. But Deep Inside I always Do!)