Proses, Bukan Hasil

Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Prasyaratnya adalah ikhtiar yang optimal dan do’a yang ikhlas. Hasilnya Allah yang akan menentukan. Ada yang luar biasa dalam memahami proses dan hasil. Hasil adalah konsekuensi logis dan tidak logis (baca:spiritual) dari proses yang diusahakan.

Biasanya manusia kebanyakan menilai kesuksesan dari hasil yang didapat. Berapa banyak deposito di bank, jumlah rumah, mobil yang memenuhi garasi atau luas perkebunan yang dimiliki. Penilaian logis atas keberhasilan seseorang dalam kacamata dunia. Namun, ternyata jauh lebih dalam daripada itu terdapat sebuah nilai yang dahsyat. Yaitu bahwa hasil positif dan negatif yang diberikan adalah sebuah ujian dan proses yang dijalankan-lah yang dilihat oleh Allah.

Dalam kehidupan di dunia, tidak ada hasil akhir karena hasil dari seuah proses merupakan awalan dari proses yang lain, dan begitu seterusnya hingga kematian menjemput. Oleh karena itu betapa beruntungnya manusia yang dinilai dari proses bukan hasil-nya karena jika dinilai dari hasil, maka betapa malangnya semua orang miskin di dunia. Sudah tidak sukses di dunia, amalannya pun dinilai rendah. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Segala puji bagi Allah, yang memiliki pola penilaian tertinggi dan hakiki terhadap kehidupan para hambaNya.

Ketika takdir ditetapkan aatas diri seorang manusia, dasar pemahaman ini-lah yang membuatnya mampu mengimplementasikan sikap sabar dan syukur secara proporsional. Ketakutan (khauf) dan harapan (raja’) pun berpadu dalam kerangka penghambaan yang luhur karena kesuksesan dunia itu dipergilirkan. Bersamaan dengan itu pula keimanan yang bersemayam mencapai titik kulminasi.

Penilaian bukan dilakukan pada titik ekstrim atas-bawah pada roda kehidupan, melainkan selama perputarannya menuju titik itu. Bagi seorang hamba yang memahami falsafah ini dengan benar, maka seperti tidak ada bedanya ketika ia berada di titik ekstrim manapun.

Dengan mengetahui bahwa penilaian terhadap hidup yang cuma sekali ini didasarkan pada proses maka, tiada hari tanpa melalaikan waktu. Karena proses adalah perjalanan waktu sedangkan hasil adalah waktu yang terhenti sejenak, mungkin hanya se per sekian detik saja. Sehingga produktivitas manusia akan mengalami progress yang menakjubkan. Seperti yang telah digoreskan sejarah pada masa kejayaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, di mana semua orang telah mengalami apa yang disebut kesuksesan dunia. Sampai-sampai para pemberi zakat harus mencari-cari kaum dhu’afa ke seluruh pelosok negeri.

Ikhtiar yang optimal telah dilakukan dengan memahami kedudukan proses terhadap hasil. Kini, tinggal menambahkan prasyarat kedua yaitu do’a yang ikhlas. Keikhlasan merupakan simbol penghambaan yang mendasar, bahwa Allah adalah penentu segala sesuatu. Do’a yang ikhlas bukan hanya permohonan atas sesuatu, melainkan karena itu adalah kebutuhan dasar manusia.

Manusia diciptakan dengan naluri untuk diayomi dan merasa tenang ketika ada yang menjaganya. Karena itulah manusia mutlak bermuamalah. Namun, manusia atau makhluk lain tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan ini secara tuntas. Manusia membutuhkan pengayoman dan penjagaan setiap saat dan hanya ada satu yang mampu, Allah, Yang Maha Besar.

Hal inilah yang menjadi pondasi kebutuhan manusia atas do’a. Jadi, lantunan do’a bukan sebatas permohonan melainkan sebuah eksistensi penghambaan manusia kepada Allah. Seperti yang dipahami benar oleh ’Umar bin Khathab, ’Bukan karena ingin terkabul aku berdo’a, melainkan karena aku ingin berdo’a maka aku berdo’a. Dan manakala aku mendapat ilham untuk berdoa, terkabulnya do’a itu senantiasa menyertainya’. Kebutuhan fitrah menyatu kuat dengan keyakinan ijabah menjadi syarat do’a ikhlas.
Allahu’alam.

Newspirit14@yahoo. Com