Mengapa PKS Tidak Mempelopori Bangkitnya Politik Islam?

Seperi menjadi anti klimaks dari polemik siapa yang menjadi wakil presiden, yang akan dipilih Presiden SBY, mendampinginya di pemilihan presiden di bulan Juli nanti. Ketika Presiden SBY memilih Gubernur BI, Budiono menjadi calon wakil presiden.

Dan, anti klimaks itu terjadi ketika, para pemimpin PKS, diantaranya Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin, Presiden PKS, Tifatul Sembiring, dan Sekretaris Jendral PKS, Anis Mata, ketiganya bertemu dengan Presiden SBY di Hotel Sheraton, Bandung, dan ketiga pemimpin PKS itu, menyatakan memberikan dukungan penuh, sebelum pendeklarasian pasangan calon presiden dan wakil Presiden, yaitu SBY dan Budiono, yang berlangsung malam harinya, di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), yang tidak jauh dari Kampus Institute Teknologi Bandung (ITB).

Mengapa PKS, sebagai partai middle (menengah), yang mempunyai suara relative signifikan, 7.8 persen suara, tidak memelopori bangkitnya kekuatan politik Islam, melalui pembentukan kekuatan alternative diantara partai-partai nasionalis sekuler? Tapi, justru melakukan penguatan terhadap partai-partai nasionalis sekuler dengan cara melakukan koalisi, dan memberikan dukungan terhadap mereka. Mengapa PKS tidak memelopori terbentuknya arus Islam, yang di masa depan dapat menjadi alternative serta solusi, serta menawarkan solusi yang Islami,  khususnya menghadapi situasi krisis secara global, yang ikut mendera rakyat Indonesia?

Mengapa PKS tidak dengan sabar menggalang kekuatan politik Islam, dan PKS menjadi pelopor, yang kemudian menyatukan seluruh potensi kekuatan Islam, sehingga mejadi kekuatan politik yang memadai, dan kemudian memiliki daya tawar dengan kekuatan nasionalis sekuler, serta mempunyai kemampuan untuk mengarahkan jalannya kebijakan politik nasional Indonesia? Mengapa tidak membangun kekuatan internalnya yang kokoh, dan memiliki daya dukung berupa SDM (Sumber Daya Manusia) yang mumpuni, serta membangun infrastruktur politik, sehingga memiliki kemampuan, ketika dihadapkan untuk melakukan pengelolaan terhadap negara?

Tapi, mengapa sepertinya sekarang para pemimpin PKS, mempunyai obsesi yang sangat kuat terhadap kekuasaan dengan cara-cara yang pragmatik? Satu-satunya landasan yang menjadi landasan PKS melakukan koalisi dengan partai lainnya adalah yang disebut : ‘Almuhtamah Arrojih Fauzuhu’ (Melakukan koalisi dengan yang diprediksikan menang). Inilah yang menjadi kaidah dasar dalam melakukan koalisi, yang digariskan pendiri PKS, KH.Hilmi Aminuddin.

Apakah yang mendasari para pemimpin PKS dengan melakukan ijtihad politik, semata-mata hanya berdasarkan kaidah dasar dari pendiri PKS, KH.Hilmi Aminuddin, dengan kadiah, ‘Almuhtamal Rojih Fauzuhu’, untuk  memberikan dukungan kepada SBY dan Budiono, yang notabene prototipe pemimpin, yang secara ideologi adalah sekuler, dan pro-Barat, yang akan melaksanakan kebijakan-kebijakan sangat liberal, dan tidak populis. Apakah belum cukup selama lima tahun, bermitra koalisi dengan Presiden SBY, sejak tahun 2004-2009 ini?

Apakah belum cukup dengan pengalaman kegagalan yang dilakukan para pemimpin nasionalis sekuler seperti Soekarno, Soeharto, sepanjang beberapa dekade yang lalu, yang mengakibatkan terjadinya disaster (bencana) bagi Indonesia? Mengapa di era demokrasi ini, PKS  tidak melakukan penguatan terhadap politik Islam di Indonesia? Mengapa di era demokras ini, PKS tidak berani mengedepankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam, yang itu merupakan hak-hak dasarnya yang syah, ada dan di jamin di dalam konstitusi Indonesia?

Pasca keputusan para pemimpin PKS, yang memberikan dukungan kepada Presiden SBY dan Budiono, umat Islam sepertinya, luruh dalam kekecewaan besar. Pendeklrasian SBY dan Budiono, Jum’at malam, di Gedung Sabuga, Bandung, yang juga dihadiri Presiden PKS, Tifatul Sembiring, menjadi puncak kekecewaan umat terhadap partai-partai Islam.

Bagaimana menghadapi kondisi dan situasi yang mendera kekuatan-kekuatan politik Islam, yang lebih percaya dan menjadikan para politisi dan partai nasionalis sekuler menjadi patron mereka, sehingga partai-partai Islam kehilangan momentum, yang paling penting dalam sejarah politik Indonesia, yang dapat menjadi kekuatan alternatif?

Apakah solusi yang mungkin dapat disampaikan untuk membangun kembali bangunan politik Islam di masa depan?

++++
Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup. Redaksi Eramuslim menyampaikan ucapan terima kasih atas segala perhatian dan pemikirannya.