Begitu Malangnya Perempuan Indonesia?

Perlahan-lahan kehidupan di Indonesia berubah drastis. Di mana hal-hal yang sifatnya sangat mendasar telah berubah. Ini bukan hanya sebuah tuntutan akibat perkembangan kehidupan semata, tetapi menyangkut masalah kebijakan pemerintah, dan juga pandangan para perempuan itu sendiri, yang ikut berubah. Tuntutan kehidupan yang menyebabkan mereka harus mengubah orientasi, yang sejatinya tak layak harus dilakukannya.

Bayangkan. Pagi hari buta. Kereta, bus, metro mini, angkot, motor, dan jenis kenderaan lainnya, semuanya dipenuhi wanita, yang mereka bergegas menuju ke tempat kerja. Berjejal. Terkadang sangat tidak manusiawi Tidak jarang pula terjadi hal-hal yang tidak patut, termasuk pelecehan.

Para perempuan sekarang hampir seluruhnya memenuhi lapangan kerja. Di kantor, pabrik, perusahaan-perusahaan, plaza dan toko-toko, serta berbagai jasa lainnya. Semuanya serba perempaun. Semakin hari semakin banyak perempuan yang memenuhi lapangan kerja. Perlahan-lahan menggeser para laki-laki, yang semestinya mereka yang harus bertanggungjawab mencari nafkah atau rezeki.

Kalau sore hari di jalan sepanjang dari Kota ke Blok, Kuningan, Senen, Jatinegara, Grogol, Slipi, dan lainnya, banyak perempuan berjejer di pinggir jalan, menunggu kendaraan, pemandangan yang khas. Di stasiun-stasiun kereta sampai menjelang larut. Terutama dari Jakarta ke Bogor, Bekasi atau ke arah Serpong. Dan, masih banyak perempuan yang menunggu kendaraan untuk pulang. Di hampir semua jalan di Jakarta, pemandangan itu sangat mencolok, di mana perempuan memenuhi jalan dan kendaraan untuk bekerja dan atau pulang kerja.

Tentu, yang lebih getir lagi, sampai menjelang dini hari, di sepanjang jalan raya Bogor, banyak wanita karena mendapatkan sift kerja malam, mereka pulang dari pabrik sampai menjelang dini hari. Tetapi, semuanya sudah menjadi hal yang sifatnya rutinitas. Seakan-akan tak ada sesuatu yang salah. Benar-benar tragedi, yang sangat menyedihkan. Belum lagi kondisi di tempat mereka kerja, yang sehari-hari, dan selalu menimbulkan resiko, bak secara mental dan phisik.

Memang, belakangan ini, banyak kantor dan pabrik serta perusahaan, yang membuat kebijakan lebih mengutamakan pekerjanya adalah kaum perempuan. Sehingga, para perempuan berduyun-duyun memasuki dunia kerja. Sementara para lelaki menjadi pengannggur, tidak memilikki pekerjaan apapun. Sehingga, banyak laki-laki yang hanya menggantungkan hidupnya kepada para perempuan. Ini sebuah perubahan besar dalam kehidupan. Sebuah pembalikan yang sangat mendasar dalam kehidupan.

Ini bukan saja menyangkut masalah gender dan persoalan ‘equality’, antara lelakki dan perempaun, tetapi akan terjadi perubahan sikap hidup yang sangat mendasar bagi hubungan antara kaum perempuan dan laki-laki. Ini bukan hanya menjadikan kesetaraan, tetapi kaum perempuan sudah akan menyalahi kodratnya, dan perempuan berperan sebagai laki-laki.

Karena itu, kehidupan sekarang semakin penuh dengan kontradiksi dan paradok. Bagaimana seorang perempuan yang mempunyai anak dan suami, pergi di pagi hari, dan baru kembali menjelang malam hari, dalam kondisi lelah secara mental dan phisik.

Semuanya, yang menjadi alasan semata-mata karena faktor ekonomi. Tidak ada yang lain. Tetapi, banyak pula, kaum perempuan yang bekerja, semata-mata bukan faktor ekonomi, tetapi sifatnya hal-hal yang artifisial. Seperti untuk memenuhi kebutuhan hal-hal yang sifatnya pribadi perempuan. Seperti kebutuhan yang sekunder. Apalagi, berbagai iklan di terlivisi telah menggerus kehidupan mereka yang masih memiliki idealisme.

Belum lagi, para perempuan yang harus berpisah dengan sanak keluarganya, pergi keluar negeri, menjadi tenaga kerja. Mereka harus meninggalkan ayah, ibu, saudara, anak, dan suami. Mereka di luar negeri menghadapi berbagai problem. Tidak sedikit. Di Hongkong, Malaysia, Singapura, di Timur Tengah, Afrika, dan beberapa di Eropa dan AS. Semuanya mempunyai dampak kehidupannya yang sangat serius. Dan sangat pelik. Mereka mendapatkan julukan sebagai pahlawan ‘devisa’, tetapi mereka kehilangan kesempatan yang mulia menjadi seorang ibu.

Bahkan, di sebuah desa di Jawa Timur ada yang disebut kampung ‘selingkuh’, di mana para laki-laki ditinggal ke luar negeri isterinya, sementara ada perempuan yang ditinggal suaminya ke luar negeri, sehingga masing-masing melakukan perselingkuhan. Bagaimana mereka yang di luar negeri nasib mereka? Wallahu’alam.

Bagaimana seandainya semua perempuan meninggalkan pekerjaannya, dan hanya fokus di rumah menjadi seorang ibu, atau setidaknya menjadi guru, perawat, dokter, dan peneliti. Tetapi, tidak bekerja di kantor-kantor, pabrik, dan perusahaan serta jasa? Kehidupan pasti akan berubah secara drastis.

Semuanya laki-laki bekerja di pagi hari, tidak ada lagi perempuan pergi bekerja, dan harus berdesakan di dalam kendaraan, bus, kreta, metro mini, mikrolet, dan lainnya. Mungkin kehidupan akan lebih baik. Lelakki menjadi tulang punggung, dan bukan perempuan yang menjadi tulang punggung sebuah keluarga.

+++

Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup, dan kami menyampaikan terima kasih atas partisipasinya dari para pembaca.