Tabula Rasa

Hari itu 1 Maret 2007 mungkin menjadi satu hari yang istimewa buat saya. Meskipun pada saat itu saya harus lembur malam sampai pagi tamat tidak tidur. Semua tiada lain karena pada hari itu tepat jam 5 lebih 2 menit, anak yang di tungu-tunggu hampir 9 bulan lamanya dalam kandungan isteriku akhirnya lahir dengan selamat.

Meski tidak tidur seharian karena harus menunggui isteri dan anakku yang pertama, tapi tdak terasa lelah. Semua sirna karena kehadiran buah hati belahan jiwa yang telah hadir dihadapan mata. Tinggal ke depan, bagaimana saya beserta isteri menjaga, membesarkan dan mendidik amanah dari Allah yang telah diberikan kepada kami.

Amanah ini tentu menjadi sebuah tantangan bagi kami, sehingga kami pun harus benar-benar siap mental dalam memikulnya. Dan mungkin semakin berat amanah ini kami pikul, bukan berat karena tidak menginginkannya. Akan tetapi berat dalam menjaganya, karena kondisi zaman saat ini yang dipenuhi dengan fatamorgana hampir disetiap sendi kehidupan. Bahkan jika melihat lingkungan yang ada, penelitian pernah menyebutkan 65% kepribadian sang anak di bentuk oleh Televisi.

Hal ini yang menjadi kami harus benar-benar waspada dalam memikul amanat ini. Kami harus bisa mengarahkan buah hati kami pada jalan yang lurus, sementara batu kerikil menghadang hampir disepanjang jalan yang kami lalui. Jika dulu teori mengatakan bahwa anak 60% dibesarkan oleh lingkungan, maka sekarang lebih berat karena kehadiran televisi tidak bisa dipugkiri telah mencetak kepribadian anak.

Simak misalnya tayangan-tayangan kekerasan di televisi seperti acara smack down, ini telah memakan korban jiwa anak-anak sekoalah dasar karena mengikuti dan mempraktekan gaya smack down yang diputar salah satu televisi swasta di Indonesia. Belum lagi tayangan berita kriminal, film, sinetron, infotaiment yang menyuguhkan banyak gosip yang tidak mendidik bagi perkembangan hidup seorang anak. Sehingga wajar jika anak tumbuh kembangnya sikap dan kepribadiannya klebih dominan dididik oleh televisi.

Konsep tabula rasa mengatakan bahwa setiap anak yang lahir ibarat kertas putih yang belum ditulisi apa-apa, sehingga ia tetap bersih. Begitu pun Islam mengatakan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia ini dalam keadaan suci. ”kullu mauludin yu ladu alal fitrah, faabawahu au yuhawwidanihi, au yunassironihi, au yumajjisanihi”. Setiap anak yang lahir dalam keadaan suci, tergantung orang tuanya apakah ia akan menjadikannya yahudi, majusi atau pun nasrani?

Jika melihat kondisi sekarang, mungkin berat untuk mengarahkan anak kita pada jalan Allah yang lurus. Tapi bukan berarti ktia menyerah begitu saja, dan membiarkan anak kita liar dan membebaskan anak kita untuk memilih jalan mana yang akan mereka tempuh. Karena jangan salah ada banyak keluarga yang dengana alasan demokrasi membiarkan anaknya untuk memilih jalan yang mereka sukai.
Hal ini tentunya jangan sampai terjadi pada setiap keluarga muslim, karena amanah yang diberikan kepada kita berupa anak akan dimintai pertanggung jawabannya kelak oleh Allah. Sehingga kehadiran anak kita ke dunia ini, bisa menjadi fitnah tapi juga bisa menjadi penyelamat bagi kita kelak di padang mahsyar.

Untuk itu, siapapun Anda yang kebetulan telah diberikan amanah berupa keturunan oleh Allah, hendak nya tidak menyia-nyiakan amanah itu. Sebab ia bisa menjerat dan menjerumuskan kita jika disia-siakan. Sebaliknya ia bisa mengangkat derajat kita di sisi Allah jika kita pandai mengarahkan dan mendidiknya di jalan Allah.

Untuk saudara-saudaraku yang kebetulan baru dikarunia anak pertama, saya ucapkan selamat. Saya yakin kebahagiaan Anda dengan saya sama saat anak pertama lahir dari rahim isteri-isteri Anda. Dan saya titip, jangan sampai kita lupa dan terlena dengan kehadiran buah hati kita, sehingga kita memanjakannya berlebihan kelak, bukannya mendidik dan mengarahkan mereka ke jalan Allah…

Wallahu’alam

Bandung, 11 Maret 2007
rah_miraj@yahoo. Com