Hadiah Haram Pejabat Publik (Bag 3)

Pada pembahasan bagian kedua, telah kami uraikan dalil dari Al Quranul Karim tentang kewajiban menaati sumpah jabatan bagi pejabat negara. Sehingga dengan sendirinya, pelanggaran atas sumpah itu menjadi sesuatu yang haram. Pada bagian ini, kami menguraikan dalil dari hadits nabawiyah yang lebih rinci melarang hadiah untuk pejabat.

Dalil Kedua, Hadits Shahih

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي

Dari Abu Humaid As Sa’idi mengatakan, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah mempekerjakan seorang laki-laki untuk mengelola zakat bani Sulaim yang sering dipanggil dengan nama Ibnu Al Latabiyah, tatkala dia datang, dia menghitungnya dan berkata: "Ini adalah hartamu (zakat yang terkumpul) dan ini hadiah (yang diberikan kepada ku)."

Spontan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berujar: "Kenapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiahmu datang kepadamu jika kamu jujur."

Kemudian beliau berpidato di hadapan kami, memuja dan memuji Allah terus bersabda: "Amma ba’d. Sesungguhnya saya mempekerjakan salah seorang diantara kalian untuk mengumpulkan zakat yang telah Allah kuasakan kepadaku, lantas ia datang dan mengatakan: ‘ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku’, kenapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya sampai hadiahnya datang kepadanya? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, selain ia menjumpai Allah pada hari kiamat dengan memikul hak itu, aku tahu salah seorang diantara kalian menjumpai Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik."

Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih ketiaknya seraya mengatakan: "Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan apa yang kulihat dengan mataku dan kudengar dengan dua telingaku?" (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud)

Kitab-kitab hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim disepakati oleh para ulama sepanjang 12 abad ini sebagai kitab tershahih kedua dan ketiga setelah Al Quranul Karim. Sementara hadits di atas disepakati keshahihannya oleh ke dua imam hadits tersebut (istilahnya muttafaqun ‘alaihi). Kami akan ulas sedikit penempatan hadits-hadits ini di dalam dua kitab hadits shahih tersebut.

Di dalam koleksi shahihnya, Imam Bukhari menempatkan hadits ini atau yang senada dengan ini, di beberapa tempat di antaranya pada Kitabuz Zakah, Kitabul Hibah, Kitabul Hiyal dan kitabul Ahkam. Di dalam Kitabul Ahkam (hukum), hadits ini beliau tempatkan dalam dua bab, masing-masing dengan judul:

  • هَدَايَا الْعُمَّالِ atau Hadiah Pegawai Pemerintahan. Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa judul ini merupakan redaksi hadits lain yang diriwayatkan secara marfu’ dari Imam Ahmad, yaitu: هَدَايَا الْعُمَّال غُلُولٌ atau Hadiah-Hadiah Untuk Pegawai Pemerintah Adalah Pengkhianatan. [15]
  • مُحَاسَبَةِ الْإِمَامِ عُمَّالَهُ atau Pemeriksaan (audit) Pemimpin Kepada Pembantunya

Di dalam Kitabul Hiyal (Tipu Daya), Imam Bukhari menempatkannya dalam bab:

  • اِحْتِيَال العُمَّالُ ليُهْدَى لَهُ atau Tipu Daya Petugas Zakat Agar Mendapatkan Hadiah.

Sementara Imam Muslim menempatkan delapan hadits senada dengan ini, dengan sedikit perbedaan redaksi dari jalur periwayatan yang berbeda. Hadits-hadits itu ditempatkan dalam bab yang berjudul:

  • تَحْرِيمِ هَدَايَا الْعُمَّالِ atau Haram Hukumnya Menerima Hadiah Bagi Pegawai.

Tampak jelas bagi kami bahwa hadits ini adalah pengecualian (lex specialis atau dalil khas) dari hadits-hadits nabi yang secara umum (dalil ‘amm atau lex generalis) menganjurkan untuk memberi atau menerima hadiah.

Jelas tampak ada larangan dari nabi, dan kaidah ushul fiqih menyatakan

اَلنَّهْيُ لِلتَّحُرِيْمِ,

atau larangan adalah pengharaman. Tapi daripada kita mencoba menafsirkan sendiri hukum dari hadits itu, lebih baik kita baca saja tafsiran para ulama umat ini, yang jauh lebih faqih dan faham daripada kita.

Dari pemberian judulnya saja, sudah bisa kita lihat bagaimana para ulama menafsirkan hukum dari hadits ini. Kami akan tampilkan syarah atau penjelasan dari hadits itu dari Imam Ibnu Hajar (Fathul Baari) dan Imam Nawawi (Syarah Shahih Muslim), yang notabene adalah syarah hadits yang authoritative dalam dunia keilmuan Islam.

Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa nabi mencela perbuatan Ibnu Al Latabiyah yang menerima hadiah itu, karena kedudukannya sebagai seorang pegawai pemerintah. Kemudian kalimat "mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak ibunya", memberi faidah bahwa sekiranya dia menerima hadiah dalam kondisi seperti itu (bukan pegawai pemerintah, tapi cuma duduk-duduk di rumah orang tuanya), maka hukumnya tidak apa-apa (untuk menerima hadiah) karena tidak ada faktor yang menimbulkan kecurigaan. Selain itu tidak disukai menerima hadiah dari orang yang meminta pertolongan. [16]

Kepemilikannya terhadap apa yang dihadiahkan kepadanya itu sebenarnya karena dia adalah petugas pengambil zakat (petugas pemerintah), lalu dia menganggap bahwa apa yang dihadiahkan kepadanya itu menjadi haknya, bukan para pemilik hak di mana dia bekerja padanya (pemerintah). Maka nabi menjelaskan, bahwa hak-hak yang dia bekerja untuk itu adalah sebab dihadiahkannya hadiah itu kepadanya, dan seandainya dia diam di rumahnya, tentu tidak ada sedikit pun dari itu yang dihadiahkan kepadanya. Karena itu dia tidak layak menghalalkannya hanya karena barang itu sampai kepadanya sebagai hadiah. [17]

Kami ingin menegaskan, bahwa kedudukan Ibnu Al Latabiyah ini adalah pegawai pemerintah atau pejabat negara secara umum, seperti yang disebut di dalam judul-judul redaksi hadits atau penjelasan Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi, bukan sekedar seperti petugas amil zakat fitri sukarela tingkat RT/RW atau PNS di Baznas saja.

Madinah di kala itu adalah sebuah negara berdaulat, lengkap dengan ciri-ciri sebuah negara modern saat ini, yaitu: ada pemimpin yaitu nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ada konstitusi (Piagam Madinah), ada penegakan kedaulatan (seperti pertempuran Badar, Uhud dan Khandaq), ada penegakan hukum (pelaksanaan hudud), ada wilayah dan ada rakyat. Sehingga penunjukan petugas oleh nabi adalah seperti pelantikan pegawai atau pejabat oleh kepala negara (atau aparat yang mewakilinya) di masa kita saat ini.

Imam Ibnu Hajar menjelaskan dari sebuah hadits lain, ketika berdiri untuk berkhutbah itu, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam naik mimbar dalam keadaan marah. [18] Jelas di sini beliau memperlihatkan ketidaksenangannya secara terbuka terhadap praktek menerima hadiah ini.

Kemudian nabi menjelaskan bahwa orang itu tidak akan datang pada hari kiamat dengan membawa sesuatu yang dipersiapkan untuk dirinya [19], karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Tampak jelas bagi kami bahwa nabi menyebut perilaku pegawai pemerintah atau pejabat publik yang menerima hadiah itu adalah "mengambil sesuatu yang bukan haknya".

Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat keterangan, hadiah untuk pegawai itu haram dan merupakan sebuah pengkhianatan, karena pegawai itu mengkhianati wilayah dan amanahnya. Oleh karena itu disebutkan hukuman hadiah yang diambilnya itu akan dibawanya nanti pada hari kiamat. Nabi telah menerangkan sebab pengharamannya, yaitu karena status kekuasaan yang dimiliki oleh pegawai itu. Berbeda dengan hadiah bagi selain pegawai yang justru dianjurkan. Hukum barang yang diterima oleh pegawai itu, barang itu dikembalikan kepada pemberinya, jika sulit untuk dikembalikan maka dikembalikan ke baitul mal (kas negara). [20]

Di sini juga diperlihatkan sebuah praktek good governance yang dicontohkan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kami kutipkan dan bahas beberapa poin yang relevan dari kedua imam pensyarah kitab shahih, antara lain:

