Mengingat Pemutus Kelezatan

eramuslim.com – Pemutus kelezatan, bagi Syaikh Muhammad bin Abu Bakar dalam kitab  al-Mawaidz al-Ushfuriyah adalah kematian.

Hal itu diungkapkan saat mengutip hadits Nabi yang bersumber dari Abu Said al-Khudri yang berkata bahwa satu hari Nabi memasuki tempat shalat beliau, sementara di luar terdengar riuh-rendah orang berbicara.

Nabi lalu bersabda, “Jika saja kalian sering mengingat pemutus kelezatan, pastilah kalian tidak banyak bicara seperti yang aku lihat ini. Oleh karena itu lebih seringlah mengingat pemutus kelezatan.”

Lalu Nabi melanjutkan sabda beliau, “Sungguh seseorang yang  memasuki kubur akan disambut dengan enam ucapan.

Pertama, “Aku adalah rumah keterasingan.”

Kedua, “Aku adalah rumah kesendirian.”

Ketiga, “Aku adalah rumah kesepian.”

Keempat, “Aku adalah rumah kegelapan.”

Kelima, “Aku adalah rumah tanah.”

Keenam, “Aku adalah rumah cacing.”

Selanjutnya Nabi menjelaskan, “Apabila seorang hamba yang beriman telah dikubur, maka kubur akan berkata kepadanya, “Selamat datang. Selamat datang.” Tahukah kamu, sungguh kamu adalah orang yang paling aku sukai yang berjalan di atas punggungku. Jadi hari ini aku akan mengurusmu, karena kamu telah berada di tempatku. Sebentar lagi, kamu akan menyaksikan apa yang aku perbuat untukmu.” Tak lama kubur itu diperluas sepanjang mata memandang dan dibukakan juga pintu surga bagi hamba yang beriman itu.”

Berikutnya, mengenai orang kafir di dalam kuburnya Nabi bersabda, “Apabila seorang hamba yang kafir dipendam, kubur mengucapkan, “Tidak ada selamat datang. Tidak ada selamat dating.” Tahukah kamu, sungguh kamu adalah orang yang paling aku benci yang berjalan di atas punggungku. Jadi hari ini aku akan mengurusmu, karena kamu telah berada di tempatku. Sebentar lagi, kamu akan menyaksikan apa yang aku perbuat untukmu.” Tak lama kubur menghimpit seorang hamba yang kafir itu sehingga tulang-tulang rusuknya saling bertukar posisi (yang kiri jadi di kanan dan yang kanan jadi di kiri).”

Untuk menggambarkan posisi tulang-tulang rusuk itu, Abu Said al-Khudri berkata, “Selanjutnya Nabi memberi isyarat dengan memasukkan jari-jemari beliau yang kanan ke jari-jemari beliau yang kiri”.

Artinya, himpitan kubur membuat tulang-tulang rusuk berpindah posisi, saking dahsyatnya himpitan tersebut. Inilah salah satu dari huru-hara kubur yang menimpa orang yang semasa hidupnya menentang Allah, rasul-Nya, dan orang-orang beriman.

Huru-hara kubur berikutnya adalah seperti lanjutan sabda Nabi, “Lalu Allah mendatangkan 70 ekor ular besar di mana kalau saja ular itu mengembuskan nafas di muka bumi, dapat dipastikan seluruh tumbuhan akan mati. Ular-ular itu kemudian menggigit dan mencabik-cabik hamba yang kafir itu sampai datang waktu baginya untuk dihisab. Sesungguhnya kubur itu hanyalah taman dari taman-taman surga atau satu lubang dari lubang-lubang neraka.”

Mengingat mati bisa dilakukan dalam keadaan sempit atau sibuk. Namun lebih baik lagi dilakukan dalam keadaan lapang, yakni menyiapkan waktu khusus untuk mengingat mati.

Nabi tegaskan, “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan  karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu oleh dunia (sehingga lalai akan akhirat).” (HR Ibnu Hibban).

Cara paling simpel mengingat pemutus kelezatan adalah ingat dosa, ingat mati, ingat huru-hara kubur, ingat hisab, dan ingat neraka. [Republika]