Puasa Dulu Baru Lebaran

Tak terasa bulan Ramadhan sudah memasuki minggu ketiga. Di mana seakan-akan bulan suci itu akan segera meninggalkan kita semua. Tapi sayangnya kita sebagai muslim tak menyadari itu kalau-kalau kita esok nanti takkan bisa bersua dengan bulan itu lagi. Malah ini sebaliknya kita malah memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi. Memuaskan mata dan perut kita semata. Yakni memikirkan bagaimana nanti menyambut Hari Raya Idul Fitri yang akan segera tiba. Baik itu dengan menghambur-hamburkan uang untuk membeli hal-hal serba baru.. Entah itu itu membeli pakaian baru, celana baru, sepatu baru, membuat penganan yang lezat-lezat dan sebagainya. Benar-benar konsumstif.

Ya, seperti apa yang dilakukan oleh keponakan-keponakan saya. Berbelanja untuk memenuhi perelengkapan untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri. Hal ini bisa dilihat ketika Sabtu siang kemarin kira-kira pukul 12 lewat ketika saya sedang asyik menonton acara favorit dadakan saya di bulan Ramadhan yakni acara kuliner. Acara masak-memasak di televisi. Tiba-tiba saja di luar teras rumah saya terjadi kegaduhan. Padahal saat itu saya sedang asyik menonton acara itu. Maklumlah kegiatan yang paling asyik dan enak dilakukan saat itu adalah menyaksikan acara semacam itu. Acara masak-memasak. MAKNYUSSS!!

Padahal saat itu jakun saya sedang naik-turun seperti pompa udara yang sedang dipompa. Rasanya ingin mencoba mencicipinya. Alias, air liur sudah ingin menetes. Ngiler. Tapi syukur hal semacam itu tak sampai terjadi karena saya sedang shaum. Karena keasyikan menyaksikan acara tadi saya jadi lupa diri bahwa saat itu saya sedang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Bulan yang penuh berkah dan maghfirah ini.

Akhirnya karena terganggu oleh kegaduhan di luar teras rumah saya terpaksa acara tonton-menonton saya sejenak dihentikan sambil bangkit dari tempat duduk kerajaan saya. Tak lain tak bukan kursi butut kesayangan saya ketika saya gunakan untuk menonton acara favorit di televisi. Karena penasaran ingin mencari tahu dari mana asal sumber kegaduhan itu bersumber saya pun bergegas ke luar. Ternyata kegaduhan itu ditimbulkan oleh tamu yang benar-benar tak pernah saya undang. Tamu tak diundang itu tak lain adalah keponakan-keponakan saya bersama kakak perempuan saya (baca:ibu). Yang datang.

“Assalamualaikum…, ” koor keponakan-keponakan saya memberi salam.

“Tak terima tamu!” ledek saya ketika saya melihat paras-paras keponakan saya yang berbondong-bondong ke rumah saat itu. ”Ng-nggak deh becanda! Wa’alaikumsalam…, ” ralatku menyambut kehadiran mereka. Dan mereka pun langsung mencium tangan saya.

Sekilas pertama saya amati ternyata mereka usai berbelanja. Tampak dari raut wajah-wajah mereka terlihat sangat lelah dan mengeluarkan peluh yang membasahi pakaian yang mereka pakai. Hingga akhirnya saat itu rumah saya menjadi ramai sekali dengan kedatangan tamu-tamu yang tak diundang itu. Bukan itu saja mereka pun mulai melakukan asyik konyolnya. Ada yang mengacak-acak acara favorit saya itu dengan mengganti channel yang lain. Dan juga ada pula yang memamerkan bawaannya.

Ternyata benar dugaan saya mereka usai berbelanja, membeli perlengkapan untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri (Lebaran). Mereka ada yang membeli pakaian baru, celana baru, sepatu baru bahkan sampai tamiya baru. Tapi saya bersyukur wajah mereka tidak yang ada baru. Alias, tidak dioperasi plastik. Masih yang itu-itu saja!

Melihat aksi kekonyolan keponakan-keponakan saya itu saya pun hanya geleng-geleng kepala sambil bergumam, ” jangan sampai deh gue punya anak-anak kayak mereka pada nakal-nakal semua. ” Batin saya tak karuan ketika melihat aksi mereka yang tak ketulungan itu. Namun, alhamdulillah lisan saya tak sampai terucap. Coba sampai terucap walah saya bisa di tempeleng habis sama ibunya. Tapi saya bersyukur dengan kehadiran mereka saat itu rumah rasanya jadi ramai. Bukan ramai atas kedatangannya. Melainkan ramai atas kegaduhannya itu.

“Nih, Om Izal beli baju baru sama tamiya baru, ” unjuk salah satu keponakan saya yang paling kecil. Keponakan saya yang masih duduk dibangku kelas dua SD itu. Bangga memamerkan apa yang ia beli barusan di pasar kepada saya.

Saya yang melihat keponakan saya paling terkecil itu hanya tersenyum-senyum. Dengan gembirannya ia memamerkan pakaian baru dan tamiya baru yang ia beli bersama ibunya. Saya pun memakluminya. Ya, mau dikata apa toh namanya juga anak kecil belum mengerti arti sesungguhnya Hari Raya Idul Fitri seperti apa itu. Namun yang pasti arti sesungguhnya Hari Raya Idul Fitri itu adalah berarti kita kembali pada kesucian diri, setelah diri (jiwa dan fisik) digodok selama bulan Ramadhan. Bukan itu saja makna Idul Fitri juga berarti mengingat kembali asal kejadian manusia. Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Kamu sekalian berasal dari Adam. Sedangkan Adam berasa dari tanah.

