Lelaki Impian

“Semua laki-laki egois ya mi ?! kita tidak boleh marah, kayak umi gak boleh marah pada abi, demikian juga abang gak mau kalau Nisa marah padanya, tapi dia sendiri kalau marah sama Nisa kapan saja dan dimana saja, juga Nisa lihat abi seenaknya aja deh mi. Misalnya umi udah beresin rumah capek-capek, eh dalam sekejap abi berantakin lagi. Apa gak capek ya mi bila menjadi perempuan seperti kita gini. “ rungut Nisa anakku yang baru berusia 12 tahun dan juga baru saja melalui masa akil balighnya dimulai sejak 3 bulan yang lalu.

Yang dia rasakan setelah akil baligh begitu banyak aturan menimpa dirinya, tidak boleh pakai rok tanpa celana panjang, tidak boleh lagi buka tudung, tidak boleh tertawa terbahak-bahak dengan kawan lelaki, tidak boleh bersentuhan dengan kawan abi, paman, kawan abang dan kawan sekolahnya sendiri. Dan ditambah pula dengan tambahan tuntutan lain seperti harus rajin bantu ibu di dapur, harus bisa masak dan mencuci piring, tahu bumbu dapur. Semua itu Nisa rasakan beda dengan abang, kalau abang tak tahu apa-apa juga tidak apa-apa, namun Nisa… Wah no comment deh, tidak mudah untuk mengatakan tidak untuk semua tugas yang menumpuk di rumah.

Apalagi bila tidak ada pembantu, maka abi dan umi selalu memanggil nama Nisa, sedangkan abang selalu saja asyik baca buku cerita, atau abang boleh main bola dan membantu bersihkan rumah sebatas buang sampah dan menyapu halaman depan, itupun tidak tuntas, karena lamanya bukan main, langsung umi mengambil alih sapu dan serokan yang abang pegang. Akhirnya ketika suatu hari umi menangis dimarahi abi (biasa toh suami istri bertengkar, dan biasanya karena umi tidak mampu marah balik, maka umi menumpahkan perasaan jengkel dan sakit hati dengan menangis), diam-diam Nisa menyentuh tangan umi dan menyiratkan “ persahabatan’’, seakan-akan ingin mngungkapan: ‘sabar ya mi, Nisa ngerti banget perasaan umi sebagai perempuan,” dan diam-diam, si Rayhan bungsu kami yang baru saja berusai 7 tahun menunjukkan juga simpatinya pada umi. Akhirnya Rayhan menyelusupkan kepalanya yang botak kedalam pelukan umi yang masih berlinangan airmata dan senyum pasrah.

kemudain dalam diam Nisa menulis disecarik kertas :”sabar ya mi, lelaki memang egois, tapi mereka pelindung kita kan mi, mumpung belum terlambat, Rayhan bungsu kita,kita jadikan laki-laki impian yuk mi, yang mampu melindungi para wanita namun juga mampu meredam emosinya dan bersabar serta tidak egois .”

Perlahan Rayhan dididik Nisa membantu pekerjaan rumahtangga, walau hanya memegang sapu kecil, mencuci gelasnya sendiri, membuang sampah pada tempatnya, namun keterlibatan Rayhan dalam membantu pekerjaan di rumah, membuat Nisa merasa bahwa Rayhan kecilnya akan menjadi ‘lelaki impian’ bagi siapa saja, dan Nisa remaja bertekad akan membantu Rayhan menyeleksi calon istrinya nanti, he he… karana lelaki impian itu adalah hasil didikan Nisa, jadi siapa yang mau menjadi istrinya kelak,harus lewati ujian Nisa dahulu.

He he… pikiran ini cukup membuat Nisa semangat lagi dalam bekerja membantu ibu di rumah dan sekaligus ‘mempekerjakan’ Rayhan adik bungsunya, si ‘ lelaki impian.’ Hmm kata siapa urusan rumah tangga hanya urusan para wanita?!