Aku Selalu Mengingat-MU?

Mihrab itu terasa amat teduh. Begitu kuat pengaruhnya. Pada jiwa-jiwa mulia. Jiwa orang-orang yang hanya mendambakan ridha dari Rabbnya. Tak pernah sepi. Selalu ada orang-orang duduk di dalamnya. Dengan tangan tengadah. Berdo’a dan mengingat-Nya. Air matanya terus menetes sepanjang malam.

Para generasi salaf, tabi’in, dan orang-orang mu’min yang mukhlisin, terus-menerus dalam mengingat Rabbnya. Dalam lantunan dzikir yang panjang. Mendekatkan diri. Bermunajat. Berdo’a. Tujuannya mengharapkan ampunan dan ridha-Nya. Dengan kesabaran yang tak terbatas. Tak pernah merasa letih. Betapa beratnya beban itu. Mereka hanya merasakan kenikmatan yang tak terhingga. Dapat berkalwat (berduaan). Berkalwat bukan dengan makhluk dan nafsu. Berkalwat dengan yang menciptakan makhluk, manusia dan seluruh jagad alam semesta, yaitu Allah Azza Wa Jalla. Betapa manusia yang mempunyai derajat ma’rifat, dan melakukan ‘perjumpaan’ dengan Rabbnya, tak terhijab oleh apapun, karena hanya semata-mata kesucian jiwanya. Mereka akan mendapatkan kemuliaan, yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Allah Azza Wa Jalla memerintahkan hambanya lebih banyak berdzikir. “Wahai orang-orang yang beriman yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat nama-Nya, sebanyak-banyaknya. Dan, bertasbilah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang”. (al-Qur’an: 33:41). Bahkan, Allah Tabarakallahu Ta’ala, menegaskan bahwa Dia akan mengingat orang yang ingat atau berdzikir kepada-Nya. “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu”. (al-Qur’an: 152). Hubungan yang bersifat kasualitas, timbal-balik, yang mutlak itu telah melahirkan generasi Rabbani. Orang-orang yang ‘ittijahnya’ (orientasinya), menginginkan kemuliaan dan kesucian. Mereka senantiasa istijabah dengan panggilan-Nya.

Dalam sebuah hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim: “Aku ini adalah menurut dugaan hamba-Ku, dan Aku menyertaimu, di mana saja ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia berdzikir atau ingat kepada-Ku di dalam hatinya, maka Aku akan ingat pula kepadanya di dalam hati-Ku, dan kalau ia mengingat-Ku di depan umum, maka Aku akan mengingatnya pula di depan khalayak yang lebih baik. Seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya sedepa.Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, Aku akan datang dengan berlari”.

Begitulah. Sikap dari Allah Azza Wa Jalla terhadap hambanya. Hamba, yang mencintai-Nya dengan diri yang tulus. Mereka yang senantiasa berdzikir dan mengingatkan-Nya, tak akan pernah disia-siakan atas segala permohonannya. Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam, Abu Bakar ra, Umar Ibn Khaththab ra, Utsman ra, Ali Ibn Tholib ra, dan para sahabat lainnya, memberi tauladan dari generasi yang sempurna dalam kehidupan. Menjadi cermin yang indah. Menjadi ibroh yang kekal. Menjadi sumber yang tak kering-kering, terutama dari generasi-generasi mendatang. Perjalanan hidup seorang hamba akan sangatlah ditentukan bagaimana kualitas dan tingkat hubungan dengan Rabbnya. Kedudukan dan posisi seorang hamba juga akan ditentukan oleh tingkat hubungan dengan Allah Azza Wa Jalla.

Hari ini. Makhluk manusia terus dirundung nista dan hina. Kehidupannya tak memiliki nilai berarti bagi masa depan kemanusiaan. Seluruh potensi hidupnya hanya sia-sia. Berbagai simpton dan penomena yang hadhir dalam kehidupan, cenderung akan terus mengarah kepada kerusakan dan kehancuran yang sifatnya akut.Manusia tak dapat menghindari kondisi itu. Dimensi krisis menjadi sangat komplek, yang membuat manusia semakin frustasi. Mereka kehilangan kepercayaan atas hari depan mereka. Manusia sebagai hamba menjadi sangat aneh bentuk perilakunya. Karena penyimpangan alenasi. Waktu-waktu yang ada tercurahkan hanya kepada hal-hal yang artifisial. Semua itu, karena manusia hanya ‘berdzikir’ atau ‘mengingat’ kepada mereka yang lemah, yang tak berhak, yang terbatas, dan yang pasti akan mati. Manusia, siang-siang malam, terus hilir-mudik, dari satu tempat ke tempat lainnya, dan berhubungan dengan tanpa landasan tujuan yang jelas dan bermakna. Karena, semata-mata arah kehidupannya ditujukan kepada kehidupan yang serba nisbi atau relatif. Para pemuja kehidupan dunia dan materialisme telah sampai di ujung, yang tak mungkin lagi dapat menyelesaikan persoalan masa depan persoalan kemanusiaan hari ini. Mereka akan berputar dan berkutat di antara persoalan-persoalan yang terus tumbuh dari sistem nilai yang salah. Hakekatnya, mereka tak pernah berdzikir dan mengingat kepada Sang Pencipta, Allah Azza Wa Jalla, dan Yang Maha Sempurna.

Baginda Rasulullah shallalllahu alaihi wa salam, melalui khotbahnya Beliu bersabda: “Wahai umat manusia! Negeri dunia ini adalah negeri yang bengkok, bukan negeri yang lurus. Dunia adalah tempat kesusahan, bukan tempat kesenangan. Barangsiapa mengetahuinya, maka ia tidak gembira dengan kelapangan yang dimilikinya, atau bersedih karena kesengsaraan yang dialaminya. Ketahuilah Allah menciptakan dunia sebagai negeri tempat ujian, dan akhirat termpat kembali”.

Dunia itu akan cepat pergi. Segera berubah. Waspadalah. Kenikmatan dunia yang sekarang ini, jangan sampai memalingkan dari mengingat-Nya. Jangan bersusah payah memakmurkan negeri dunia yang Allah telah pastikan akan hancur. Termasuk mereka yang memujanya.

Perbanyaklah mengingat dan berdzikir kepada Allah Azza Wa Jalla, karena hanya dengan cara itu, yang dapat menyelamatkan hari depan manusia. Kehidupan yang akan lebih panjang dan bersifat kekal, dibanding dengan kehidupan dunia. Kehidupan akhirat. Ramadhan jangan menjadi sia-sia. Wallahu ‘alam.