Senja di Metromini

Jakarta, 1996

Jumat sore, aku bersorak dalam hati. Tak sabar kumenunggu jarum jam dinding menunjukkan pukul lima, saat jam pulang kantorku. Hari yang sangat kunanti, dan mungkin dinantikan oleh semua orang yang bekerja setiap hari Senin-Jumat, hari terakhir dalam seminggu untuk bekerja. Lima menit lagi, dan aku akan terbebas dari rutinitas seminggu ini, bercengkerama dengan keluarga di rumah.

Jarum jam terasa sangat lambat bergerak, terlebih karena hari ini aku sangat lelah. Entah berapa kali aku mondar-mandir dari ruanganku di lantai 4 ke lantai 3, tempat atasanku berada. Biro konsultan tempatku bekerja bertempat di gedung 4 lantai di daerah Fatmawati, tanpa lift ataupun eskalator. Lantai 1 untuk lobby dan ruang tunggu tamu, lantai 2 untuk dapur, ruang rapat (merangkap musholla), dan toilet staf. Lantai 3 tempat staf administrasi dan para manajer, sedangkan lantai 4 adalah ruangan para staf, di mana aku dan teman-temanku sesama analis bekerja.

Akhirnya lima menit berlalu sudah. Setelah berpamitan dengan staf lainnya yang pulang agak lambat-menunggu macet berkurang katanya-aku dan 3 orang temanku yang pulang searah ke Blok M segera beranjak meninggalkan kantor. Seperti biasa, kami menumpang mobil teman sampai Blok M, kemudian berpisah menurut tujuan masing-masing.

Aku berlari menuju terminal metromini 69, jurusan Ciledug, berharap untuk dapat tiba di rumah sebelum Isya’. Alhamdulillah, setibanya di halte, metromini yang kucari sedang bersiap untuk berangkat. Segera aku meloncati tangga pintu masuk dekat supir, tempat favoritku. Tepat di depan pintu ini, biasanya kondektur meletakkan bangku tambahan, tempat aku sering duduk. Saat jam pulang kantor seperti ini metromini selalu penuh, sehingga bangku cadangan itu selalu jadi tujuanku.

Sayangnya hari ini aku terlambat, bangku cadangan itupun sudah terisi penuh oleh 3 orang pria ABG dengan dandanan yang mencurigakan ala preman, lengkap dengan anting sebelah dan gelang akar-bahar di tangan. Mereka sedang asyik mengobrol, termasuk dengan seorang lagi yang duduk di bangku tepat di hadapan mereka. Secara refleks aku mempererat pegangan ke tasku, dan berjalan ke arah belakang metromini, mendekati sang kondektur. Kisah pencopetan di metromini ataupun di bis sudah marak sejak dulu, jadi tidak ada alasan bagiku untuk tidak bersikap waspada terhadap mereka. Panas yang menyengat dan rasa lelahku hilang dalam sekejap, berganti dengan kekhawatiran. Uang di tasku memang tak banyak, tapi surat-surat seperti tanda pengenal dan lainnya lebih penting bagiku, dan aku tak yakin mereka akan repot-repot untuk mengembalikan tasku bila telah berniat untuk mencopetnya, walaupun tak ada barang berharga di dalamnya.

Aku melihat ke arah belakang metromini, berharap masih ada tempat duduk yang tersisa. Seorang pria berpakaian rapi dan dan berdasi yang duduk tepat di samping kananku spontan menutup matanya, berpura-pura untuk tidur, ketika bertemu dengan pandanganku yang sangat jelas terlihat sedang mencari-cari tempat duduk. Aku tersenyum dalam hati.

Dengan berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku, aku pelan-pelan bergerak ke belakang. Sangat sulit bergerak di antara para penumpang yang berdiri dan bergelantungan di sepanjang metromini, yang jumlahnya lebih banyak daripada penumpang yang duduk. Hal yang biasa terjadi pada jam-jam sibuk seperti ini.

Saat aku tepat berada di samping pria ABG bergelang akar-bahar yang duduk di depan ketiga ABG tadi, tiba-tiba dia berdiri dan berjalan tepat ke arahku. Aku terdiam sejenak dan berdiri dengan tegang, menanti apa yang terjadi sambil bersikap waspada. Dia berjalan mengitariku diikuti oleh pertanyaan dari ketiga temannya, “Wei, mau kemana lu?” Dia hanya nyengir kuda dan tiba-tiba, dengan gerakan tangan yang hampir tak terlihat, dia mempersilahkan aku duduk di tempat yang tadi didudukinya!

Aku terpana, dan spontan menunjuk diriku dengan pandangan bertanya ke arahnya. Dia mengangguk tak kentara, masih dengan cengiran yang sama seperti sebelumnya, kemudian berdiri di dekat pintu masuk, di samping ketiga temannya, yang ribut mempertanyakan sikapnya. Saat itu aku sudah berada tepat di samping tempat duduk yang kini kosong, karena tidak ada seorangpun di sekitarnya. Sepertinya para penumpang lainnya pun berpikiran sama denganku, berusaha untuk mengambil jarak dari keempat ABG tadi.

Akupun duduk dengan penuh perasaan bersalah. Saat teringat bahwa aku belum mengucapkan terima kasih, aku memandang ke arah ABG tadi, yang kini sedang ribut bercanda dengan ketiga temannya. Aku menunggu hingga dia memandang sepintas ke arahku, dan mengucapkan terima kasih pelan, dan dia hanya mengangguk kecil. Setelah itu dia kembali mengobrol dengan teman-temannya, sementara aku sibuk sendiri dengan pikiranku sepanjang perjalanan.

Berkali-kali aku beristighfar dalam hati, sudah berburuk sangka kepada ABG tadi. ‘Don’t judge the book by its cover! Jangan pernah menilai seseorang dari penampilannya!’ kataku berulang-ulang dalam hati, menyesali sikapku tadi. Sungguh pengalaman berharga yang kudapat di senja ini, dan tak akan terlupa sampai kapanpun.

***
Oleh: F. Abubakar
Matsudo, 10 Januari 2007 (19:40 JST)