Teguran Sang Pemilik Warnet

Adzan maghrib baru saja berkumandang dari balik pengeras suara. Dan panggilan shalat itu berasal tidak jauh dari masjid yang berada di sebuah warnet terdekat dari kampus yang berstatuskan Islami. Dan juga di tempat warnet itu di dalamnya ada saya yang sedang berinternet ria tanpa melihat waktu dan juga tidak ingat adzan pula. Karena saking asyiknya saya berinternet ria saya jadi tak tahu kalau panggilan Ilahi itu sudah memanggil-manggil hamba-hambaNya. Begitu juga dengan saya yang sedang ada di dalam warnet itu.

Saya sedang asyik berinternet ria dan masuk di warnet itu pun tak sengaja saya hampiri. Dan itu saya lakukan usai amanah saya sudah saya selesaikan. Sudah pulang dari kerja. Namun karena hari sudah hampir senja dan mau maghrib pula maka saya putuskan untuk mampir dulu ke warnet yang masih dekat dengan tempat saya kerja pula sambil menunggu adzan maghrib. Tapi… ternyata saya malah kebablasan tak ingat waktu dan tak menggubris panggilan suci itu. “Ah, masa ada sepuluh menit lagi masih tanggung, “ bathin saya bebarengan dengan panggilan adzan itu yang sejak tadi mengajak saya untuk lekas meninggalkan kegiatan hal duniawian itu. Yakni, berinternet ria dan lekas menuju kemenanganNya. Hayya alal Fallah….

Akhirnya sampai adzan maghrib usai saya masih tak ingat bahwa panggilan suci itu sudah usai. Saya masih tetap berinternet ria. Padahal masjid yang mengumandangkan adzan itu tak jauh dari warnet yang saya hampiri itu. Tapi ketika hampir iqamat baru di mulai dari masjid tiba-tiba ada suara yang sangat berat yang berasal dari suara laki-laki yang saya tak kenal. Mungkin suara itu berasal dari pemilik warnet yang saya diami itu. Yup, ternyata benar ia adalah pemilik warnet itu dan juga suara berat itu juga adalah miliknya. Menegur kami. Saya dan para pengguna interner di warnet yang laki-laki itu miliki.

“Kalian muslim bukan?!“ tiba-tiba ia buka suara menegur salah satu pengguna internet yang ada dihadapannya. Saya yang mendengar tegurannya itu seperti itu seakan-akan tertohok oleh benda yang menghatam di dada saya. Sangat kena dan terasa. Menyindir saya secara halus. Ironi. Walau tanpa secara langsung ia memberi teguran ke arah saya melainkan kepada salah satu pengguna internet yang ada dihadapannya. Tak lain seorang anak sekolah yang masih berseragam abu-abu.

Saya dan lainnya yang notabene yang mendapatkan “teguran” itu akhirnya langsung menghentikan aktivitas ke duniawian. Yakni, berinternet ria. Saya pun akhirnya menyudahi untuk berinternet ria. Walau saya baru memainkannya. Dengan terpaksa saya mau tak mau saya pun mematikan juga dan langsung menuju kasir untuk membayar jasa penyewaan internert yang saya gunakan itu kepada seorang penjaga warnet. Dan saya tidak tahu juga jika di belakang saya ada pemilik warnet yang memberi teguran itu kepada semua pengguna internet di warnet milikinya sedang melihat anak buahnya itu. Tak lain penjaga warnetnya (baca: kasir). Apakah mau ditutup sementara atau tidak. Akhirnya anak buahnya pun ikut turut terburu-buru untuk segera menutupnya sementara.

“Berapa, Mas?” Tanya saya menanyakan berapa jasa penyewaan internet yang saya gunakan dan saya harus bayar berapa kepadanya.

“Dua ribu saja, Mas, ” jawabnya singkat kata. Dan saya yang melihat ke arahnya ada kegelisahan yang meraja dibenaknya. Ternyata ia juga ia ingin terburu-buru untuk segera menunaikan shalat mgahrib setelah ia juga ditegur oleh pemilknya.

“Makasih, ya, Mas, ” ujar saya sambil menyerahkan uang jasa penyewaan internet itu kepadanya.

Usai saya melakukan transaksi pembayaran jasa internet saya pun langsung melangkahkan langkah saya ke masjid. Dikarenakan sejak tadi saya dilihati dan diperhatikan terus oleh pemilik warnet itu untuk segera meninggalkan hal keduniawian. Berinternet ria di warnet miliknya. Dan ia sebagai pemiliknya pun halnya sama dengan anak buahnya Terburu-bru menutup warnetnya dan menuju ke masjid dengan berbarengan bersama anak buahnya itu.

Saya yang sejak tadi melihat situasi seperti itu sangat takjub serta kaget. Baru kali ini saya mengalami hal yang “unik.“ Ada seorang pemilik warnet yang berhati mulia. Memberikan teguran kepada para pengguna internet di warnet miliknya. Padahal jika ia tidak peduli dengan saya maupun yang lain ia sudah sejak tadi memasabodohkan saya dan yang lainnya. Masih asyik masyuk bermain internet tanpa mengingat panggigilanNya. Meninggalkan shalat maghrib.

Sungguh bagi saya hal ini amat membahagiakan saya secara pribadi dikarenakan saking banyak bisnis warnet yang ada Jakarta masih ada yang mau peduli sama para pengguna jasa internet (baca: konsumen). Contoh khusus kecilnya adalah pemilik warnet yang saya hampiri itu. Padahal kalau ia atau semua pemilik warnet seperti dirinya mungkin anak manusia akan sadar atas kewajibanNya sebagai makhlukNya kalau sudah tiba waktunya shalat maka tinggalkan segala hal keduniawian. Seperti pemilik warnet itu saling memberitahukan dan saling nasehat-menasehati dengan hal yang baik. Tidak seperti kebanyakan pemilik warnet lainnya yang hanya ingin untung besar akhirnya tak memperdulikan pengguna jasa internet (baca: konsumen). Bisnis bisa lancar dan terus untung serta berkembang. Picik sekali.

Itulah yang membuat saya takjub dengan keberadaan wrantet yang ada di dekat kampus bernuasa Islami dan juga dekat tempat di mana saya bekerja. Pemiliknya mau peduli dengan pengguna jasanya hingga dengan susah payah memberitahukan dengan teguran kepada saya dan yang lainnya untuk segera bermunajat kepada Sang Khalik untuk shalat maghrib.

Antara Ciputat dan Ulujami, 9 Februari 2008

Website: http://sebuahrisalah.multiply.com