  • Pemimpin dianjurkan berkhutbah untuk urusan-urusan penting. [21] Khutbah adalah sarana komunikasi publik di masa itu, saat ini mungkin dalam bentuk press release atau pidato di televisi.
  • Ketika seorang pegawai melaporkan tugas, maka pemimpin mengevaluasi atau mengauditnya [21] [22], agar diketahui apa yang sedang di tangannya dan apa yang dia keluarkan. Dalam konteks negara kita saat ini, untuk mencegah laporan asal bapak senang dan menegakkan transparansi pendapatan (dan belanja) negara.
  • Larangan bagi pegawai pemerintah untuk menerima hadiah tanpa izin imam [23] (imam dalam konteks negara Madinah saat itu adalah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai head of state). Dalam kondisi kita saat ini, larangan menerima hadiah tanpa seizin negara. Karena Indonesia adalah negara hukum, "izin" ini tentu berupa perangkat aturan hukum yang berlaku (UUD, UU, Perpres, dst). Misalnya jika sudah disahkan oleh KPK dalam mekanisme gratifikasi bahwa hadiah itu bisa diberikan untuk sang penerima.
  • Jika petugas diberi hadiah, maka dia harus mengembalikannya [24]. Jika terlanjur menerima (tanpa izin nabi) atau sulit untuk dikembalikan maka dimasukkan ke dalam baitul mal (kas negara) [25] [26]. Dalam konteks kita sekarang, jika pejabat menerima hadiah maka harus melaporkannya kepada KPK. Setelah diputuskan oleh KPK bahwa ini sebuah gratifikasi, maka diputuskan sebagai milik negara.
  • Menutup semua jalan yang dijadikan sarana oleh orang untuk mengambil harta dengan menekan orang yang diambil hartanya [27]. Banyak kasus pejabat di Indonesia memperkaya diri saat ini dengan dalih macam-macam, di antaranya "hadiah yang ikhlas" atau "tolong menolong". Di dalam Islam, hal seperti ini dicegah sejak awal sebagai tindakan preventif terhadap korupsi.
  • Menerima hadiah dari mereka yang biasa memberi hadiah sebelum seseorang memangku jabatan tertentu diperbolehkan. Imam Ibnu Hajar memberi catatan, bahwa hadiahnya tidak melebihi kebiasaan. [28] Misalnya, jauh sebelum Pak Fulan diangkat menjadi walikota, seseorang sudah biasa menghadiahi sekotak telur ayam buat Pak Fulan menjelang lebaran, lalu setelah menjadi walikota maka tidak apa-apa jika kebiasaan itu masih diteruskan, dengan catatan: tetap sekotak telur ayam.
  • Barangsiapa melihat seseorang berpendapat yang menimbulkan mudharat kepada orang yang mengikuti pendapat itu (dalam hal ini pendapat Ibnu Al Ibnu Al Latabiyah yang menerima hadiah), maka dia sebaiknya memasyhurkan di antara manusia dan menjelaskan kesalahannnya untuk mengingatkan mereka agar tidak terperdaya dengannya. Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan, boleh mencela orang yang keliru [29] (dalam urusan publik, bukan urusan privat). Inilah sebuah bentuk transparansi publik yang diajarkan dalam Islam. Ini bantahan jelas bagi sekelompok orang yang ta’ashub dengan pemimpinnya, ketika kebijakan atau pernyataan publik pemimpinnya dikritik secara terbuka lalu mereka membalas dengan dalil-dalil ghibah. Padahal mengghibahi seseorang dengan alasan yang dibenarkan syar’i adalah diperbolehkan. Ini sebuah bab dengan pembahasan tersendiri, insya Allah jika ada kesempatan akan kami bahas.

Pembahasan tentang dalil kedua (hadits nabawiyah) ini kami tutup dengan sebuah hadits shahih yang secara tegas mengatur jabatan dan gaji pejabat.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa yang kami beri jabatan untuk mengurusi suatu pekerjaan kemudian kami berikan kepadanya suatu pemberian (gaji), maka apa yang ia ambil setelah itu (selain gaji) adalah suatu bentuk pengkhianatan." (HR Muslim, Abu Daud. Teks dari Imam Abu Daud)

Bersambung ke bagian keempat (terakhir)… Insya Allah.

Catatan/Referensi/Bahan Bacaan:

[15] Al Asqalani, op. cit., Kitabul Ahkam, Bab Hadiah Pegawai Pemerintahan.

[16] Ibid., Kitabul Hibah, Bab Orang Yang Tidak Menerima Hadiah Karena Sebab Tertentu.

[17] Ibid., Kitabul Hiyal, Bab Tipu Daya Petugas Zakat Agar Mendapatkan Hadiah.

[18] Ibid., Kitabul Ahkam, Bab Hadiah Pegawai Pemerintahan.

[19] Ibid.

[20] An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Kitabul Imarah, Bab Haram Hukumnya Menerima Hadiah Bagi Pegawai.

[21] Al Asqalani, op. cit., Kitabul Ahkam, Bab Hadiah Pegawai Pemerintahan.

[21] Ibid.

[22] An Nawawi, op. cit.

[23] Al Asqalani, op. cit.

[24] An Nawawi, op. cit.

[25] Ibid.

[26] Al Asqalani, op. cit.

[27] Ibid.

[28] Ibid.

[29] Ibid.