Indonesia antara Kleptokrasi dan Negara Gagal

Kleptokrasi atau negara yang dipimpin oleh para pencuri kini menjadi julukan baru untuk Indonesia. Hal tersebut karena publik menilai bahwa korupsi yang notabene adalah pencurian bahkan perampokan uang negara sudah merata di seluruh institusi negara. Mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Modus-modus operandi korupsi dari hari ke hari kian canggih, bahkan menjadi seperti konstitusional. Skandal bank Century yang fenomenal bukan saja menjadi misteri, tapi juga menjadi dugaan ‘selingkuh’ baru antara eksekutif dengan legislatif, sekaligus yudikatif.

‘Selingkuh’ antara pengusaha dengan legislatif pun kerap menjadi sorotan publik ketika sejumlah undang-undang yang menguntungkan pengusaha digolkan. Dalam undang-undang pertambangan dan energi misalnya, pengamat menilai sedikitnya ada delapan undang-undang yang disahkan DPR yang menguntungkan perusahaan pertambangan, khususnya swasta.

Di pemerintahan daerah lebih parah lagi. Mendagri pun akhirnya mengakui kalau lebih dari 150 kepala daerah saat ini tersangkut kasus hukum. Dan trend itu dari hari ke hari terus bertambah. Otonomi daerah sama sekali tidak mensejahterakan daerah, tapi hanya memindahkan pusat korupsi ke daerah-daerah.

Fenomena terakhir ini bahkan lebih parah lagi ketika partai penguasa, Demokrat, secara terang-benderang terlilit kasus korupsi di internal partainya. Dan kebejatan itu justru disuarakan oleh orang dalam Demokrat sendiri, mantan bendahara umum, M Nazaruddin yang hingga kini masih buron di Singapura.

Kondisi pun diperparah dengan adanya dugaan upaya-upaya sistematis untuk membuat lembaga penegak hukum menjadi tidak berdaya. Khususnya lembaga yang masih dipercaya publik seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Mulai dari kriminalisasi pimpinannya, hingga dugaan pengebirian kekuatan KPK melalui undang-undang baru tentang KPK.

Ketua MK, Mahfud MD, mensinyalir bahwa Indonesia bisa menjadi negara gagal karena ketidakadilan menjadi fenomena yang merata. Masyarakat menjadi semakin apatis terhadap pemerintah. Dan saat ini, negara menjadi seperti abai terhadap kepentingan rakyatnya.

Dan lebih parah lagi, negara menjadi seperti tidak berdaya dengan mereka yang sudah menjadi tersangka bahkan terdakwa kasus korupsi, tapi masih bisa bebas di negeri tetangga, Singapura.

Akankah Indonesia akan bernasib seperti Somalia yang punya wilayah, tapi tidak lagi punya pemerintahan? Atau, seperti Uni Sovyet yang pecah menjadi beberapa negara kecil, hal yang diduga pernah diungkapkan oleh mantan Menhan AS (1997-2001), William Sabastian Cohen, tentang skenario Indonesia pecah menjadi beberapa negara?

**
Redaksi mengucapkan terima kasih atas komentar dan masukan pembaca pada edisi Dialog sebelumnya. Semoga bermanfaat sebagai masukan berharga untuk kita semua.