“Lho, emangnya Izal puasa. Kalau orang yang nggak puasa nggak boleh ikut lebaran, ” kata saya meledeknya.

Lalu apa sikapnya saat itu?
Ia tetap tak menggubrisnya apalagi mendengarkan kata-kata saya. Ia tetap cuek. Acuh tak acuh. Malah saya sepertinya “dikacangi” olehnya.

“Tapikan ada baju baru, Om. Nah, Om udah beli baju baru belum?” timpal kakaknya ikut nimbrung bernama Amri. Keponakan saya yang baru duduk dibangku kelas enam SD.

Saya yang ditanya seperti itu hanya mengulum ludah. Diam seribu bahasa. Saya sudah beli baju baru atau belum saya tidak menjawabnya. Akhirnya saya pun angkat bicara juga daripada ia nanti penasaran.

“Om sih belum…Kan puasanya belum abis. Jadi Om harus puasa dulu baru lebaran, ” ujar saya memberi masukan dengan hati-hati. Ya, walau mereka belum begitu paham apa yang saya utarakan tadi.

Saya sebagai Om-nya ketika melihat polah keponakan saya seperti itu merasa sedih juga. Sebab Ramadhan kali ini saya tidak bisa berlaku banyak. Baik memberi mereka salam tempel maupun hal-hal yang mereka inginkan. Apalagi sudah dua minggu di bulan Ramadhan kali ini saya jatuh sakit. Penyakit langganan tiap tahun ketika jelang Ramadhan tiba langsung mampir. Sakit wasir saya kambuh lagi. Menyedihkan. Namun saya yakin nantinya juga dengan seiring waktu ketika usianya bertambah mereka akan mengerti dan paham bahwa mennyambut hari Raya Idul Fitri (Lebaran) tak selamanya menyambutnya dengan hal-hal yang baru pula melainkan hati yang harus baru. Kembali suci itu yang perlu!

Pakaian lama tapi bersih dan wangi toh itu lebih dari cukup. Halnya saya pada bulan Ramadhan kali ini tidak seperti bulan Ramadhan tahun lalu. Menyambutnya dengan ngeborong pakaian baru dan segala tetek bengek-nya. Namun bulan Ramdahan ini benar-benar kering bagi saya. Bukan saja kering di bibir saya lantaran berpuasa tapi kocek-nya pun ikut kering. Alias, bokek! Maklum belum memiliki maisah (baca: belum memiliki kerjaan tetap). Masih mencari-cari pekerjaan tetap.

“Yaa berate Amri harus puasa dulu ya baru lebaran? Lagi pula Amri juga malu sama teman-teman Amri di sekolah kalau tidak puasa, Om” jawabnya polos memberitahukan saya. Saya sendiri pun tidak menyangka bahwa dirinya itu bisa memiliki hati seperti itu. Dan ketika saya ingin lagi memberikan masukan-masukan yang berguna untuknya tiba-tiba suara ibunya memanggil.

“Izal, Amri pulang yuk sudah sore nih. Mama belum masak untuk berbuka. ”

Maklumlah ibunya itu sudah menemui ibu saya sekaligus orangtua kakak perempuan saya juga dan sekaligus nenek dari keponakan-keponakan saya itu.

“Om, Izal sama Amri balik dulu ya?” pintanya seperti biasa mencium tangan saya terlebih dahulu. Berpamitan. “Assalamualaikum…., ” kompak mereka berdua antara adik dan kakak saling bersamaan memberi salam untuk berpamitan pulang.

Tak terasa mereka sudah meninggalkan rumah. Saya yang melihat wajah-wajah keponakan saya itu jadi mengingatkan saya pada masa-masa kecil saya dulu. Ketika saya menutut dan meminta dibelikan pakaian baru dan sepatu baru untuk menyambut hari Raya Lebaran pada saat itu. Kekanak-kanakan sekali saya pada saat itu. Sama seperti keponakan-keponakan saya yang bertandang ke rumah. Menuntut dan meminta pakain baru dan segalanya yang baru kepad orangtuanya..

Itulah pengalaman yang sangat membuat saya terharu. Ternyata kalau saya pikir-pikir entah itu keponakan saya dan juga saya saat waktu kecil dulu dan juga di mana pun tempatnya tradisi seperti itu tetap masih berlaku. Baik zaman yang telah lalu maupun zaman sekarang ini. Hal seperti tetap mejadi budaya saat-saat bulan Ramadhan hampir di pelupuk mata. Tanpa hal-hal yang baru. Baik pakaian baru, sepatu baru, sajadah baru, mukena baru, baju gamis, membuat pengan yang lezat-lezat sampai rumah dicat baru. Tanpa itu semuat acara menyambut Hari Raya Idul Fitri rasanya hambar. Tidak afdhal! Bukannya memikirkan puasa terlebih dulu baru Lebaran. Tapi ini sebaliknya baju baru dan celana baru dulu baru Lebaran. Itulah gambaran masyarakat kita yang jika bulan Ramadhan hampir tinggal hitungan hari lagi. Duh, sungguh ironis dan mengharukan sekali jika Hari Raya Lebaran hanya dijadikan simbol yang baru-baru saja seperti itu. Halnya seperti keponakan-keponakan saya itu.. Ya, semoga saja jika keponakan-keponakan saya itu besar nanti mereka bisa memaknai arti sesungguhnya Hari Raya Idul Fitri seperti apa sebenarnya. Allahu akbar.Allahu akbar…

“Seberapa banyak orang yang berpuasa yang tidak memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar dan haus-dahaga belaka. ”(H. R Ibnu Maajah dan Ibnu Nasaai)

Ulujami, O2 Oktober 2007

Ketika Ramdahan begitu kering!

.