Bosnia 1995 (Renunganku)

Menjelang bulan suci Ramadhan ini, saya teringat dengan kejadian pada September 2007. Saat itu, ada salah seorang rekan kami yang akan dikirim ke Sarajevo, Bosnia, untuk meliput kegiatan Ramadhan warga di sana. Sayang, dia tidak jadi meliput karena mengalami masalah saat transit di Bangkok.

Ketika itu, dia bermaksud melanjutkan penerbangan ke Austria untuk transit sebelum menuju ke Sarajevo. Namun, pihak bandara di Bangkok justru memeriksa ketat paspor dan visa rekan saya tersebut. Hal yang diskriminatif. Pasalnya, di antara puluhan calon penumpang Austrian Airlines, hanya dia yang diperiksa. Apakah karena dia orang Indonesia? Entahlah.

Namun, berbicara tentang Bosnia, saya sangat bersyukur mendengar Radovan Karadzic telah tertangkap pada 22 Juli 2008 setelah 13 tahun buron. Bukan apa-apa, dia adalah tokoh keji yang mengakibatkan ratusan ribu muslim Bosnia tewas dalam Perang Bosnia (1992-1995). Sedangkan ratusan ribu warga muslim Bosnia lainnya dikabarkan hilang.

Karadzic adalah mantan presiden Serbia-Bosnia yang merancang dan memerintahkan perang di daratan Eropa yang paling mengerikan sejak Perang Dunia II. Saat perang tersebut mulai berkecamuk (1992), saya masih SD. Namun, kelak sekian tahun kemudian, saya mulai menyadari betapa kejam tindakan Karadzic dan Jenderal Ratko Mladic yang masih belum tertangkap.

Saya sedikit tahu tentang tokoh ini dari literatur asing yang saya baca. Saya begitu geram saat membaca ulang tentang peristiwa Srebrenica pada Juli 1995. Dalam peristiwa tersebut, sekitar 8.000 pria muslim Bosnia yang tak berdaya tanpa senjata dibantai tentara Serbia. Pembantaian itu terjadi setelah tentara Serbia menerobos penjagaan tentara PBB asal Belanda yang bertugas melindungi pengungsi muslim Bosnia di sana.

Selanjutnya, jasad para warga muslim tersebut dibuldoser dan dikuburkan dalam satu lubang besar. Masya Allah. Perang telah mengoyak hati saudara-saudara muslim nun jauh di sana. Mereka juga kehilangan sanak saudara dan harta benda. Perang Bosnia memang telah lama berakhir.

Namun, sisa-sisa kepedihan itu tentu masih ada. Lalu, benak saya terbawa pada perjuangan kaum muslimin di Palestina. Negeri mereka dilanda perang dan pertikaian yang tak kunjung usai melawan Israel. Darah selalu tumpah setiap hari di konflik Timur Tengah. Malam-malam di kantor setelah deadline, saya membalik kembali lembaran-lembaran buku tentang amalan hati. Secangkir kopi dan bulan sabit di balik kaca kantor menghangatkan suasana dini hari itu.

Saya bergumam lirih, ”Alhamdulillah saya berada di negeri yang merdeka.” Tertitip doa untuk saudara-saudara kami, kaum muslimin Bosnia dan Palestina. Semoga perjuangan mereka menjadikan cerminan bagi bangsa ini agar kita selalu bersyukur kepada Allah. Tidak terus menodai kemerdekaan dengan sikap amoral yang tercela. [email protected]