Isyarat Tanaman Padi

Hari itu, Senin 16 Oktober 2006 bertepatan dengan 23 Ramadhan 1427 H, selepas menjadi imam shalat subuh di sebuah masjid di kompleks Kranggan Permai Bekasi, aku bergegas pulang ke rumah untuk persiapan berangkat kerja. Langkahku terhenti oleh seorang laki-laki muda bergamis putih yang tiba-tiba mendekat dan menghampiriku di pintu keluar masjid.

“Assalamu’alaikum” ucapnya lirih sambil mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tanganku.

“Wa’alaikum salam” jawabku seraya menjabat erat tangannya.

Sejenak aku pandangi orang tersebut sambil mencoba mengingat siapakah dia. Apakah dia sahabat lamaku yang sudah sekian tahun tidak bertemu? Ataukah dia salah seorang jamaah masjid yang sudah lama pergi merantau dan kini kembali lagi?

Ternyata bukan. Dia sama sekali belum aku kenal. Bahkan bertemu dengannya pun aku baru kali ini. Sekilas dari raut mukanya yang bersih dan berjanggut tipis, tampaklah keteduhan dan keshalihan di wajahnya. Yaa… ada tanda-tanda bekas sujud yang mendalam di wajahnya.

“Ustadz.., bisakah meluangkan waktu sejenak untuk menyimak hafalanku juz 30?” ujarnya kepadaku yang sampai saat itu masih menerka-nerka siapakah gerangan anak muda ini. Ditambah lagi perasaanku menjadi kurang enak karena dia memanggilku Ustadz, suatu panggilan yang teramat tinggi dan masih sangat jauh kepantasannya untukku.

“Maaf Akhi, antum ini siapa dan dari mana? “ jawabku padanya sambil mencoba bertanya tentang identitasnya. Ternyata dugaanku tidak salah, pemuda yang berumur kurang lebih 25 tahun itu memang baru kali itu datang dan bershalat jamaah di masjid tersebut. Namanya Muhammad Utsman, dia berasal dari Pulau Bangka, Sumatra. Kedatangannya kemari untuk bersilaturrahim dengan salah satu kakaknya yang tinggal di komplek perumahan itu juga.

“Saya ini punya hafalan juz 30, tapi sudah lama tidak disetor, jadi takut lupa” katanya kemudian. Sebelum memenuhi permintaannya aku sempat bertanya dalam hati benarkah dia bermaksud menyetor hafalan Qurannya? Karena aku yakin, aku bukanlah orang yang tepat bagi dia untuk menyetorkan hafalannya. Masih banyak orang lain yang lebih pantas dan lebih pas untuk itu.

Aku mencoba menghindar dan mencoba bertanya mengapa dia meminta hal itu kepadaku. Dia menjelaskan bahwa dia mengenalku dan mendengar bacaan sholatku ketika aku menjadi imam sholat subuh dan dia sebagai makmum.

Akhirnya walaupun dengan berat hati, namun dengan niat fastabiqul khairat, permintaan itu aku sanggupi setelah sholat maghrib nanti sore. Sore hari setelah berbuka puasa, kami bertemu kembali di masjid itu untuk sholat maghrib berjamaah.

Namun karena waktu maghrib itu terasa sangat sempit dan kebetulan malam itu aku ada jadwal kultum ba’da solat tarawih, maka janji itu belum dapat terpenuhi dan aku minta waktu di lain hari. Sepanjang malam itu dan hari-hari berikutnya sebelum kami bertemu kembali, aku selalu teringat akan anak muda itu. Terasa ada energi yang begitu kuat yang memaksaku untuk lebih giat membaca dan mengulang-ulang kembali bacaan dan hafalan Quran-ku yang sudah mulai banyak hilang.

Dan itulah memang yang sering terjadi, kita mudah untuk menghafal Al-Quran, tetapi akan sangat lebih mudah lagi Al-Quran itu hilang dari ingatan kita. “Astaghfirullahal ‘Adzim” ucapku lirih. Kita patut bersyukur kepada Allah SWT, dikala tingkat keimanan terasa menurun yang salah satunya ditandai dengan mulai hilangnya sedikit demi sedikit hafalan Quran kita, Allah SWT memberikan tadzkirah (peringatan) agar kita lebih dekat dan mesra lagi dengan Al-Quran. Kali ini Allah SWT memberikannya melalui anak muda itu.

Lima hari kemudian, saat yang telah kami sepakati berdua telah tiba. Setelah sholat subuh di masjid itu juga dengan mengambil salah satu sudut masjid yang agak sepi, kami mulai menghafal dan menyimak Al-Quran dimulai dari juz 30. Satu persatu mulai dari surat An-Naba’ dia lafalkan dengan lancar. Subhanallah.. bacaannya, makhraj dan tajwidnya dilantunkan dengan tartil menambah syahdunya pagi di bulan Ramadhan itu. Hingga tak terasa 30 menit telah berlalu, dan juz 30 itu pun telah diselesaikannya dengan lancar. Kemudian kami berbincang-bincang lebih mendalam tentang latar belakang dan aktivitas dia.

Dari pembicaraan itulah kuketahui bahwa dia lulus dari pesantren program tahfidz (menghafal) Al-Quran di daerah Ciledug, Jakarta. Bukan hanya juz 30 yang telah dia hafal melainkan 30 juz. Subhanallah….

Selama pembicaraan kami, tidak tampak adanya rasa kebanggaan berlebih pada dirinya, apalagi sikap tinggi hati, sama sekali tidak ada dalam dirinya. Bahkan dalam menanggapi suatu masalah, sikapnya selalu rendah hati namun penuh semangat, optimis dan tawakkal pada Allah.

Dan itulah yang seharusnya terjadi, semakin kita berinteraksi dengan Al-Quran, semakin kita dekat dengan Al-Quran, maka semakin rendahlah kita di hadapan Allah SWT. Tidak ada sesuatu yang patut kita banggakan apalagi kita sombongkan, karena kebesaran hanyalah milik Allah semata. Al-Quran bukanlah suatu hiasan yang kita taruh di atas lemari, Al-Quran bukanlah hanya suatu mahar yang kita kenang saat pernikahan saja, dan Al-Quran bukanlah sesuatu yang disakralkan ketika seseorang diambil sumpahnya. Melainkan Al-Quran adalah sumber inspirasi kita, way of life, pedoman hidup kita sehari-hari mulai dari bangun tidur sampai kita tidur lagi.

Pada pertemuan kami pagi itu, terasa ada kesejukan yang begitu mendalam meliputi hati ini. Benarlah apa yang dikatakan oleh para Ustadz seperti yang terdapat dalam sebuat lagu hits yang dibawakan oleh Opick bahwa obat hati itu ada 5 perkara, di antaranya adalah membaca Quran dan maknanya serta selalu berkumpul dengan orang-orang shalih. Salah satu sifat orang shalih adalah sebagaimana diisyaratkan oleh tanaman padi yaitu semakin berisi semakin merunduk. Semakin tinggi ilmu (dien-nya), maka semakin tawadu’ kepada sesama dan semakin dekat kepada Allah SWT.

Di akhir pertemuan, sebelum kami berpisah karena siang hari nanti dia akan pulang kembali ke Pulau Bangka, aku ucapkan “ Sebenarnya, …. Antum-lah guru saya, Antum lebih pantas mendapat panggilan Ustadz “.

[email protected]