Presiden Serukan Tolak Fitnah?

Di depan umat Kristiani yang menyelenggarakan Perayaan Natal Bersama Nasional di Jakarta Convention Center, (27/12), Presiden SBY, menyatakan, “Bersama-sama mari kita serukan penolakan fitnah, berita-berita bohong, dan perilaku kasar yang melampaui kepatutan”, ujar Presiden. Presiden juga menyerukan agar bangsa Indonesia menjauhkan sikap dan perilaku yang bertentangan dengan ajaran universal agama-agama yang hakikatnya menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan bertanggungjawab.

Sebelumnya, Presiden menyebutkan sejumlah fenomena sosial dan politik yang muncul akhir-akhir ini, antara lain tabiat dan perilaku baru yang didasarkan fitnah, berita-berita bohong dan tidak didasarkan fakta dan kebenaran. “Di sejumlah tempat di tanah air juga muncul perilaku kasar dan bernuansa kekerasan yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat dalam mengekspressikan hak dan kebebasannya. Apa yang saya prihatinkan adalah semua tabiat itu telah melampaui batas kepatutan yang tidak dapat diterima dasar-dasar moral, etika dan budi pekerti yang semuanya menjadi ajaran agama. Menurut Presiden, apabila hal negatif itu terus berkembang, kehidupan masyarakat jadi tidak tenteram, bangsa penuh konflik dan kegaduhan".

Tetapi, ibaratnya, seperti pepatah, tidak mungkin ada asap, jika tidak ada api. Hukum kasualitas akan selalu mengiringi kehidupan. Tidak mungkin bertepuk sebelah tangan.

Sejak menjelang akhir tahun 2009, kondisi politik di Indonesia, tidak henti-hentinya mengalami ‘hipertensi’, akibat peristiwa-peristiwa yang mengiringinya. Momentumnya, mulai dari usaha-usaha pengebirian KPK, yang dimulai dengan menjebloskan Ketuanya, Antasari Azhar, yang sekarang sedang menghadapi persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta, akibat dakwaan keterlibatannya dalam kasus pembunuhan Nazaruddin, dan disusul dengan kasus kriminalisasi dua orang Wakil Ketua KPK, Bibid Samad Rianto dan Bibit Chandra M Hamzah, yang melahirkan solidaritas dukungan terhadap lembaga KPK, yang dituduh menerima suap.

Kemudian, disusul dengan hancurnya aparat lembaga penegak hukum, saat diputarnya rekaman percapakan Anggodo Widjojo, yang di dalam percakapan itu, menyebutkan sejumlah nama pejabat penegak hukum, bahkan percakapan antara Anggodo Widjojo dengan Juliana Ong, yang menyebut nama Presiden SBY. Dengan dibukanya percakapan itu, ibaratnya seperti terbukanya ‘kotak pandora’ yang membuka aib dan borok, betapa bobroknya aparat penegak hukum di Republik ini, termasuk para pemimpin negeri. Semua itu terbukti, karena sampai hari ini Anggodo Widjojo tetap bebas, tak tersentuh.

Peristiwa yang menyita perhatian rakyat Indonesia, terkait dengan ‘Buaya-Cicak’, agak mereda, sekarang  ledakan baru, yaitu mulai diusutnya kasus Bank Century. Dalam kaitan kasus ini masing-masing pejabat saling berbantah. Intinya mereka semua ingin mencuci tangan. Tidak ingin ikut dilibatkan, bahkan menyatakan tidak ikut bertanggung jawab.

Mula-mula pukulan yang paling telak dari LSM Bendera (Benteng Demokrasi Rakyat), yang menyelenggarakan konferensi pers, yang menyebutkan secara terang benderang aliran dana dari kasus Bank Century, yang menelan uang rakyat berjumlah Rp 6,7 triliun. Bendera menyampaikan sejumlah nama, tokoh, lembaga, dan partai yang menerima aliran dana. Tak lama sejumlah pejabat negeri ini, langsung melaporkan LSM Bendera ke Polda Metro Jaya, tapi sekarang tidak ada tindakan apapun tersebut, yang sudah dianggap mencemarkan nama baik.

Sekarang yang menjadi polemik, dikalangan pejabat dan publik, tentang apakah Presiden terlibat atau tidak dalam pengambilan keputusan bailout Bank Century itu? Apalagi, mantan Gubernur BI, yang sekarang menjadi Wapres, Boediono, ketika dimintai keterangannya, menyatakan, sudah mengakui bahwa Presiden mengetahui proses pengucuran dana bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun sejak masih ditangani BI. “Sehingga sangat logis kalau Presiden juga mengetahui proses Century di KSSK dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan)”, ujar Johan, yang menjadi pimpinan Negarawan Center.

Sementara itu, Menkeu Sri Mulyani mengatakan, narasumber yang diundang dalam rapat ini untuk memberi masukan,termasuk Marsilan Simanjutak sebagai ketua UKP3R (Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi), sebagai ketua UKP3R memang diminta oleh Presiden untuk bekerjasama dengan KSSK. Jadi semestinya dalam hal ini Presiden mengetahui pengambilan keputusan tentang bailout itu.

Munculnya gerakan-gerakan di tengah-tengah masyarakat yang menginginkan kejelasan, dan penyelesaian secara adil, melalui hukum adakah dapat digolongkan sebagai  sebuah fitnah dan kebohongan?

+++

Kami mengharapkan pendapat, pandangan, serta sikap dari para pembaca. Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih atas perhatiannya, dan dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup.