Haruskah SKB Menag dan Mendagri Dicabut?

Sudah sejak awal Orde Baru, ketika Soeharto mulai berkuasa, sudah diupayakan membuat kode etik penyebaran agama. Tujuan agar tidak terjadi konflik atau ‘perang’ antar agama. Karena, dampaknya akan pecahnya Republik ini. Tetapi, setiap kali usaha-usaha membuat formula kode etik penyebaran, ujungnya selalu ditolak oleh golongan Nashrani.

Mereka tidak ingin diatur dan dibatasi dalam gerak mereka, khususnya dalam menyebarkan agama mereka. Mereka menganggap bahwa mayoritas bangsa Indonesia masih belum beragama, atau ‘abangan’. Maka golongan Nashrani menggiatkan penyebaran agama mereka, karena ini bagian dari misi ‘Penginjilan’, dan menganggap umat sebagai ‘domba-domba’ yang harus diselamatkan.

Jika terjadi ketegangan sepanjang pemerintahan Soeharto antara golongan Islam dengan Nashrani, tak lain, akibat terjadinya ketidak adilan. Apalagi, sesudah sejumlah pejabat militer yang beragama Nasrani, seperti Jendral Panggabean, Laksamana Soedomo, Jendral Beny Murdani, dan sejumlah pejabat lainnya, kala itu dengan adanya berbagai isu, seperti dibuat kisah-kisah yang ‘menyeramkan’ antara lain Komando Jihad, Teror Warman, dan kasus Talangsari (Lampung), Priok, dan sejumlah kasus lainnya, semakin membuat golongan tersudut, dan terpinggirkan.

Apalagi, ketika muncul adanya dokumen Pater Beek, yang membuat skenario, di mana ada dua ‘iblis’ (two devils), yaitu ‘dua hijau’, tentara dan umat Islam. Keduanya jangan sampai bersatu dan harus dipisahkan. Maka, melalui para jendral ‘abangan’ yang menjadi Aspri Soeharto, seperti Ali Moertopo dan Soedjono Humardani, golongan Islam dihancurkan dan dilumpuhkan secara politik dan ekonomi, dan konsep ideologis-politik dimasukkan oleh Pater Beek melalui lembaga CSIS, yang dipimpin oleh Ali Moertopo dan Soedjono Humardani yang melahirkan adanya ‘tirani minoritas’, di mana golongan Nashrani sangat menentukan segala aspek kebijakan negara.

Sekarang mereka melalui media seperti koran dan majalan di tingkat nasional serta telivisi, yang sudah menjadi bagian dari jaringan kalangan Nashrani ini, melakukan pressure yang kuat, agar SKB Menteri Agama dan Mendagri itu dicabut. Karena golongan Nashrani menganggap adanya SKB itu melanggar hak asasi dan prinsip pluralisme. Melaksanakan ibadah merupakan hak setiap warga negara. Pressure itu juga dilakukan LSM, yang menjadi pendukung HKBP, yang terus menyuarakan pencabutan SKB. Mereka membuat gerakan dalam bentuk aksi, tulisan, opini, dan lobi-lobi politik.

Karena kerasnya tekanan dari golongan Nashrani, tak kurang pemerintah melalui Menko Polhukam Joko Suyanto sudah menegaskan akan merevisi SKB. Sejatinya isi SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8/2006 dan No 9/2006, memuat pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadah, yang ketentuannya antara lain :

• Pendirian rumah ibadah dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentaraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundangan-undangan.

• Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

• Pendirian rumah ibadah juga hrus memenuhi persyaratan khusus meliputi :

a. Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disyahkan pejabat setempat sesuai tingkat batas wilayah.

b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.

c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota, dan

d. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota. FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat.

• Permohonan pendirian rumah ibadah diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadah. Keputusannya paling lambat 90 hari sejak permohonan diajukan.

Menurut Slamet Effendy Yusuf Ketua MUIBidang Kerukunan Umat Beragama, "Konsensus saat ini, 90/60, adalah jalan tengah", ucapnya. Slamet meminta semua fihak memahami bahwa kesulitan pendirian rumah ibadah bukan monopoli non-Mulsim. Umat Islam di wilayah minoritas Muslim, seperti di Papua, Sulawesi Utara, Bali, dan wilayah lainnya juga mengalami.

Selanjutnya, angka 90/60 itu, adalah kesepakatan majelis-majelis agama yang disepakati pemerintah. Jadi kalau hendak direvisi mutlak harus melibatkan semua fihak. Mencapai konsensus baru perkara yang mudah, tambah Slamet.

+++

Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup, dan kami menyampaikan terima kasih atas partisipasinya.