Lelaki Paling Responsif

Setiap kali bertemu dengan lelaki ini, selalu saja aku teringat dengan segala yang telah ia lakukan untukku. Untuk kami, keluargaku. Dan satu kalimat yang mewakili dirinya adalah: ia lelaki paling responsif yang pernah kukenal.

Ketika awal-awal menikah, aku belum sempat mencari rumah kontrakan di Malang buat keluarga baru kami. Aku sendiri bertempat kerja di Surabaya. Paling seminggu sekali pulang ke Malang. Belum lagi aku masih sering ditugaskan keluar kota – Banjarmasin, Balikpapan, Tarakan, Solok, Aceh – sampai-sampai aku menduga tempatku bekerja tak mau tahu kalau aku masih pengantin baru fresh from the oven.

Ketika pulang dari Banjarmasin, setelah bertugas dua minggu, sebuah rumah kontrakan yang cukup layak di belakang Rumah Sakit Syaiful Anwar sudah tersedia buat kami. Lelaki itulah yang mengeluarkan duit dari koceknya untuk nalangi biaya sewa selama dua tahun. Lima juta rupiah! Bersama dengan isterinya, ia bersepeda motor dari Bangkalan ke Malang hanya untuk membantu mencarikan tempat bernaung buat kami, bertanya dari rumah ke rumah, dan akhirnya mendapatkan rumah kontrakan itu.

“Sudahlah. Bahtiar bisa kembalikan kapan saja jika sudah punya,” katanya. “Daripada berganti-ganti penginapan, lebih baik biayanya untuk sewa rumah, kan?”

Aku masih ingat: duit itu kukembalikan lebih dari enam bulan kemudian. Itu pun dengan mengangsur.

***

Aku pernah mendapat kecelakaan di daerah Blimbing Malang; ditabrak dari belakang oleh seseorang dengan sangat kerasnya. Mobil kantor yang kukendarai akhirnya terloncat ke depan dan menabrak mobil lain di depanku. Mobil kantorku itu ringsek depan-belakang. Radiatornya bahkan pecah, sehingga tak bisa berfungsi lagi.

Aku terpaksa berurusan dengan penabrak itu ke rumahnya. Tetapi, mbuletnya minta ampun! Ia berbicara ngelantur ngalor-ngidul. Ia mengaku memiliki banyak teman di kepolisian Malang. Alih-alih mau menanggung biaya perbaikan mobilku, ia hanya mau menanggung perbaikan body depan-belakang saja yang tak seberapa.

Ketika kemudian berita itu sampai ke telinganya, lelaki itu telah berada di depan pintu kontrakan kami esok paginya. Dialah yang membantu aku menyelesaikan persoalan dengan penabrak mbulet itu. Dan dengan gaya Maduranya, akhirnya mobil itu diperbaiki atas tanggungan penabrak itu sepenuhnya.

Ketika kami boyongan ke Surabaya, lelaki itulah yang mencarikan pick-up untuk membawa barang-barang, bahkan rela menjadi keneknya. Ketika adikku yang kuliah di Malang sakit sendirian di kamar kosnya, dia pula yang – kebetulan sedang di Malang — mengantarkannya pulang ke rumah orang tuaku di Ponorogo. Ketika anak kedua kami lahir di Malang, dia dan isterinyalah yang pertama kali tiba di rumah; meski mereka tinggal di seberang laut. Dan tak terhitung berapa kali lelaki itu mencarikan pembantu rumah tangga di rumah kami, silih berganti. Ia bahkan mencarikan rewang itu hingga ke pelosok desa di daerah Sampang, Madura; dan membawanya ke Malang. Setiap lebaran tiba, ia pula yang mengantar dan menjemput rewang itu ke tempatnya. Pernah suatu kali aku mengantar mereka bersamanya. Setelah menjelajah jalan-jalan desa, mobil kami harus parkir di pinggir sawah, untuk kemudian berjalan kaki beberapa ratus meter melewati pematang dan pinggiran dangau untuk kemudian sampai ke rumah rewang kami.

Rasanya tak terhitung lagi lelaki itu hadir di sisi kami, menyingsingkan lengan bajunya membantu kami. Dan nyaris ia selalu menjadi yang pertama.

***

Hari ini, lelaki itu datang lagi. Ini semua karena ibunya anak-anak meneleponnya sehabis shubuh dan menyampaikan kabar bahwa rumah kami baru saja kemalingan. Nampaknya si Maling lewat ruang terbuka di lantai atas.

“Apa kata saya, Bahtiar,” kata lelaki itu membuka percakapan di tempat kejadian perkara. “Dulu kan sudah saya bilang, ruang terbuka ini harus ditutup pakai teralis, agar tidak dimasuki orang. Genteng rumah Bahtiar ini sangat mudah buat jalan orang, lalu meloncat melalui ruang terbuka ini, dan masuk ke rumah.”

Aku hanya bisa mengiyakan diiringi rasa bersalah. Lantas bagaimana lagi? Maling-maling itu sudah masuk ke rumah ini tanpa ada yang tahu dan mengambil tanpa merusak apa-apa. HP, kamera digital, perhiasan anak-anak, dan sejumlah uang pun raib. Cukup besar juga bagi kantong karyawan seperti diriku.

“Masih untung kalian tidur semua,” lanjutnya. “Coba kalau ada yang memergoki maling itu? Maling sekarang tak pandang bulu, Bahtiar.”

Ya, aku sangat bersyukur karena tak ada gangguan apapun terhadap kami sekeluarga. Semua terlelap saat mereka beraksi.

Sore harinya, ia sudah mengundang orang bengkel besi dan memasang teralis untuk menutup ruang terbuka itu. Tak hanya itu saja. Ia juga memesan teralis di dekat rumah Bangkalan untuk dua jendela kamar kami di lantai atas yang rawan dimasuki orang. Dan aku tak boleh mengeluarkan duit sepeserpun!

Dan malam itu, dua hari menjelang Ramadan tiba, ia membawa kedua teralis besi selebar daun jendela itu dalam pangkuan, di belakang boncengan sepeda motor isterinya, melintasi Selat Madura dan jalanan Surabaya hingga sampai ke rumah. Aku tak boleh mengambilnya sendiri di Bangkalan.

Padahal, lelaki itu sungguh berbeda dibanding enam tahun lalu. Mata nya kini sudah rabun dan tak bisa melihat jelas lagi. Tiga jari kaki kanannya sudah dipotong setahun yang lalu karena gangren yang membusuk dan tak kunjung sembuh. Wajahnya cenderung memucat seperti tak teraliri darah. Ia mengidap diabetes karena keturunan keluarga. Ibu dan saudara-saudaranya rata-rata meninggal setelah luka di tubuh mereka tak tertaklukkan.

Aku tak bisa membayangkan, bagaimana halnya jika kondisinya lagi drop dan teralis besi itu menggores kulitnya dalam perjalanan?

Setiap kali kuingatkan akan hal itu, untuk mengurangi aktivitasnya, ia selalu menjawab, “Saya tidak apa-apa, Bahtiar. Saya masih kuat. Justru dengan begini penyakit saya sembuh.”

Ia sudah melemah fisiknya dalam banyak hal kini. Tetapi, ia masih saja menjadi orang pertama yang datang mengulurkan tangan pada kami, tanpa bisa kucegah. Lelaki itu tak lain adalah ayah isteriku. Mertuaku. Kakek anak-anakku.

Setiap kali futur dan terasa bergerak lamban, aku akan teringat selalu padanya.

***