Partai Islam Mengabaikan Ideologi?

Tahun 2010 ini, kembali akan berlangsung pilkada di seluruh wilayah Indonesia, memperebutkan jabatan ekskutif di daerah.

Dan, fenomena koalisi partai-partai lintas ideologi dalam pilkada dan pemilu menunjukkan hal baru dalam perpolitikan Indonesia. Sejak tahun 2004, fenomena itu begitu jelas, dan masing-masing partai lintas ideologi ini saling merapat demi meraih kekuasaan.

Fenomena berkoalisinya PKS dan PDS misalnya, menunjukkan bahwa batas-batas dan karakter ideologi sudah tidak menjadi masalah penting. Seperti yang terjadi di Pilwali Surabaya, Ketua DPD PKS Surabaya, Ibnu Shobir menyatakan bahwa pihaknya tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan ideologis partai antara PKS dan PDS. Menurut Ibnu Shobir, kerjasama antara PKS dan PDS selama ini memang sudah terlihat di parlemen. (Antara, 13/03)

Begitu pun dengan apa yang direspon oleh pihak PDS. Sebelumnya, Ketua fraksi PDS di DPR, Carol Daniel Kadang, memberikan komentar soal koalisi PDS dan PKS yang pernah terjalin dalam pilkada Papua Barat. Menurutnya, sebagai partai terbuka dan menerima pluralitas, PDS tidak melihat ideologi atau haluan partai untuk membentuk koalisi parpol dalam pemilu dan pilkada.

Pengalaman di sejumlah pilkada, masih menurut Carol, telah membuktikan PDS adalah partai yang bisa bekerja sama dengan partai mana pun, termasuk dengan PKS yang sudah terjalin di pilkada Papua Barat.

Bukan hanya PKS, sejumlah partai Islam atau yang berbasis massa Islam seperti PPP, PKB, PAN, dan PBB pun melakukan langkah yang sama. Semuanya saling mengklaim sebagai partai terbuka, pluralis, dan sejenisnya.

Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakiem Syaifuddin, menyatakan bahwa partainya memberikan kewenangan penuh pada pengurus partai di daerah untuk mengelola pilkada. Termasuk dalam penentuan calon yang diusung serta kebijakan koalisi untuk memenangkan calonnya. PPP lebih melihat pada situasi dan kondisi daerah termasuk peluang kemenangan yang bisa diraih. (Suara Pembaruan)

Menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, koalisi dalam pilkada pemilihan langsung selama ini merupakan gejala aneh dan berbahaya. "Aneh karena parpol sayap kiri dan sayap kanan bisa bersatu mencalonkan seseorang kepala daerah. Kalau parpol konsisten dengan ideologi, tentunya dapat menjiwai semangat ideologi itu," jelas Sebastian (Suara Pembaruan)

Koalisi aneh ini, kata dia, mengisyaratkan dua gejala berbahaya. Pertama, kepentingan politik lebih besar dibanding ideologi yang hanya dijadikan alat berjualan. Kedua, kehausan parpol akan kekuasaan pada akhirnya akan mengesampingkan visi, misi, dan komitmen ideologi yang seharusnya prorakyat. Dia memastikan, pengaburan ideologi dalam setiap koalisi akan meningkatkan golput di berbagai pemilu dan pilkada.

Pengamat lain seperti Irvan Mawardi punya pendapat yang senada. Menurutnya, parpol didirikan dan dideklarasikan sejatinya berawal dari sebuah ideologi politik yang kuat kemudian bermetamorfosis menjadi idealisme di setiap individu anggota dan pengurus.

Seharusnya, setiap artikulasi parpol seperti halnya menentukan koalisi semuanya akan menimbang dan merujuk pada idealisme parpol yang termaktub dalam ideologi mereka.

Dalam pemilu 1955 misalnya, melihat konfigurasi kekuatan politik ketika itu di mana PNI (Nasionalis), PKI (Komunis) dan Masyumi (Islam) sebagai kekuatan politik paling kuat menunjukkan bahwa kekuatan parpol kala itu masih digerakkan oleh ideologi parpol yang kuat.

Bahkan, sisa ideologisasi ketiga parpol tersebut masih cukup terasa sampai saat ini di mana banyak parpol baru mengklaim titisan dari Masyumi dan PNI.

Salah satu indikator dari kuatnya ideologi sebuah parpol adalah konsistensi bersikap untuk menentukan nilai yang profan sesuai dengan ideologi. Meskipun akan berubah dalam konteks strategi taktis di lapangan. Efeknya adalah, politisi yang lahir dari sebuah parpol yang memiliki ideologi yang kuat adalah politisi yang berkarakter kuat dan sikap serta tutur katanya terjiwai oleh prinsip dan idealisme politik yang mereka anut. Seperti halnya Soekarno yang dikenal sebagai politisi dari kelompok nasionalis dan M. Natsir sebagai politisi ulung dari kelompok Islam.

Sejak pemilu 2004 dan sepanjang pelaksanaan pilkada 2005-2009, posisi ideologi politik sebuah parpol dalam kancah kontestasi tidak memiliki arti apa-apa. Singkatnya, ideologi tersimpan rapi di dalam rak meja, selanjutnya para politisi duduk berhadapan di atas meja menyatukan persepsi yang cukup singkat: Anda dapat apa, dan Saya dapat apa.

+++

Kami mengharapkan partisipasinya dan pandangan-pandangannya. Dengan ini rubrik dialognya sebelumnya kami tutup.